Sulawesi
tengah selalu menyimpan ratusan misteri dan rasa penasaran dibalik hutan tropis,
pegunungan, kedalaman laut, hingga kehidupan makhluk mendiaminya, tak akan
ada habisnya cerita kita menjelajahi dataran dan perairan jantung pulau Sulawesi ini, seperti
perjalanan kami diawal tahun 2016 tepatnya 2 Januari ke air terjun Mapane Gaya
di desa Vombo Kalonggo.
…
Vombo
Kalonggo, se-asing namanya, yang kami tahu nama itu berada di kelurahan
Pantoloan, Tawaeli, Kota Palu. Dan saya, bagi kakak-kakak ini entah bagaimana
caranya adalah orang lokal, maka lebih mudah berkomunikasidengan sesama lokal
untuk menemukan jalan menuju air terjun yang berada di desa itu. So, welcome and getlost buddy!
Tak mudah menemukan akses kesana,
selain berada di jalan (sekedar) sisipan yang menuju ke pedalaman, juga tekstur jalanannya
yang beragam, mulai dari beraspal bolong-bolong hingga menghilang berganti
kerikil besar di penghujung roda Terios, sebagai tambahan, keadaan ini diamini
oleh sepasang muda mudi yang sedang melangsungkan pesta pernikahan dengan menggunakan
jalan sebagai panggung tenda biru berhias janur kuning, sebabnya pula jalanan
diarahkan ke gang buatan seadanya bekas semak belukar dimana sapi-sapi nongkrong
semaunya. Saran saya, jika anda ingin berkunjung, sebaiknya menggunakan sepede
motor saja.
Selamat datang di desa Vombo Kalonggo, untuk kedua kalinya saya katakan seperti itu,
desa yang berada di pinggiran ibukota Sulawesi Tengah dan merindukan jalanan
mulus, semulus pidato bapak Gubernur/anggota DPRD/politisi/pemenang proyek
abal-abal dulunya.
Perjalanan belum berakhir, malah baru
dimulai, menurut Ina-ina asli suku kaili yang sedang nongki di bilik jalanan
berdebu ini, kami hanya perlu mengikuti jalan hingga benar-benar berakhir.
“Terus jo, nanti so dapat muara,
parkir mobil disitu lalu ba jalan. Mobil te bisa masuk.”
“Tapi tidak keringkan Ina, sungainya?”
pertanyaan ini penting mengingat Desember telah berlalu tanpa hujan sepeserpun.
Debu yang beterbangan dan pegunungan yang tampak layu menjadi bukti diam, maklum
daerah kami dilalui garis khatulistiwa dengan panas yang tidak usah
dideskripsikan lebih lanjut.
“Tidak.”
Perjalanan-pun berlanjut hingga jejak
jalan menghilang, namun masih ada tanah setapak yang bisa dilalui mobil, dikiri
dan kanannya dipagari dengan kayu gamal berdempetan, mobil kami berjalan pelan
sebab segerombolan sapi juga berjalan pelan di depannya. Disela jendela
terlihat persawahan yang hijau hingga menembus sungai mengalir dengan debit air
yang lumayan, senyumku merekah, dibelakang kami truk menunggu mobil ini
menyingkir dari jalan mereka.
Dengan
mengikuti truk gila itu, mobil Terios kami (dengan bersusah payah) melewati
sungai dan sampai di tempat parkir yang
ternyata sudah sangat ramai dengan sepeda motor, maklum kami hanya bisa
melakukan kegiatan seperti ini saat akhir pekan saja.
Baru ketika pukul 15.20 kami memulai
langkah menuju air terjun, perjalanan ini sangat kacau karena kesalahan
estimasi waktu, kami akui itu sebelum tracking dimulai, dan(juga) kesalahan
pribadi, aku belum makan pagi sebenarnya. Karena sudah terlanjur disini,harus siap
tracking selama satu jam menuju air terjun yang kami belum tahu.
Dua kali salah jalan, menyusuri
sungai,kebun warga, hingga memanjat bebatuan sungai, berpapasan dengan
orang-orang yang sudah pulang, menganggap kami bakal bermalam dan meniduri
sampah yang mereka tinggalkan disana.
Entah pada adegan mana, mereka menyewa
dua remaja kurus untuk menemani perjalanan kami, dalam hati aku tak setuju,
bukankah perjalanan liar, tersesat, berusaha mencari jalan sendiri, dan
menemukan apa yang berusaha kita cari adalah sesuatu yang menggairahkan. Namun,
perjalanan ini bukan milikku sendiri, dan setiap orang punya gaya perjalanannya
masing-masing, punya pertimbangan masing-masing, jadilah mereka guide dadakan, jalan mereka lebih cepat
dari jalanku, tapi jika niat, aku yakin bisa lebih cepat dari mereka, dan itu
membuat yang lain semakin tertinggal. Saat menunggu, aku bercerita dengan dua
anak ini, mereka bersekolah di SMK dekat sini dan sudah terbiasa mengantarkan
orang-orang menuju air terjun setiap akhir pekan.
Bagi anda, orang kantor yang sudah
lama menjalani rutinitas dalam petak persegi dengan bantuan nafas CFC dari AC,
terpapar radiasi komputer, dan menjadi bebatuan di kursi, mungkin tracking satu jam
menuju air terjun bisa mengembalikan keseimbangan tubuh anda, mensupply oksigen
lebih banyak, mengembalikan anda ke alam dimana sebenarnya manusia berinteraksi
dengan sehat.
Air terjun Mapane gaya merupakan air
terjun bertingkat tiga, yang menjadi hilir dari air sungai yang kami lewati.
Untuk menuju ketingkat dua anda akan memanjat air terjun pertama dengan
menggunakan tali tambang yang sudah dipasang disana, kami tidak menuju ke
tingkat dua karena hari mulai gelap.
Setelah merasa cukup menikmati air terjun yang dikelilingi tebing ini, kami beranjak
pulang dengan mengumpulkan sampah sendiri dan sampah orang lain yang jauh lebih
banyak berserakan disana.
NB : Jangan meninggalkan sampah atau anda tidak usah datang sama sekali, tinggalkan tempat dengan lebih indah sebelum kita kesana.
Comments
Post a Comment