Menurut hemat saya, travelling bersama orang yang baru
dikenal menjadi cara tercepat untuk mengenal karakter orang tersebut
tanpa harus muluk-muluk ikuti tes psikologi. Dan, hemm... sialnya orang baru
ditengah komunitas ini adalah saya sendiri.
Ada euforia yang menggugah asa ketika ajakan jalan-jalan
menjadi sesuatu yang diminati banyak orang. Disatu sisi, saya serasa menemukan
jalan baru yang mulus beraspal untuk mengunjungi tempat yang sedari kecil hanya
bisa saya pelototi di atlas bekas yang dibelikan bapak di pasar tradisional
10 kilometer jauhnya dari rumah. Meskipun fenomena jalan-jalan di Indonesia kurang
lebih seperti fenomena Batu akik. Emerge (entah ia bertahan). Namun, travelling
dan alam adalah sesuatu yang berkaitan dan efeknya berimbas pada salah satunya.
Jika alam membuat manusia sadar akan kelestarian, setidaknya banyak yang akan mencintai
hutan-hutan. Sebaliknya jika manusia sebatas narsis dan tak acuh, maka semakin
banyak sampah yang ditinggalkan bahkan ditempat yang jauh tersembunyi di dalam
hutan, terpendam jauh di dalam lautan.
~
Pusat Laut—Kamis, 24 Desember 2015
Minggu pertama saya OJT di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Palu, saya diajak ke spot wisata bernama Pusentasi (atau lebih dikenal Pusat
Laut) oleh para senior yang notabene perantau yang dipersatukan di kota ini
dari hasil penempatan yang mungkin mereka belum duga sebelumnya. Mau tak mau, suka tak suka, mereka adalah bab baru dalam alur maju perjalanan
hidup saya, paling kurang untuk satu tahun kedepan.
Kurang lebih empat puluh menit sampailah kami ke Pusat
Laut. Letaknya di kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, sebelah barat pegunungan
Gawalise. Menurut alam imajinasiku, ia adalah sumber dari air laut yang
membentuk dan mengisi penuh laut selat Makassar. Pada zaman dahulu ketika daratan
masih bersatu, terjadi suatu ledakan maha dahsyat dari sumur pusat laut dan
menumpahkan airnya ke daratan yang menjadi lautan seperti sekarang. Buktinya,
air di kolam pusat laut ini bergaram dan biru seperti pepsi, konon
airnya berhubungan langsung dengan laut yang tak jauh dari pusat laut. (Jujur saja,
cerita diatas menciplak teori Big-bang ).
Cerita aslinya begini, dinamai pusat laut karena dulunya,
jika ada benda yang tenggelam di lubang ini maka akan ditemukan di pasir
pantainya. Oh ya, lubang Pusentasi memiliki kedalaman tujuh meter.
Sebenarnya, ini adalah kali kedua saya mengunjungi Pusat Laut.
Sebelumnya, saya dibuat kecewa berat dengan tembok yang baru saja didirikan
mengelilinginya, sekilas menghilangkan karakter alami dan membuatnya terlihat
seperti kamar kosan atau lebih parah, seperti lapas melingkar dengan dua pintu
tanpa jeruji besi. Kali pertama itu, pusat laut sangat sepi dengan dinding
warna-warni yang mengelilinginya membatasi intensitas sinar matahari sore,
membuat warna airnya menjadi biru pekat menenggelamkan. Lompatan pertama saya
diberinya kesan yang horor, seakan ada makhluk gaib yang akan menarik saya
masuk dan takkan kembali lagi.
Siang ini, selain tembok sialan itu masih tetap berdiri
dengan picik. Saya diberinya kesan yang berkebalikan. Pusat Laut sangat ramai
oleh pengunjung (meskipun ramai, airnya tetap jernih) dan anak-anak
lelaki (hitam kurus) kampung sini. Airnya memantulkan kristal dan
berwarna kehijauan, memberi kesejukan mata di teriknya matahari. Saya
berniat untuk kembali melompat, melebur menjadi inti atom yang dikelilingi busa
air sebagai neutronnya. Namun, anak lelaki kurus itu membuat saya minder bukan
main. Ia melompat dengan gagah bahkan dari atas pagar bagian dalam yang
mengelilingi pusat laut, kalau ditaksir mencapai 5 Meter dengan ancang-ancang
yang menakutkan, karena harus melompat melewati batu yang ada di pinggir.
Keberaniannya menguadratkan ukuran tubuhnya. Berkebalikan denganku, yang hanya
ingin memecahkan rekor lompat dari sisi sebelah sana (di batu yang dilewati
anak yang meloncat di pagar) dan ini sudah lebih dari cukup membuat kaki
gemetar dan jantung seakan melompat duluan ke Pusat laut. Pusat Laut berhasil
membuatku tidak konsisten dengan keberanianku sendiri.
~
Mari kita lupakan semuanya cerita diatas. Anggap saja ini baru dimulai. Dan, mari mulailah
merenung. Entah pada skenario mana saya menyadari semua ini? Hai sob, Pernah
dengar tradisi melempar koin ke dalam kolam? Tradisi yang paling dikenal di
dunia ada di Fountain Trevi, kolam air mancur paling termasyhur di Italia.
