Berkenalan dengan Warung Kehidupan



Saya selalu percaya bahwa disela-sela gedung bertingkat, ditengah pembangunan apartemen mewah, toko-toko dengan seabrek merek brandid, café bertata-filosofis dan restoran yang menawarkan inovasi akulturasi antara makanan tradisional dan luar negeri yang seakan dipaksakan menjadi ciri khas, ada segelintir warung-warung pinggir jalan yang hadir menawarkan cita rasa nilai kemanusiaan, segudang pelajaran hidup dan kebahagian serta nostalgia masa lalu.
 Warung-warung ini tak berhenti memberi lebih dari yang kita bayar, lebih dari yang kita cicip. Ia hadir diantara gang sempit, terpencil dan dijepit oleh gedung pencakar langit, redup oleh kilap kelip cahaya malam. Ia statis kumuh dan tua, hadir bagaikan pintu tidak kasat dan diketahui oleh dan hanya untuk mereka yang terpilih. Saya menyebutnya warung Kehidupan.
Di warung itu ada segelintir orang bercerita tentang sejarah pencarian pelaku partai komunis dan kutaksir berperan sebagai secondary source. Disebelah kirinya sekelompok pemuda khusyuk mendengarkan filosofi hidup seorang perantau yang masih mencari ibu rezekinya, setiap orang punya tanah keberuntungan yakinnya, hingga di meja lain duduk dua kakek yang mematung memandangi pion-pion caturnya, saya tak bisa membedakan apakah ia merenungi masa lalu atau berniat menggerakkan ratunya, entahlah yang penting semua menikmati. Di warung itu menunya sederhana, tahu isi, mie goreng, dan nasi dengan lauk rumahan yang berangsur-angsur mendingin dan tak enak lagi, secangkir kopi dan susu cream standar. Tak perlu keahlian khusus, semua tau cara menyeduh, semua tau memasak telur dan menggunting bumbu mie instan.
Di Kota Manado, Djarot mereka menyebutnya. Setidaknya tempat itu yang paling mendekati psikis warung kehidupan diatas. Gang sempit yang menjadi tempat favorit para ulama-ulama kampung Arab bisa berdzikir sekaligus minum kopi. Djarot menjadi penasehat bagi pengusaha yang jatuh bangun menertawakan nasib dan Djarot menjadi markas bagi penunggak pajak merencanakan pembuatan faktur fiktif.
Saya melakukan pencarian, suatu malam di kota Palu. Saya berjalan kaki menyusuri pinggir jalan R.A Kartini lalu belok di jalan Gunung Nokilalaki dan mentok di Juanda. Seperti ini yang dilakukan orang tua dulu, untuk mengenal tata letak suatu tempat demi memudahkan keperluan. jalan kaki akan menyatukan kaki dan hati dengan tempat yang kita pijak. Saya berjalan sendiri, melupakan sepeda motor, handphone, dan dompet di kost. Di saku celana hanya ada uang 19k untuk makan malam. Saya menemukan satu warung diantara ruko dua tingkat yang sedang di bangun. Benar-benar dalam keadaan terjepit, labelnya tertulis dari cat dinding sisa ruko itu. Warung  ini dihuni oleh orang Kaili yang menjadi saksi sepinya Palu dulu hingga menjadi deretan bangunan yang beranak pinak seperti sekarang. Saya memesan Binte, soup dari jagung dengan irisan daging ikan. Enak. Sayangnya MSG yang ia taruh berlebihan membuat saya sakit kepala hingga jam sembilan esok pagi. Hampir, tapi bukan ia warung kehidupan yang kumaksud.
 Saat mengunjungi kota Jogjakarta, Desember 2015, saya diajak Akmal (setelah memaksa sebenarnya), untuk membuktikan dengan 4K bisa bertahan di kota Istimewa. Ya, dia membawa ke warung angkringan dengan pilihan nasi kucing. Seperti namanya, nasi kucing dengan porsi kucing, tapi entah mengapa bisa mengenyangkan. ia masuk dalam daftar warung penyambung kehidupan saya.
***
Seiirng berjalan waktu. Saya merasa keliru sedikit, warung kehidupan tidak melulu diantara gedung bertingkat dan gemerlap kota. Ia juga hadir diantara hutan belantara, di bibir jurang, diatas ketinggian, di punggung gunung. Warung ini malahan menyediakan nilai tambah yang tidak hanya bercerita tentang hidup, tapi memberi semangat dan gairah hidup di setiap suapannya. Setidaknya ada tiga yang pernah saya temui.
Pertama, saat saya mengunjungi pantai selatan Jawa yang cantik nan ganas di Gunungkidul dengan menyewa sepeda motor yang disediakan pemilik homestay. Perjalanan dari kota Jogja hampir menghabiskan waktu dua jam. Setelah merasa cukup, saya balik ke Jogjakarta saat mentari perlahan tenggelam. Ada momen dimana saya dan warung seakan berjodoh pada pandangan pertama. Ia menggoyahkan hati untuk disinggahi. Saya menikmati jagung bakar dan kopi kemasan sambil memandangi kota Yogyakarta dari atas bukit yang perlahan menyala, seperti bintang-bintang. Setelah permisi melanjutkan perjalanan, saya baru tahu bahwa  tempatnya dinamai bukit Bintang.
Kedua, saat kegiatan bersih-bersih gunung Soputan melalui jalur didesa Townswere kab. Minahasa Tenggara. Gunung ini tidak begitu tinggi, hanya saja harus melewati jalan panjang memotong kebun tomat dan daun prei,  jalur djarot mereka menamainya. Kami melakukan tracking di malam hari. Sekitar pukul 23.00 kami istirahat di salah satu warung, memesan goroho.
“Berbaliklah!”seru penjualnya, tersenyum, seakan memberi kado tak terduga. Seketika rasa lelah terbayar dengan pemandangan kelap kelip cahaya, kota dibawah sana bagaikan komunitas kunang-kunang hinggap diterangi bintang-bintang.
Dua hari menginap. Kami turun gunung sambil memikul sampah yang dipunguti di basecamp. Hari itu hujan deras sekali dan dinginnya hawa gunung merasuk, mendinginkan lemak kulit yang seharusnya memberi kehangatan. Tak kami sangka, warung kehidupan bertabur bintang itu sekali lagi menawarkan kami yang menggigil basah kuyup kehangatan kopi dan tinutuan yang berasap baru dituang ke mangkuk, ia tersenyum ikhlas, bersahaja sekali lagi dan lagi, melayani dengan sepenuh hati dan…….GRATIS. Itu lebih dari cukup menghangatkan.
Ketiga, ini agak panjang. Sepulangnya saya dari libur imlek tiga hari.Saya berangkat dari rumah di Mamuju Utara pukul 13 lewat sedikit menuju kota Palu dengan mengenakan sepeda motor. Saya tipe orang yang tidak mempersiapkan apa-apa, bahkan untuk jalan 210 kilometer panjangnya. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih empat jam, dengan santainya saya hanya mengenakan kaos yang dilapisi pakaian rajut lengan panjang. menyimpulkan cuaca hari ini cerah tanpa bertanya kepada pengamat cuaca. Sisa perjalanan 127 kilometer, saya dipermainkan hujan. Mula-mula ia hadir dalam rintik-rintik, saya mengabaikannya. Di atas sungai Sarjo, perbatasan provinsi antara barat dan tengah, saya nekat menggunakan kaos jersey lengan pendek. Sungguh sangat ditolerir kalaulah saya akhirnya masuk angin setelahnya. Mengingat hujan, angin, baju tipis, dan badan yang kurus dengan sepeda motor yang melaju sangat mendukung masuk angin dan kembung berkelanjutan.
Memasuki kabupaten Donggala hujan terus saja mempermainkan saya. di desa Lembasada, hujan turun dalam molekul yang lebih besar. Saya akhirnya memilih berteduh di masjid kecil dan menyempatkan sholat asar serta mengganti baju kaos lagi.
Setelah hujan mulai reda, saya melanjutkan perjalanan. Belum juga menyeberangi dusun seberang, tangisan hujan makin menjadi-jadi. Sial! Bukan hujannya, tapi HP dan Laptop saya mungkin sudah basah kuyup. Segera kuparkir sepeda motor, dan berlindung dibawah atap rumbia sempit tempat pemilik rumah meneduhi kayu-kayunya.
Sekali lagi, begitu lagi. Saat hujan mereda, saya berangkat, dan hujan kembali deras. Permainan yang menggemaskan. Saya memarkir motor lagi dan berlindung di pondok, kali ini penjual ikan. Jam menunjukkan pukul 17.13, sudah pasti saya tiba di kota Palu ketika hari gelap.
Sejujurnya saya mencintai hujan lebih dari hari yang cerah, tak ada cerita kepala sakit, tak kedangaran suara marah-marah, hujan selalu menyediakan kopi, susu, teh dan magnet di meja keluarga. Hujan selalu berhubungan dengan kakao berbuah dan pakaian yang lupa diangkat dari jemuran. Hanya saja, lupa membawa mantel adalah awal dari masalah yang besar. Di tas saya, selain ada hp dan laptop, juga ada buku-buku yang sengaja saya bawa sekedar untuk keperluan hobi.
Saya kembali mencoba berpikir keras, bagaimana caranya agar benda-benda sensi tersebut tidak basah meskipun hujan sepertinya tidak bisa lagi dirayu. Kubongkar tasku, kubalut mereka dengan celana trening dan kumasukkan rapat-rapat di bagian tengah tas besar.
Ayo yo! Hujan tak mengapa kau deras lagi, basahi saya, basahi tanah-tanah yang kehausan. Asal jangan laptop, hp dan buku-buku yang tak berdosa itu! Di sisa perjalanan ini hujan tetap deras dan sepeda motorku tetap melaju. Memasuki desa Tosale, hujan mereda. Saya yang basah kuyup kedingin memarkir motor dititik tertinggi jalan ini, mendekati gubuk.
Dan sampailah kita pada warung kehidupan. Saya memasukinya, didalam beberapa orang yang sedari tadi menunggu hujan reda dengan menikmati secangkir kopi dan indomie telur, sambil bercerita tentang gaji dan laut. Di sudut seberang, dua pasang muda-mudi yang kutaksir nikah muda menghangatkan bayinya. Hanya saya yang basah kuyup. Kukeluarkan isi tas, termasuk buku-buku. Kucari baju yang tidak basah, masih tersisa satu.
Ibu pemilik warung datang membersihkan meja, saya memesan indomie goreng telur dengan secangkir kopi susu. Ia tersenyum membawa pesanannya. Saya berpindah tempat ke ujung.
Warung kehidupan ini bisa saja lenyep sekejap mata. Ia tepat berada dibibir jurang yang jika jatuh berujung pada pantai berbatu. Sisi kanannya sengaja tidak ditutupi papan, sehingga terlihat lautan luas dan sebagian desa-desa di kabupaten Donggala. Pemandangan tanjung karang dan pusat laut bisa ditebak dari atas sini. Lelah perjalanan seakan terbayar dengan secangkir kopi dan panorama tanjung yang menjorok kelautan. Tak ada angin kencang dan ombak tetap berlagak tenang. Beberapa orang telah pergi, disusul muda-mudi nikah muda dan bayinya.
Tersisa saya sebagai pembeli, dan keluarga mereka sebagai pemilik warung kehidupan. Ibu ini memiliki dua anak yang masih kecil, ia tersenyum malu ketika melihatku.
Saya berusaha memperlambat laju minum kopi. Mencoba menambah percikan kehangatan dari kebersahajaan keluarga kecil mereka. Kunikmati secangkir kopi hingga mentari yang bolos kerja sedari hujan menamatkan dinasnya hari ini. Bapak pemilik warung memutar musik nostalgia keras-keras.
Setelah ibuku menelepon menanyakan letak dan keadaanku. Saya memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kutinggalkan warung kehidupan sendiri, membiarkan pemilik menutupnya dan berkumpul dalam kehangatan keluarga.
Kutengok kebelakang. Warung (merangkap rumah) itu berdiri sendiri, bertetangga dengan hutan pula. Tapi, tiada rasa sepi dihati keluarga mereka, sebab alam senantiasa menjadi teman yang cerewet, suara kelelawar atau serangga-serangga di senja atau musik rock dari ombak musim hujan sudah lebih dari cukup menjadi tetangga. kicauan burung-burung endemik cukup menjadi alarm bangun pagi.
“Karena pewarung tidak melulu tentang pelayanan yang serba berbayar, tapi ada diantara mereka  bekerja dengan keikhlasan melayani dan berbagi. Sebab seandainya manusia kenyang berfotosintesis, maka pemilik warung kehidupan cukup hidup dengan keiklasan melayani dan berbagi.”
Salam.

Comments