Skip to main content

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende


Maumere da gale kota ende
pepin gisong gasong
le'le luk ele rebin ha

          Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara.
Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores
          Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.
          Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya mengambil cuti tambahan untuk berlibur kesuatu tempat. Kesuatu tempat itu mengerucut dengan pilihan ke Ambon, Lombok, Labuan Bajo, Kupang, dan Maumere. Pilihan jatuh pada destinasi yang terakhir, dengan alasan harga tiket pesawat paling murah dari Makassar. Beberapa hari kemudian kuhubungi temanku, Andi Willis Bengkiuk a.k.a Abeng yang bekerja di KPP Pratama Maumere, darinya saya mendapatkan informasi mengenai destinasi dan akomodasi yang tepat selama di Maumere.
          Subuh-subuh sekali saya sudah berangkat ke Bandara International Sultan Hasanuddin, meninggalkan Diles dan Agik yang tertidur pulas di kamar. Pesawat akan berangkat pukul 05.45 dan diperkirakan tiba di Bandara Frans Xavier Seda, Maumere pukul 07.05. Sunrise pagi itu sungguh menawan terlihat dari jendela pesawat, tidak lama kemudian pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat kami akan mendarat, dari jendela terlihat jelas sebuah pulau nan menawan (yang kuperkirakan pulau Kojadoi setelah mengecek di google maps).
          Setelah mengambil koper, saya memutuskan untuk naik ojek bandara menuju Blue Ocean Cottage, Wairhubing. Pemiliknya yang ramah mempersilahkan saya untuk early checking tanpa biaya tambahan padahal masih pukul 07.30, mungkin semalam beliau mimpi indah. Bagi yang suka nuansa hippie, saya merekomendasikan tempat ini.
          Beberapa saat kemudian saya menghubungi Abeng untuk mengabari bahwa saya sudah berada di Maumere sekaligus untuk menemukan akomodasi yang tepat yaitu sepeda motor untuk berkeliling selama lima hari. Tidak lama kemudian dia menjemput saya, kami mengambil motor dan ia mengajak bercerita bersama Bagus di kantornya.
          Setelah pamit dan berterimakasih ke Abeng, saya mencari sarapan lalu kembali lagi ke Blue Ocean Cottage untuk menikmati sisa pagi yang cerah. Dari informasi pemiliknya, banyak terumbu karang di pantai, siang-siang bolong setelah istirahat sebentar saya memutuskan untuk snorkeling di laut flores untuk pertama kali.
Blue ocean Cottage, Wairhubing

          Dalam perjalanan kali ini saya tidak sengaja membawa buku catatan dan sebuah pensil, ide untuk menulis perjalanan setiap harinya tiba-tiba muncul begitu saja.
Tanjung Kajuwulu dan Rerumputan Keringnya
        Sekitar pukul 14.30 saya memutuskan untuk berangkat menuju Tanjung Kajuwulu, bermodal petunjuk arah dari Google maps berangkatlah saya. Keluar dari kota Maumere pemandangan kering lebih terlihat, bukit-bukit nan tandus serta rerumputan yang berwarna cokelat karena kering dengan beberapa sapi yang kurus merumput. Dua anak SD yang sedang berjalan menghentikan sepeda motor saya di perjalanan, bocah ini ingin nebeng ke kampung sebelah untuk menyaksikan pertandingan sepak bola antar kampung.
“Makasih om.” Sahutnya sambil melompat turun.
          Jalanan menuju Kajuwulu cukup mulus, hanya ada satu jembatan yang sedang diperbaiki. Bukit-bukit nan kering sangatlah cantik terlihat, namun sebenarnya menyimpan sedikit denyut kehidupan di dalamnya, mungkin hanya ilalang, ular, dan burung kecil. Disisi kanan jalanan terhampar laut dengan pasir putih. Akhirnya sampai juga di Kajuwulu, hari masih siang bolong padahal.
          “Bagusnya berangkat sekarang San, kalo mau lihat sunset.” Pesan Abeng.
          “Saya udah sampai disini, hehe.”
          Pemandangan bukit cokelat kering seperti ini sangat jarang saya lihat secara langsung sebab di Sulawesi pohon dan ilalang hijau sepanjang tahun. Saya naik ke menara dan mengabadikan pemandangan dari atas. Mungkin betul kata Abeng, saya terlalu bersemangat.
          Sembari menunggu sunset yang masih dua jam, saya melanjutkan perjalanan menengok-nengok kampung sekitar. Ada yang menarik perhatian saya untuk putar balik arah, beberapa gadis SMA sedang berlatih menari dengan lagu Ge mu fa mi re, spontan saya mendekat dan meminta izin untuk menyaksikan, mereka jadi tersipu malu.
          “Ada acara apa ya bu?” tanyaku kepada pelatihnya.
          “Ada lomba tari kreasi dalam rangka ulang tahun sekolah.” Jadilah saya ikut ke SMAN Magepanda yang tak jauh dari tempat mereka berlatih. Luar biasa sekali pemandangan sekolahnya yang persis dibawah bukit cokelat kering. Tidak lama meyaksikan penampilan tarian mereka, saya bertolak menuju ke Kajuwulu agar tidak ketinggalan sunset di bukit salib putih.
SMAN  Magepanda

          “Pak diatas masih ada orang kah?” tanyaku ke penjaga tiket, kata beliau sudah pada turun semua.
          “Bolehkah ambilkan saya gambar diatas papa?”
          “Hmmm.. nanti saya suruh itu ade, gampang, naik saja dulu.” Jawabnya santai.
          Menikmati senja seorang diri diatas bukit cokelat disuatu tempat nun jauh yang baru pertama kali kudatangi membuatku merasa dekat dengan diriku sendiri, semacam self-reflection, itulah mengapa saya sangat menyukai solo traveling, dengan begitu saya bertanggung jawab dengan setiap keputusan yang saya ambil apapun itu. Keindahan Kajuwulu dengan bukit keringnya mengingatkanku akan novel “Tanah Air Beta” yang bercerita tentang masa jajak pendapat di Timor timur tahun 1999 yang harus memisahkan anak dengan putera sulungnya. Matahari sudah hampir tenggelam, Ade yang bapak janjikan untuk memotret saya tak kunjung datang, waktunya kembali ke Wairhubing.

Menuju Lepo Lorun Kain Ikat Flores
        Selasa, 10 September 2019
Hari ini saya akan mengunjungi Lepo Lorun Kain Ikat Flores yang dikelola mama Alfonso bersama mama-mama lainnya di desa Nita, setelah berleha-leha pagi ini. Sampai disana saya disambut dengan teh hangat, saya mencoba mengenakan pakaian daerah flores dan berswafoto di rumah adat, yang foto saya juga mama-mama, mereka sudah terbiasa mencari spot keren disekitar Lepo Lorun.




          Dari Lepo Lorun saya bertolak ke Pantai Koka, disisi selatan pulau Flores, jalanan yang saya lewati cukup panas dan berliku-liku, beberapa kali saya berpapasan dengan oto kayu, mobil truk yang di modifikasi menjadi angkutan antara kota, baru kali ini saya melihat kendaraan umum seperti itu. Satu perjalanan dari Nita akhirnya saya sampai di Pantai Koka, saat itu ada rombongan turis asing yang sedang menikmatinya. Karena lelah saya tidur dulu di gazebo milik mama-mama yang berjualan, saya sudah pesan kelapa muda dan pop mie untuk makan siang, “tapi saya tidur dulu mama e.” Ucapku.
          Angin sepoi-sepoi di pantai Koka jadi pengantar tidur siang kala itu, satu jam kemudian saya terbangun dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sepanjang pesisir pantai, padahal masih jam setengah tiga. Saya putuskan untuk naik ke bukit yang membagi pantai koka menjadi dua bagian, bukitnya kering dan berwarna cokelat, indah sekali sayange, kombinasi bukit cokelat dan pantai biru kristal dengan pasir berwarna putih, mau gaya apapun tetap kece untuk stok foto liburan.
          Puas menikmati pemandangan dari atas bukit, saya turun dari bukit koka dengan berlumuran keringat,
          “Mama su boleh dibukakan kelapa muda e, panas sekali diatas.” Dengan senyum manis mama membuka kelapa yang langsung saya nikmati airnya, sedap memang e. Salah satu bagian yang paling kusukai dari solo traveling adalah berbagi cerita dengan warga lokal, papa tiba-tiba menghampiri saya dan menanyakan asal usul saya,
          “Dari Sulawesi papa,” dengan antusias dia bercerita kalau semasa muda dia pernah kerja di kapal dan berlayar hingga ke Sangihe,
          “Saya sudah naik kapal ke Makassar, Palu, Tolitoli, sampai Sangir, Ade.” Makin menjadi-jadi lah cerita kami karena dia pernah ketempat yang semuanya sudah seperti rumah sendiri bagiku.