Mitosnya mengenai cinta dan kembali. Satu koin berarti kembali ke Roma, dua
koin menemukan cinta, tiga koin segera menikah. Entah Fountain Trevi yang
pertama kali mengilhami pelemparan koin diseluruh kolam di dunia, entahlah?
Bukankah itu tidak penting, sobat.
Pernah melihat atraksi lumba-lumba di Ancol? Atau
pertunjukan Lumba-lumba keliling. Saya belum dan tak ada niat menyaksikan.
Belakangan ini atraksi lumba-lumba menuai pro dan kontra. Dibalik lompatannya
yang indah nan anggun, terungkap skenario mencengangkan. Lumba-lumba dilatih
dengan keras bahkan tidak berperikehewanan, ia dipaksa diet ketat, dipindahkan
ke satu kota ke kota yang lain dalam truk, di dalam kotak yang sempit.
Pembelaan apapun yang dilakukan kaum pro, saya ada di pihak yang kontra.
Beralih ke seniornya, topeng Monyet. Sarimin di mata penonton mungkin monyet
kelas atas yang mengerti berbagai intruksi, berkelas dibanding primata liar
lainnya. Namun, dibelakang panggung sebenarnya ia ditangguhkan harkat dan
martabatnya, direndahkan derajatnya, disiksa agar otak kecilnya mengerti setiap
instruksi.
Mari kita kembali mengingat dimana saya berada. Saya
memasuki kamar Pusat Laut dan menemui lebih dari selusin anak-anak lelaki hitam
kurus bermain disana. Ada satu tokoh yang belum saya masukkan dari tadi, jika
ditarik garis diameter pada lingkaran ini maka saya dan tokoh itu berada pada
satu garis lurus.
~
Dialah
sang Fotografer. Selain Saya, anak-anak dan sang Fotografer. Abaikan saja
pengunjung yang lain.
Mari! Bantulah penulis menghubungkan Puzzle antara saya, tradisi
lempar koin, anak-anak,
atraksi lumba-lumba/atau
atraksi si Sarimin,
dan sang
Fotografer.
Maka begini.
Sang Fotografer datang ke Pusat Laut untuk mencari dan
mendapatkan rekaman visual yang professional, disana ia menemui beberapa
anak-anak hitam kurus menjadi objek penyempurna. Ia mengambil gambar satu
memori dan kembali ke kota, memamerkan hasil fotonya. Orang-orang mengagumi,
namun di komunitas Fotografi itu ia dianggap masih mentah, maka berbondonglah
satu komunitas mendatangi pusat laut untuk mendapatkan hasil yang lebih
mengagumkan di mata Komunitas. Anak-anak hitam kurus masih sering bermain di
Pusentasi, melompat hingga di panggil ibunya pulang dengan ranting kayu ancaman
di tangan kanan jika tak mau pulang.
Komunitas Fotografer datang di Pusat Laut, beberapa anak
lelaki hitam kurus bermain disitu. Sang Fotografer mengambil gambar dari
pelbagai Angle. Ada kesulitan jika anak-anak ini tidak bisa di atur. Maka salah
satu dari mereka mendapatkan ide instan demi memperoleh kesempurnaan.
Di suruhnya anak-anak lelaki hitam kurus itu berbaris, di
lemparnya puluhan koin 1k ke dalam kolam, maka anak-anak lelaki hitam kurus
dengan gagah dan serentak melompat ke lubang. Hal ini dirasa efektif menciptakan
visual yang lebih hidup, berwarna, dan bermakna.
Peristiwa itu menjadi awal dari kebiasaan yang
terus-menerus dilakukan. Besok dan besoknya. Sang Fotografer datang melempar
koin. Anak-anak lelaki hitam kurus yang kemarin menjadikan Pusentasi sebagai
tempat bermain beralihfungsi menjadi ladang mengais uang jajan. Hingga ketika
saya mengunjungi tempat ini untuk kedua kalinya, mereka (anak laki-laki hitam
kurus) dimata saya menjelma menjadi wujud lumba-lumba Ancol, melompat mencari
koin hingga di dasar kedalaman 22,96 kaki, dilengkapi kacamata dan kantong
kresek. Sedangkan sang Fotografer menjelma menjadi Pedofil menakutkan di mata
saya dan ia tak disadari anak-anak.
Inilah rekayasa Eksotisme yang sesungguhnya sudah lama ada.
Tak mengapa sebenarnya, hanya saja sudah melewati batas nilai kemanusian.
Kebahagiaan dan kepolosan anak-anak diubahnya menjadi unsur material, berkelahi
memunguti uang. Anak-anak lelaki kurus itu bukan lumba-lumba keliling, bodoh.
Membuang koin ke pusat laut sama saja memberikan anak-anak itu uang dengan
telapak kaki kotormu. Dalam lensa kamera, koin-koin itu tak kasat mata, dan
konyol saja jika koinnya terekam kamera. Lantas, kenapa tidak mengajak mereka
makan bersama diatas tikar yang sama, melingkar sambil memandangi pasir putih di
pantai pusat laut, dan berfoto bersama tentunya? Itu lebih mendidik dan sangat
manusiawi.
Kita sering menemukan kemiskinan di tempat-tempat yang
eksotis, kemiskinan itu malah menjadi bagian dari sisi eksotis. Dan apakah itu
harus dipertahankan? Saya rasa, tidak.
Comments
Post a Comment