Jumat, 27 Februari 2015
(Setelah pelantikan Stapala di Puncak Gn. Mahawu Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara) |
(Tulisan ini juga bisa dilihat di www.stapala.com)
Ujian tengah semester pertama di
Balai Diklat Keuangan Manado telah usai, dan tidak ada waktu untuk berfikir
panjang mengenai benar atau salah jawaban yang telah ditulis. Fokus setelah
ujian adalah bagaimana melengkapi peralatan dan bahan yang di perlukan untuk
acara Stapala, yang menurut kabar beredar dan aku yakini kebenarannya adalah
acara Pelantikan siswa Stapala BDK Manado, kenapa barang bawaan harus lengkap?
Karena ketinggalan satu barang saja bisa berakibat fatal bukan hanya bagi saya
secara pribadi, tapi berefek kepada seluruh saudara Stapala. Namun tak masalah,
karena kami sudah terbiasa cepat dalam tindakan.
Hari ini, sesuai jadwal kami, dua
puluh tujuh siswa Stapala yang sejauh ini bertahan akan berangkat ke Pelabuhan
Manado dari Balai diklat Keuangan pukul 16.00, namun untuk menghindari
kebiasaan tua (ngaret) kami berkumpul pukul 15.00, berangkat menggunakan oto
mikro kata orang Manado yang sebenarnya angkutan umum. Kami tiba di pelabuhan
Manado yang berada di Jalan Pierre Tendean sekitar tiga puluh menit kemudian,
sambil menunggu senior dan berdoa semoga pelayaran ke Tahuna yang umumnya
ditempuh 10 jam bisa lancar tanpa mabuk laut.
Kota Tahuna, Sulawesi Utara |
Kebanyakan dari kami akan
mengalami momentum untuk pertama kalinya bertualangan dengan kapal laut,
terlalu kota kedengarannya, tapi begitulah adanya. Apakah kami akan mabuk laut?
Tidak ada yang tau, kecuali Tuhan.
Akhirnya sekitar pukul
18.30 diatas KM. Marina Bay I, kami rombongan besar keluarga stapala
meninggalkan kota Manado, kulirik harga tiketnya, seratus empat puluh lima ribu,
hmmm.. senior stapala kaya kok, pikirku dalam hati ketika membandingkan dengan
uang yang kami kumpulkan. Malam ini, siswa dengan pakaian orange dengan bau
khasnya stay di ranjang kecil masing-masing, ombak yang lumayan besar membuat
kapal bergoyang dan membujuk kami untuk berdoa agar pelayaran ini selamat
sampai di tujuan. Di kapal aku melihat senior-senior baru yang jauh dan rela
datang untuk memeriahkan pelantikan kami, ini kabar baik atau kabar buruk,
entahlah?
Untunglah aku bisa tidur
selama perjalanan berlangsung dan baru bangun ketika kapal sudah mendekati
pelabuhan Nusantara Tahuna, kapal berlabuh tepat pukul 03.31 dini hari. Sebelum
berlabuh, aku sempat melihat pemandangan kota Tahuna dari atas kapal, tak
kusangka Kepulauan Sangihe yang hanya titik kecil di peta Indonesia merupakan
kota yang ramai dan meriah, aktivitas pelabuhan sudah dimulai dini hari,
berbanding terbalik dengan imajinasiku.
Sejauh yang kutau, tidak
ada siswa yang mabuk, Panada muntah karena refleks bukan karena mabuk laut,
katanya, dan untungnya tidak menyebabkan kami satu seri di kapal. Turun dari
KM. Marina Bay I lalu menginjakkan kaki dipulau ini kami langsung dipandu
berjalan kaki, mungkin longmarch menurutku dan perjalanan ini dimulai dari
kelompok empat, entah kami dibawah kemana, hanya panitia yang tau.
Perjalanan ini terasa
aneh, kami melewati kelurahan Tidore, yang aku tahu Tidore itu adalah kabupaten di Maluku Utara, entah karena
ini terlalu subuh, mataku memandang kiri dan kanan, membaca tulisan di jalanan,
maklum ini adalah tempat baru. Kami melewati beberapa masjid, gereja, kantor
Bupati, dan kantor instansi yang penting lainnya, hingga tiba di kantor yang
tak asing, KPPN. Disamping KPPN itu perumahan Dinas pajak (sepertinya) yang
menjadi base kami untuk sholat subuh dan curi-curi istirahat, yang jadi tuan
rumah di Tahuna adalah kak Obor. Belum sempat istirahat, kami langsung
dikumpulkan di ruang lapang di samping base dan seperti biasa, kami oka, senior
memperkenalkan diri, menguji susunan carier kami, dan ujung-ujungnya memberi
kami hadiah yang paling umum, s-e-r-i, beberapa senior yang memperkenalkan diri
diantaranya kak Balung dan Primbon.
