Bienvenue Danau Tondano





Kota Tondano,--tak asing bagi mereka yang sudah berkunjung ke kota Manado, kata yang mungkin terlintas setelah mendengar nama Tondano adalah danau Tondano,  danau terluas di Sulawesi Utara dengan luas 4287 ha/42,78 km. danau ini memegang peran penting dalam rantai makanan bagi orang-orang yang memasang jangkar hidup di sekelilingnya. Entah untuk ke berapa kalinya ia telah dipromosikan oleh bapak kost kepadaku, curigaku, danau Tondano ini menjadi kenangan liburan terakhirnya diantara rutinitas lembur menghabiskan malam panjang di dermaga kampung Ternate, yang ia juga sudah lupa itu kapan.
Kota Tondano tidak hanya sekedar ibukota Kabupaten Minahasa, namun tanah dimana darah suku Minahasa mendaging dan bangga disemayamkan kembali disini, ia kota tua yang memendam sejarah. Awalnya aku tidak begitu tau, sebab itu bumi adalah buku dan setiap tempat menjadi lembaran yang menarik untuk di baca.
Tidak ada rencana sama sekali.
Latar belakangnya begini : senat STAN MDC mengadakan Tryout dengan kesepakatan hari sabtu tidak ada kuliah tambahan untuk semua kelas pajak.Pada hari itu pula, aku berencana melihat secara langsung primata terkecil di dunia, tarsius Spectrum di Taman Margasatwa Tandurusa, Bitung. Namun, diakibatkan simpangsiurnya informasi yang kuterima selama seminggu terakhir mengenai retribusi masuk yang miring dan kontras dari beberapa sumber tak tahu mana yang bisa dipercaya. Baru hari jumat aku mendapatkan dua opsi dari malaikat yang tiba-tiba muncul dikepalaku, itupun setelah tau bahwa personil bersponsor ke Bunaken lebih, opsi itu ke Tondano atau ke Bitung?
Tapi, apa yang bisa kusaksikan di Tondano, danau tok? Jawaban ini sepenuhnya tidak salah, sebab Tondano biasanya menjadi destinasi wisata nomor sekian di Sulawesi Utara, dengan danaunya yang terkenal, kalah menarik dengan tetangganya kota Tomohon.
Namun, bukan bicara destinasi melulu. perjalanan adalah sebuah proses, bukan? Aku penasaran dengan halaman buku yang satu ini, mengenai masyarakat, lingkungan, jalanan, tetumbuhan. Dengan menetapkan destinasi wajib danau Tondano, katanya sih belum ke Tondano kalau belum ke danaunya.
Perjalanan sangat dadakan, karena di sabtu pagi yang cerah ini aku masih ragu untuk bepergian atau tidak, bukan karena malas gerak, tapi tidak ada yang merespon ajakanku di LINE kelas, hush. Sebagai mahasiswa kedinasan, kuakui sangat susah untuk mencari partner perjalanan, apalagi dengan gaya backpacker dan hitchiking. Baru jam setengah delapan, Anggita, cewek kutu buku, tak kusangka ia ingin ikut  hitchiking bersamaku, dan dari sini terkumpul kami berenam.
Perjalanan kami dimulai pukul 10 pagi, untungnya cuaca tidak terik namun kami juga harus was-was akan hujan. Akhirnya hujan datang, lambat, dan turun dengan anggun memerciki kami di atas bak.
Di Ringroad kami sedang hoki karena mendapat tebengan yang langsung membawa ke Tondano via belokan Mahawu, melewati pasar ekstrim kota Tomohon yang terkenal menjijikkan namun menyimpan seribu rasa penasaran.
………
Bienvenue Tondano, tanah diatas ketinggian 600 mdpl, sejuk, cenderung dingin karena sedang mendung dan didominasi oleh sawah dan rawa. Katanya mengingatkan teman-teman dari Jawa akan kampung halamannya.
Kami diturunkan didekat rumah pemilik mobil bak namun pada arah yang salah dari danau, bagaimanapun juga saya sangat berterimakasih dengan bapaknya atas tebengan langsung dan arah yang berbeda ini. Didepan kami ada polisi dan tanpa ragu aku mendekat. polisi sahabat masyarakat kan? Untunglah kami bertanya pada mereka, saat pak polisi menjelaskan, saya malah tertarik dan melirik ke suatu tempat yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.  makam tokoh kemerdekaan no. 1 di Sulawesi Utara, bapak Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi ( disingkat Dr. G.S.S.J Ratulangi), makam ini sedang dikunjungi rombongan keluarga polisi yang kutanyai. sebenarnya tutup, namun karena aku yang terlanjur menerobos masuk, walaupun tanpa meminta persetujuan yang lain, akhirnya penjaga makam mempersilahkan kami. jadilah wisata sejarah yang sangat berkesan.
Beliau bernama pak Revli, sosok sederhana dan bersahaja, menceritakan tentang bapak Sam Ratulangi. sebelumnya yang kutahu dari ‘bapak Sam Ratulangi’ hanyalah: ia seorang pahlawan, nama jalan ketika main pancasila lima dasar sewaktu SD, nama Universitas dan bandar udara di Manado, sebatas itu saja. Disini pak Revli menjelaskan lebih dalam mengenai asal-usulnya, pendidikan, keluarga, peran, dan salutnya beliau menjelaskan dengan bahasa Indonesia baku tanpa embel Manado lebih dari yang wikipedia tahu. banyak sejarah beliau yang belum terkuak, bahkan seorang pengunjung turis Belanda datang dan ia lebih mengenal kehidupan beliau daripada warga Tondano sendiri.
“Satu yang sampai sekarang membuat hati bapak teriris-iris, jarang sekali bahkan tiadalagi penerus yang mau tahu tentang sejarah bapak Ratulangi, mereka hanya datang untuk berfoto lalu pergi, padahal beliau bisa dikatakan guru dan penasehat dari Soekarno dan Hatta, banyak memberi masukan dan kontribusi besar atas ide pemimpin bangsa.” Ratap pak Revli dengan serius sekaligus menampar telak kelakuan kami barusan, sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya pak Revli yang merupakan PNS di kementrian Sosial menceritakan tentang keluarganya dan kami pun berkenalan, seperti berjumpa dengan kawan lama, cukup berat berpisah dengan bapak asli Minahasa ini, ia juga menjelaskan ke kami tentang sejarah orang Jawa Tondano dan memberi petunjuk arah ke danau Tondano.
Sobat, mungkin kita camkan selalu Jasmerah, karena satu kesyukuran kita bisa berpetualang bebas dengan rasa aman dan damai seperti hari ini, mengingat betapa melelahkannya perjungan Pahlawan yang telah membebaskan tanah kita dari pasukan pencuri luar.
Tondano--dingin dan berkabut, tetes air hujan mulai turun, kami berjalan kaki berbalik arah dibawah rintik-rintik. beberapa delman melewati jalan desa yang penuh dengan sawah dan rawa, silih berganti oto mikro menawari kami, tapi maaf saja, kami hitchiker, prinsip utama kalo dalam keadaan genting barulah memakai angkot dan sejenisnya yang berbayar. Di Tondano adzan terdengar jelas dari berbagai arah, Alhamdulillah.
Panorama pegunungan mengelilingi Tondano, sayangnya kabut masih menyelimuti, setelah sampai diruas jalan utama Tondano kami menunggu mobil bak dermawan, jalanannya lebar dan sepi, sampai-sampai saya bisa ketengah jalan untuk mengambil foto. Tapi ingat, sekali mobil lewat akan sangat laju.
Al-hasil kami mendapat tebengan sampai di pertigaan patung dua manusia dengan tugu yang bertuliskan Sarapung Korengkeng dan penjelasan yang tidak sempat kubaca habis yang menceritakan perang Tondano 1809, tulisannya sudah memudar, ia benar memendam sejarah.
Dari supir yang ramah kami diberitahu jalan menuju Danau Tondano, kami berjalan kaki sekali lagi dan bertanya ke beberapa orang. Di perjalanan kami menemukan bangunan tinggi baru, yang setelah kami mendekat ia dinamai Monumen Benteng Moraya, dengan htm-rp.5000/orang yang menurutku terlalu mahal untuk bangunan kecil sederhana, tapi karena dari tadi belum melihat tanda-tanda danau Tondano dan ingin melihatnya dari ketinggian, kami semua memutuskan masuk. Untunglah kami tidak melewatkan benteng sederhana ini, ternyata benteng tersebut dibangun untuk memperingati peperangan yang peduh darah (Moraya) di Danau Tondano melawan kolonial Belanda, satu halaman buku lagi.