Moni
        Dengan berat hati saya mohon pamit ke papa untuk melanjutkan perjalanan ke Moni, desa penyanggah wisata di kaki Taman Nasional Kelimutu, bapaknya bilang tinggal satu setengah jam saja, tapi saya perkirakan perjalanan akan memakan waktu selama dua jam. Dua jam yang tidak mudah menuju Moni karena keluar dari pantai Koka jalanan yang saya lewati bagaikan ular tanpa ujung, menanjak dan berliku-liku. Cuaca pantai yang panas tergantikan dengan dinginnya suasana pegunungan. Sepinya jalanan membuat saya merasa sedikit cemas dan takut, “aman kok, San.” Teringat lagi kata Abeng, meskipun suasana hutan nan mistis sepertinya membayangi. Semangatku jadi merekah ketika berpapasan dengan seorang petualang yang mengayuh sepeda dengan menancapkan bendera merah putih dibangkunya, ah dia saja berani kan?
          Beruntunglah saya tiba di Moni sebelum magrib dan langsung mencari penginapan, saya menginap di Estevania Lodge dengan kamar bersih dan selimut yang hangat, banyak pilihan penginapan di Moni meskipun desa ini terbilang cukup sepi dan berada di tengah-tengah pegunungan. Suhu di Moni sejuk di siang hari dan cukup dingin di malam hari, makanya semua penginapan tak ada yang menggunakan AC.
          Baru selesai mandi dan berbaring sebentar, tiba-tiba mati lampu. Saya memutuskan untuk mencari makan malam sebelum semuanya tutup. Benar saja satu-satunya restoran yang buka adalah Mopi’s Place dengan semua pengunjung turis asing dan berpasang-pasangan kecuali saya yang lokal dan sendiri (sedih ya, hehe), karena pemiliknya berjiwa hemat dan kreatif, mereka hanya menggunakan lilin di setiap meja, jadilah candlelight dinner. Makanannya enak dan lumayan mahal, dengan porsi bule tentunya. Sudah kenyang, saatnya pulang dan beristirahat karena saya harus bangun pukul 04.00 jika ingin menikmati sunrise di puncak kelimutu.
Kelimutu National Park

          Alarm berbunyi dering, membangunkanku yang tertidur pulas tanpa mimpi. Udara begitu dingin, “bangun pagi, semangat 45.” Ucapku lantang bernada, mengumpul tenaga sembari mencuci wajah dengan air dingin dan mempersiapkan bekal untuk summit ke puncak kelimutu. Diluar masih gelap dan terasa beku, warga lokal masih tertidur pulas. Pukul 04.00 tepat saya gas tipis-tipis sepeda motor membelah Moni menuju ke Kelimutu, jalanan gelap dan begitu dingin, saya hanya mengenakan kaos berbalut jaket, kukumpulkan keberanian membela kabut dan kesunyian, kesunyian itu terkadang pecah oleh gonggongan anjing yang menakutkan. Setengah jam berkendara tanpa berpapasan dengan manusia, akhirnya saya tiba dipintu gerbang Taman Nasional sekaligus singgah membeli tiket masuk dan parkir, beberapa mobil yang mengangkut turis asing dan lokal dari kota Ende juga antri membeli tiket. “Soe, cuma saya yang naik motor.” Batinku.
          Lima menit saya tiba diparkiran, orang-orang tampak bersiap untuk summit sembari memegang senter ditangan. Saya melipir ke tour guide yang membawa sepasang lansia dari Polandia, jadilah kami berempat berjalan dengan bahasa masing-masing. 30 menit saja kami sudah sampai di tugu puncak. 


          Kami was-was sembari menunggu sunrise yang tertutup kabut, benar saja pagi ini gagal sunrise, danau sempat terlihat hanya beberapa menit lalu tertutup kabut. Dari puncak Kelimutu kami menghadap ke “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” danau yang saat itu berwarna putih vanilla dan berdampingan dengan danau yang berwarna biru cerah “Tiwu Ata Polo” sementara dibelakang terpisah sendiri danau “Tiwu Ata Mbupu” berwarna hijau gelap, ketiga danau ini telah berubah warna beberapa kali. Di Taman Nasional Kelimutu sendiri menyimpan kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam, diantaranya saya bertemu dengan monyet liar dan ayam hutan di hutan-hutan sepanjang perjalanan pulang.

          Turun dari kelimutu menuju Estevania Lodge, saya disambut pancake pisang dan teh hijau buatan mama, sedap sekali e. Kenyang, rasa kantuk datang sebab bangun terlalu pagi. Pukul 11 pagi saya galau apakah akan melanjutkan perjalanan ke Kota Ende atau tetap tinggal di Moni menikmati udara sejuk dan asri ini, juga masih ada pemandian air panas dan air terjun yang memanggil untuk dijelajahi. Akhirnya kegalauan itu segera diputuskan (karena sudah pukul 12 siang), alhasil saya perpanjang sehari menginap di Estevania untuk berbaur bersama warga lokal, di pemandian air panas saya diceritakan seorang pemuda yang sebaya denganku tentang roh dan jalan arwah di danau kelimutu, sehari ini saya habiskan bermain di desa yang begitu sepi dan santai.
Menikmati air panas alam ditengah-tengah sawah

Kampung Adat Desa Saga



          Setelah sarapan pagi, saya pamit ke Mama pemilik Estevania Lodge untuk meneruskan perjalanan, saya berencana ke Kampung adat desa Saga yang saya dapatkan informasinya hanya dari google maps. Jaraknya hanya satu jam perjalanan dari Moni ke arah kota Ende. Kampung adat desa saga berdiri diatas bukit, akses kesana sudah sangat baik. Bapak Guru dari kampung seberang memberhentikan sepeda motorku untuk nebeng ke pertemuan SD di desa Saga.
          Kampung Adat Desa Saga masih menjadi bagian Taman Nasional Kelimutu, sesampainya saya disana desa itu begitu sepi, hanya saya saja seorang diri yang berkunjung. Mama-mama mempersilahkan saya untuk melihat-lihat sekeliling desa yang begitu magis, ada kuburan dari tahun 1800an disekitar kompleks rumah adat, banyak dolmen yang digunaka untuk sesajen, baru minggu lalu penduduk merayakan pesta adat yang hanya di gelar sekali setahun. 

Kembali ke Maumere
Setelah puas saya pamit ke Mama untuk kembali putar balik ke arah Moni, waktunya pulang ke Maumere. Saya memutuskan untuk melewati jalur Utara trans-flores. Papa penjual bensin eceran sudah memperingatkan kepada saya kalau jalanannya banyak yang rusak dan berlubang lebih baik lewat jalan Nasional, lebih mulus. Namun membayangkan jalanan dari Moni ke Pantai Koka yang berliku perutku langsung mual. Sepanjang jalanan berlubang dan rusak, pemandangan kering begitu terasa, lupakan sudah sejuknya Moni, selamat datang dibagian flores yang panasnya menyengat sampai ke ubun-ubun, namun dibalik panasnya pemandangan yang disuguhkan begitu menawan, pantai-pantai berpasir putih nan indah dan jarang terjamah.
          Jam 1 siang saya masih mengendarai sepeda motor, panas terik dan kantuk tak terhanankan, saya putuskan untuk beristirahat diatas perahu yang diparkir terbalik dibawah pohon sambil memutar musik. Setengah jam kemudian langit tertutup awan, kucoba menyentuh air lautnya yang ternyata dingin. Ide gila muncul di kepala, segera saja saya menceburkan diri dan bertemu dengan Lionfish. Perjalanan berlanjut, ditengah jalanan yang rusak tiba-tiba saya diberhentikan oleh supir truk, saya merasa was-was dong. Ternyata beliau ingin numpang ke Maumere karena truknya yang membawa semen rusak. Dia bercerita sepanjang jalan tentang jalanan Trans Utara, mentraktir saya minuman dingin, dan bergantian mengendarai sepeda motor hingga tiba sore hari di Maumere.

          Malam terakhir di Flores saya mengajak Abeng dan Bagus untuk nongkrong di cafe yang mereka sendiri tentukan dong, kami bercerita tentang banyak hal, mulai dari keseharian, lingkungan, hingga pekerjaan, tak terasa sampai larut malam. Keesokan harinya saya mengunjungi bukit Nilo dimana terdapat patung Bunda Maria Segala Bangsa yang menghadap ke kota Maumere, turun dari bukit Nilo saya belanja oleh oleh di pasar Tradisional Alok untuk dibawa ke Makassar sebentar sore.

Comments

  1. Is 1xbet korean legal in KORE
    1xbet korean.korean.bet are popular in KORE and South 바카라 Africa. The company's popularity is a great septcasino source 1xbet korean of information for

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi