Skip to main content

Penempatan [Layar perahu telah direntangkan]



Tolitoli diwaktu fajar


Hampir dua minggu tidurku tak pernah nyenyak, termasuk  tadi malam. Dan pagi ini saya harus menghadapi penyebab insomnia berhari-hari, ada perasaan lega dan juga takut. Takut? siapa yang tak takut ditempatkan di 3T, semua juga tahu mitosnya.
Asetku di kota Palu nyaris tak tersisa, siang hari ini juga saya harus meninggalkan indekosan yang luas dan penuh cerita, saya pamit ke ‘kakak’ tetangga yang sudah akrab, tentunya kepada Alamsyah­­—teman sekamarku yang baru dua bulan. Orangtuaku sudah menunggu dibawah untuk mengantar, di mobilnya menuju ke bandara, ah semua ini terlalu cepat.
“Kalau bisa yang dekat jendela ya, mbak.” Pintaku pada petugas chek-in bandara, mbaknya, seperti biasa, tersenyum seraya memberiku boarding pass—saya duduk dikursi 2F, barang yang kubagasikan tidak sampai 10 kg   padahal ‘pindah’ kali ini diprediksikan akan lebih lama dari sebelumnya.
Saya siap pindah, saya siap ditempatan di seluruh Indonesia. koar-koarku dulu, namun penempatan kali ini nyatanya terlalu dekat [masih satu provinsi dengan tempat magangku]. Membuatku malah tak siap dan tak terpikir sebelumnya—saya salah selalu membayangkan yang jauh-jauh, sampai lupa, yang dekat juga ada. Lupakan sudah kisah petualangan di Indonesia Timur sana, kawan.
Bandara Mutiara selalu sepi. Ruang tunggu bandara lebih sepi lagi, saya bisa menghitung mereka satu per satu (ataukah ini hanya perasaan yang dilebih-lebihkan?) Hal ini membuatku sadar, bahwa rasa sepi inilah yang menciptakan jarak yang  dekat itu semakin jauh. Diruang tunggu bandara, saya bertemu teman-teman yang ditakdir satu perantauan untuk pertama kalinya. Dibandingkan mereka, homebaseku lebih dekat, namun jika ditanya perasaan, entahlah siapa yang paling merasa jauh.
Pesawat baling-baling ATR IW 1154 itu terbang meninggalkan kota Palu yang entah mengapa menjadi lebih indah dan mewah untuk ditinggalkan. Sepanjang perjalanan yang terlihat hanya tiga : awan kelabu, hijaunya belantara, dan birunya laut.
Pesawat semakin jauh, daratan yang acap kali kuintip dari jendela sama sekali tak bisa ditebak-tebak lagi dimana ia gerangan. Saya memang tak banyak tahu mengenai rumah nasibku, dan Oh, tentu saya mencoba mencari tau bagaimana keadaan kota Tolitoli [saya lupa memperkenalkan sebelumnya bahwa saya ditempatkan disana]. Dari internet, informasi yang ditampilkan sangat sedikit sehingga makin memperkeruh pikiranku terhadap kota  cengkeh ini.
Malam itu saya mengajak kakak senior indekosan makan malam dan saya yang bayar, ini sekaligus syukuran rapelan uang tunggu yang sudah cair walaupun tak banyak, mereka selalu menagih sih. Selesai makan, saya ganti pakaian untuk bermain bulutangkis di lapangan bersama senior. Disana senior sudah menunggu, biasanya kami bermain sampai jam dua belas malam, bergantian. Tak ada angin, tak ada hujan, dan keduanya tidak hadir dalam wujud perasaan. Tepat pukul 22.30 saat giliran saya istirahat dan asyik memainkan ponsel, Akmal-teman kuliahku, muncul disalah satu grup WhatsApp dan memberitahukan kalau penempatan definitif kami malam ini sudah keluar,
“Cek SIKKA man-teman, penempatan definitif udah keluar, saya dapat di Tahuna.” Tulisnya.
Tanganku yang sudah lemas seketika gemetar dan tegang kembali, disusul sel-sel darahku langsung panas-dingin tak karuan. Pikiran dengan cepat menyedotku ke lubang hitam yang saya sendiri tidak tahu hilirnya dimana, disuatu tempat gelap yang tidak kuduga, andai ini fase metamorfosis katak, takdir Tuhan mengumumkan bahwa kecebong akan berubah menjadi katak malam ini juga—saat si kecebong sedang lucu-lucunya menikmati fasenya, jadilah ini malam sakral, saat yang tidak kuduga datang begitu cepat—malam pulak, bahkan untuk nasibku yang satu ini saya belum menyempatkan serius berdoa.




Iksan Haris—Pelaksana—KPP Pratama Tolitoli.



~

Saya kembali tersadar dari lamunan saat diumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat, pandanganku tak lepas dari jendela, mana kotanya? Mataku mencari-cari. Namun lupakan sejenak pertanyaan ini, ada yang lebih penting. Sekelabat saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dan seterusnya. Bukan pada pramugarinya, tapi pada pemandangan dibawah sana, banyak pulau-pulau, dibalik pulau ada pulau dan ada pulau lagi, berpasir putih, beraneka bentuk dan mempesona. Disebelah sana juga tampak danau di ketinggian. Semakin merendah semakin indah nian. Ah, negeri ini memang dikarunia paras molek dimana-mana.
Waktu berlalu cepat, pesawat kini mendarat di Bandara Sultan Bantilan  Tolitoli, bandara mungil tak jauh dari pantai Lalos berpasir lembut.
Bismillah! Saya turun dari pesawat, tersenyum dan tak takut lagi.
Selamat datang ditanah petualangan baru.
(Sumber foto dari dokumentasi KPP Pratama Tolitoli)





Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi