Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Gagal Sumpah, Pemuda ini niat kawin lari di Bandung

Sekarang semua begitu mudah, apalagi di kota besar, asal tau teknologi kita tidak bisa lagi dibodoh-bodohi supir taksi, tidak perlu kebingungan mau makan apa, kita bisa menentukan destinasi kita sendiri. Sembari jalan kesana kemari menunggu kepastian dari rumah kayu permaculture yang rencana akan kukunjungi untuk mencuri ilmu permakultur, sebuah dering masuk di ponsel. “Go Food, saya sudah di Braga a,” “Oke saya kebawah ya mas.” Aroma Nasi kebuli dengan irisan daging kambing yang tebal tercium begitu nikmat, “wah ga bisa mendadak mas.” Permohonan untuk mengunjungi Rumah kayu permaculture di tolak pemiliknya sebab mereka akan berlibur ke Cimahi besoknya, beliau merekomendasikan tempat serupa, ya sudahlah. Bandung masih dingin di pagi hari, saya siap berlari sebelum lalu lintas padat dan polusi suara dari klakson kendaraan mencekik telinga anak kampung ini, melintasi jalan Asia Afrika yang bersejarah saya akhirnya jadi hapal bangunan-bangunan apa saja disana, mulai dari al

Menemukan terumbu karang terakhir di desaku.

Dear Homo sapiens yang kini banyak berbahaya, Hari ini ada yang mau kusampaikan kepadamu, entah darimana, tapi intinya aku meminta pertolongan. Awalnya kukira tidak ada lagi harapan, saat itu aku masih seorang anak laki-laki kurus yang duduk di bangku kelas empat SD. Masih jelas terdengar suara bom di laut yang merusak terumbu karang, meninggalkan serpihan-serpihan batu karang putih yang pucat kaku bagai serpihan tulang belulang. Tak kutahu bahwa sesungguhnya ia dulunya adalah taman indah yang diciptakan Tuhan dibawah air, ia yang harusnya berwarna-warni dan berayun mengikuti arus dan sentakan sirip ikan badut, bukan mati kaku, pucat seperti mati terkena serangan jantung. Masih jelas di ingatan, nelayan-nelayan dari desa seberang yang menangkap sepuluh penyu dengan pukat harimau, siang sepulang sekolah. Kutahu ini semua salah, namun aku tak tahu harus berbuat apa. Lima belas tahun berlalu, bumi diambang yang sangat memprihatinkan. Tak terkecuali di Desaku, kebun cokelat yang