Sabtu, 28 Februari 2015
Pagi ini disambut dengan
cuaca yang cerah, meskipun kota Tahuna relatif sepi, namun kota ini sangat
nyaman dan damai, kami memasak makanan untuk makan pagi, seperti biasa, makanan
yang kami buat harus sama untuk setiap kelompok, diantaranya nasi, tempe, dan
sayuran yang komposisinya sama pula, biasanya yang memasak adalah siswa bukan
siswi karena jika siswi biasanya akan lama dan ribet, karena semua berpacu pada
waktu. Setelah makan, sekitar pukul 08.30 kami diberi intruksi oleh kak Obor
untuk melakukan pemetaan kota Tahuna yang batas-batasnya telah ditentukan. Aku
berada di kelompok tiga dan berjalan ke arah barat dengan batas bank BNI namun
harus melalui masjid An-Nur, setiap tempat yang penting harus di catat dan cara
efektif menentukan estimasi jarak adalah dengan menghitung langkah dan
menentukan waktu perjalanan hingga ketitik berikutnya. Pemetaan dilakukan
secara mandiri tanpa diawasi senior. Jentik dibantu Tinta membuat peta
kasarnya, Bodas, Goroho, dan Hoga mencari tempatnya dan menentukan waktu,
sialnya, aku dan Panada kebagian tugas menghitung langkah bersama, awalnya
memang menyenangkan tapi ketika langkahnya udah melewati batas lima ribuaan
seakan pikiran muak dengan angka-angka yang dihitung, kesan mengelilingi kota Tahuna
dan melakukan pemetaan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan, kota ini sangat
bersih, bahkan merupakan kota terbersih yang pernah ku pijak, sulit menemukan
sampah di kota, seperti itu, dan menurut Panada tempat ini seperti bukan di
Indonesia, nah loh?? Seperti di negara Oseania di kepulauan pasifik, setiap
sudut minta di foto, sayang kami tak diperbolehkan membawa kamera, dari kota
hingga pantai yang jernih, masyarakatnya sangat ramah dan masih menjunjung
tinggi kebersamaan dan persaudaraan, seperti kami siswa stapala. Pendapatan
masyarakat, selain dari laut mereka juga berkebun cengkeh dan pala, sudah dari
zaman sebelum kolonial menurutku, disepanjang jalan mereka menjemur cengkeh
yang baunya sangat khas, mengingatkan kota Tahuna yang indah.
Kelompokku (kelompok III) selesai melakukan
pemetaan dan sampai di base kembali sekitar pukul 11.00 dan membuat kembali
petanya, lucunya kelompok satu ternyata tersesat karena miskomunikasi dengan
warga hingga ke mercesuar lama, dan kembali satu jam lebih lama dari kelompok
yang lain. Acara selanjutnya adalah isoma, solat duhur dan azar dijamak takhdim
karena waktu yang diberikan sangat mepet, maka kami hanya memasak mie instan
dan makan roti, setelah itu perjalanan di mulai.
Kami longmarch dari base
perumahan dinas pajak Tahuna menuju gunung Awu yang dari kota ini tidak
terlihat sama sekali, kalo ada yang nanya gunungnya mana, jawabnya Awu… ah?
Perjalanan dimulai dengan melewati kota ke arah barat dan tiba-tiba hujan deras
dengan durasi kurang dari 10 menit yang berganti panas menyengat, begitulah
cuaca pulau, awannya bergerak begitu cepat. Selanjutnya kami melewati pantai
yang panjang, dan sempat istirahat karena Jentik tiba-tiba sesak nafas.
Perjalanan makin terasa berat sebab cuaca panas tetap bertahan, langkah kaki
makin lama makin mengecil, kami berjalan melewati jalan setapak menuju jalan
raya dan ketika berada di jembatan, gunung Awu terlihat, tinggi hijau dan
menyeramkan, sebab di lapisi beberapa bukit dulu, puncaknya tertutup awan hitam.
Beberapa kali kami harus istirahat karena tenaga yang mulai terkikis.
Perjalanan makin terasa
ketika kami harus melewati jalanan yang menanjak, beberapa kali harus berhenti,
karena sesak napas jentik sering kambuh. Istirahat kami sedikit panjang,
seorang warga menghampiri kami dan menanyakan hendak kemana, ketika seorang
dari kami berkata hendak ke gunung Awu, dia malah mematakan benih semangat kami
“Masih jauh noh, kalo mau naik bagusnya pake mobil jo kong mendaki, nyandak ba
jalan, kalo jalan tengah malam noh, jauh… jauh… sekali.” Yang intinya harusnya
kami naik mobil dulu, bukan jalan kaki karena masih sangat jauh. Kami akhirnya melanjutkan
perjalanan tanpa Jentik, karena sepertinya akan lama, ia ditangani kak Setip
dan senior lainnya.
Perjalanan ini seperti
tidak ada ujungnya, matahari sudah condong ke barat, beberapa siswi sudah
tampak pucat, dan ketika melewati beberapa tanjakan, tiba-tiba saudara
ari-ariku, Enci sesak napas, namun ini lebih parah, beberapa siswi dibawakan
cariernya untuk mengurangi beban, barang bawaan mereka di opor, terutama air
mineral. Hari mulai gelap dan kami tiba di tempat ishoma ketika matahari telah
terbenam, yang ternyata adalah pos dua. Tempat peristirahatan malam ini sangat
tidak mendukung, terutama bagi siswi, karena dikelilingi pohon kelapa yang
buahnya bisa saja jatuh tanpa di duga, ditambah minion juga tiba-tiba sesak
nafas, semua rencana perjalanan yang disusun panitia tampaknya akan kacau.
karena kondisi yang tidak memungkingkan pula, Enci dibawa ke rumah sakit di
kota dan harus di infus. Malam ini menjadi malam yang panjang, karena selain
para siswa diberi tugas oleh Bang Chori harus menjamin makanan siswi banyak dan
bergizi, siswinya sangat malas makan. Setelah memperbaiki tempat peristirahatan
siswa, kami harus membuat bifak untuk tidur karena pukul 02.00 perjalanan akan
dilanjutkan.
“Siswa banguun….” Suara
itu membuat kami terbangun dari tidur yang serasa hanya beberapa menit saja,
kami harus membongkar bifak dan packing semua barang untuk melanjutkan
perjalanan ke tujuan semula, Gunung Awu.
Sebelumnya, saat diklap
lanjutan di gunung Lokon, kami juga melakukan tracking di malam hari, jadi
sudah tidak kaget, namun belum sampai setengah jam pendakian, Jentik sesak dan
makin parah, berdasarkan pertimbangan senior, Jentik kembali dibawa ke Pos dua
oleh kak Setip. Kami melanjutkan tracking yang semakin menanjak, angin bertiup
makin kencang menusuk tulang, seakan angin itu saling berkejaran. Sesekali kami
istirahat dan minum, aku melihat Panada, dan tampaknya fisiknya juga udah mulai
down. Kami kembali istirahat ketika tiba di pos enam, kami tidak melihat tiga
pos sebelumnya. Tiba-tiba saja Panada sakit perut yang sepertinya sangat sakit,
disini kami kembali istirahat dan baru melanjutkan perjalanan ketika fajar
tiba.
Aku terbangun, dengan
kondisi kedinginan, padahal saat itu aku sudah menggunakan kupluk dan ponco,
sebelum melanjutkan perjalanan kami sholat shubuh. Perjalanan makin menanjak,
hujan turun, dan sebelum kami menuju ke pos delapan, carier disimpan disuatu
tempat yang sudah dibersihkan dari semak belukar, hanya seorang yang cariernya
paling besar membawa peralatan berupa obat-obatan, logistik, dan ponco,
dikelompok kami yang membawa carier adalah Bodas. Kami dipandu oleh seorang
tour guide asli kepulauan Sangihe yang ramah yang dari awal ikut bersama
mendaki. Berbagai rintangan kami lewati, mulai dari batu yang licin, sakit
panada yang kambuh saat hujan deras, dan ketika tiba di pos delapan, beberapa
siswi hipotermia dan tidak dapat melanjutkan perjalanan ke puncak. Berdasarkan
pertimbangan dan keputusan senior, yang kepuncak hanya siswa dan dua siswinya,
yaitu Tarsius dan Peyeum, sisanya menjaga yang sakit. Perjalanan ke puncak
melawan angin yang sangat kencang, yang beberapa kali membuat kami terjatuh dan
kehilangan keseimbangan. Awan dan kabut yang menutupi membuat jarak pandang dan
suara susah terdengar, sekitar tiga puluh menit perjalanan kami tiba di puncak.
Dipuncak kami tak bisa
melihat kawah gunung Awu, yang merupakan kawah gunung terluas di Sulawesi kata
tour guidenya. Angin tetap bertiup kencang. Beberapa senior sudah tiba di
puncak, tiba-tiba kami disuruh berbaris dan melakukan oka, kuakui ini membantu
menghilangkan rasa dingin yang sangat menyengat, setelah itu kami disuruh
posisi push-up, mata kami ditutup dengan slayer siswa dan baju bagi siswa
disuruh lepaskan, angin yang tidak peduli membuatku sangat menggigil, begitupun
siswa lainnya yang terdengar dari nafasnya. Kami disuruh berdiri dan balik
kanan.
“Upacara pelantikan siswa
Stapala menjadi anggota biasa stapala, Minggu, 1 Maret 2015, Puncak Awu,
kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.” Suara kak Suneo, terdengar. Dalam menggigil
bibirku tersenyum, tampak seragam siswa berada disamping carier milik kak
Badak, upacara berlangsung terasa cepat, kami dilantik oleh ketua umum, Cibumi (1051/SPA/2014),
bang Chori memakaian seragam kebanggaan, dilanjutkan slayer merah yang
merupakan barang yang sangat berharga dan paling dinanti oleh siswa,
dikalungkan oleh Cibumi. Alhamdulillah, kami sudah resmi menjadi Anggota
stapala, hari itu pelantikan berlangsung tiga kali, di puncak Awu, di pos
delapan, dan di KPP Pratama Tahuna. Ini adalah awal kami diberi kepercayaan
untuk memajukan nama Stapala, banyak mimpi yang harus diwujudkan, kami siap
bertualang bersama Stapala.
Licen (1109/SPA/2015)
Comments
Post a Comment