Menepi di Ujung Timur Pulau Sulawesi: "Desa Air dari Film Avatar"

Bangga, seonggok perasaan syukur atas suatu pencapaian yang diraihnya. Namun jika ditambah huruf ‘i’ di belakangnya, -Banggai, kamu akan diantarkan kesuatu tempat di timur pulau sulawesi.

Luwuk pernah menjadi wacana ibukota provinsi jika nantinya sulawesi tengah yang menduduki lebih dari sepertiga luas pulau utama dan kepulauan Sulawesi akan dimekarkan menjadi Sulawesi Timur. Dari tempatku saja, Parigi yang masih satu provinsi, perjalanan menuju kota berair, julukan luwuk memakan waktu hampir delapan belas jam, tak tahu persis, tapi seingatku, aku dijemput supir rental setelah lewat jam dua belas malam setelah agen secara keterlaluan menyuruhku untuk bersiap-siap di jam tujuh malam. Kami tiba di pelabuhan Luwuk selepas sholat ashar keesokan harinya dan hampir saja kehabisan tiket untuk menyeberang menuju Salakan di Pulau Peleng.

Banggai, nama ini disematkan pada tiga kabupaten di Sulawesi Tengah. Kabupaten Banggai yang berpusat di kecamatan Luwuk, Banggai Kepulauan di Salakan, dan Banggai Laut di kecamatan Banggai (nama yang sama dengan kabupaten Banggai), jadi pusing kan lu?

Salakan yang menjadi kota tujuanku berada di Pulau Peleng, dari Luwuk setiap hari ada kapal besar yang memuat penumpang, perjalanan yang ditempuh kurang lebih empat jam saja, berangkat sore tiba setelah isya. saya menaiki kapal menuju kafe di lantai dua, tempat para penumpang yang kehabisan tiket ranjang ekonomi maupun Bilik VIP, disini siapa cepat dia dapat kursi. Kami langsung mendapat asupan udara dari teluk Lalong, nama teluk antara Pulau Peleng dan daratan utama pulau Sulawesi. Beberapa asyik memesan makanan yang kebanyakan berupa mie instan dan kopi, musik disetel keras-keras, beberapa muda-mudi duduk termenung mengamati luasnya lautan, bapak-bapak bermain catur, sementara ibu yang disudut berusaha menenangkan anaknya yang menangis.

Setelah bersandar di dermaga, saya memutuskan jalan kaki saja menuju penginapan yang berdiri diatas air pasang surut tak jauh dari pelabuhan, suasana pelabuhan begitu riuh di kala kapal bersandar, mulai dari penjual hingga ojek yang mengantar penumpang kembali ke rumah mereka. Namanya Penginapan Sipatuo, harganya sangat terjangkau dengan kamar yang bersih walau tanpa AC. Dari pemilik penginapan yang asli orang Bajo, saya mendapatkan informasi penyewaan sepeda motor milik om Korea (dia memperkenalkan namanya seperti itu) yang akan saya gunakan untuk menjelajahi sebagian dari pulau ini.

Dari peta pariwisata Kabupaten Banggai Kepulauan, sekeliling pulau ini menawarkan pantai yang indah berpasir putih, beberapa mestinya masuk sebagai pantai yang sangat indah dan jarang terjamah, sebut saja pantai Mandel. Berlokasi dua jam ke utara kota Salakan, setengah jalan yang dilalui terbilang tak layak. Namun keindahan yang ditawarkan begitu menawan, pasir putih yang halus, pepohonan nyiur yang tinggi dan rapat, air laut yang biru pirus menyala, bebatuan hitam di sisi ujung seakan menjadi pembatas dengan pantai yang lain. Meskipun ramai di media sosial, namun nyatanya pantai ini sepi walau libur panjang, ketika saya berada disana, hanya ada saya seorang diri bag adam yang terdampar setelah dilepas dari surga.

Sepulang dari pantai Mandel, saya menyempatkan untuk membilas badan yang masih lengket dengan garam laut di air terjun Tembang di desa Luk Sagu, searah jalan pulang kembali ke Salakan, air terjun ini memiliki beberapa tingkatan, airnya begitu segar, jernih dan dingin seakan menghanyutkan kembali garam-garam yang lengket di badan menuju kembali ke Lautan.

Di pulau Peleng, saya dikejutkan dengan pemandangan yang mungkin sudah tidak lazim saya lihat di kota Palu maupun di desa kelahiran saya, salah satunya orang berjalan kaki untuk bepergian dari satu desa ke desa yang lain dengan jarak berkilo-kilometer jauhnya, di pulau terpencil yang tiga kali lebih besar dari negara Singapura ini, masih banyak keluarga yang tidak memiliki kendaraan berupa sepeda motor. Satu lagi, saat saya berangkat pagi menuju danau terjernih di Sulawesi, Pai Supok dari kota Salakan, pom bensin di pusat pemerintahan kabupaten ini tutup sejak pagi buta, begitu pula di pom bensin selanjutnya yang berada satu setengah jam di Kecamatan Bulagi.

Perjalanan ke Pai Supok via Trans Peleng juga tak bisa ditebak mengingat kondisi jalan tergantung cuaca dan medannya. Jalanan kecil, aspal rusak, tapi buatku perjalanan seperti ini membawa begitu banyak hormon dopamine, aku suka tantangan seperti ini. Pemandangannya, hutan dan perkebunan kelapa, pantai nan indah, pedesaan, masjid dan gereja. Orang Bajo mayoritas muslim banyak mendiami pesisir Salakan dan sekitarnya, sebaliknya di daerah Luk Panenteng, mayoritas mereka adalah nasrani, perbedaan agama ini tidak menjadi penghalang untuk tinggal di pulau yang sama.

Setelah tiga jam perjalanan dengan sepeda motor, sampailah saya di Pai Supok, keelokan danau ini tidak bisa disangkal dan ditangkal, baik di media sosial terlebih aslinya sungguh menawan. Airnya memantul seperti berlian biru yang mahal harganya.  Terletak di Desa Luk Panenteng, desa ini terbilang spesial, salah satu desa terindah yang pernah kukunjungi, jika memang benar Avatar : The way of water terinspirasi dari kehidupan suku air di Indonesia, desa ini cukup mewakili imajinasi itu.

Tak jauh dari Pai Supok, terdapat objek yang tak kalah menarik bernama Paisubatango, air jernih tawar segar yang mengalir dari celah bebatuan dan akar pohon lalu langsung bertemu dengan air asin laut yang hangat, uniknya mereka tidak bercampur satu sama lain, air laut asin di bagian bawah sedangkan air jernih tawar berada dibagian atas, kombinasi ini membuat Paisubatango nampak biru menyala dikeliling pepohonan rindang.

Perjalanan empat hari di Banggai Kepulauan terbilang menyenangkan, meskipun masih banyak tempat yang belum di jelajahi, saya juga menyempati menyambangi pantai Poganda dan snorkeling di pantai dengan koloni terumbu karang kipas yang begitu besar dan luas di Kawalu. Semoga bisa kembali lagi!



Comments