Naik ke atas bagaikan naik ke Pagoda, cuma bedanya ini lebih terbuka, sampai di puncak benteng kami melihat panorama danau Tondano yang luas, gugusan gunung, sawah dan rawa serta perkampungan, meskipun kami tidak melihat pusat kota Tondano, tempat ini ternyata recommendablesekali bagi anda yang suka memandang luasnya suatu tempat.
Di Monumen ini kami sholat Duhur dijamak asar dan makan siang, ditemani dengan tawa dan canda, sepasang anjing yang libido, dan gadis Minahasa yang cantik bukan buatan hilir mudik memberi senyuman selamat sore.
Sekitar pukul 15.00 perjalanan kami lanjutkan ke Danau Tondano, destinasi utama kami,sempat satu per satu teman perjalanan menyerah, namun akhirnya kami terus melangkah. Kami sempat nebeng mobil bak sekali dan menjadi perjalanan singkat lalu jalan lagi, ketika tiba dipinggiran jalanan yang rumahnya terapung di danau, aku sempat frustasi, danaunya luas sekali dan tidak ada tempat untuk singgah dan menikmati pemandangan, untunglah warga memberi rekomendasi untuk ke restoran yang punya view yang bagus.
Namanya Tumou Tou Restaurant and Resort, view-nya dari luar membuat kami ngiler untuk masuk, awalnya berjalan melewati begitu saja, dan kembali mundur berdasarkan hasil diskusi dadakan yang emosional, sempat was-was dan kalau-lah mahal cukup memesan minuman atau makanan termurah, restorannya halal untungnya.
Kami masuk dengan tatapan frustasitidak yakin para pelayannya, di kaca kasir tertera testimoni para pengunjung, mulai dari Ambassador of Sri Lanka, Pakistan, beberapa mentri, hingga musisi. Kami terus saja, ke meja restoran dengan muka tembok, melewati tambak ikan hias yang ukurannya terbesar yang pernah kulihat. Perlu beberapa menit lebih lama untuk melihat menu termurah.

Comments