Dua puluh lima kali kutelpon Anggita dan pada
panggilan kedua puluh enam jika tak diangkat kami akan meninggalkannya.
Panggilan ke dua puluh tujuh menarik kembali omonganku barusan. Andai saja ia
tak tinggal di kosan Pelangi, sudah kuteriaki ia keras-keras dari luar pagar.
“Tunggu 10 Menit.” Akhirnya ada balasan.
Sebelum tarakhim di Muhajirin dan lagu rohani Exodus
berebutan menguasai partikel embun subuh di kelurahan Paniki Dua, Mapanget.
Mobil rental kami sudah melaju menuju kota Tomohon. Sebelum adzan berkumandang,
sebelum mentari terbangun, membangunkan semua orang dan menutup ruas jalan
utama Kota Tomohon, kami sudah memarkir mobil di Masjid Raya, seraya bersujud
untuk hari yang kami tunggu sejak berbulan-bulan.
Gunung Lokon bukan sekedar magis memancarkan aura
hijau dari ilalang dan asap hitam knalpot motor butut di punggung kalderanya,
dari batu letusannya tumbuh bibit bunga kresan, dari biji tanah yang hitam ia mekar
menjadi prisma yang memantulkan gradiasi warna dalam wujud bunga-bunga kresan,
ia gulma surga yang jatuh dari andong Malaikat.
Dari kresan ini, orang Tomohon menggantung pakaian
baru warna warni hidup setelah festival bunga Internasional di gelar.
Jalanan utama kota sudah di tutup. Kendaraan yang tak
mau tahu betapa berharganya hari itu dibelokkan ke jalan dekat gunung Mahawu.
Namun selurus mata mengeker, aktivitas sepi bagai kota kalah perang. Kami
bagaikan orang tertidur dan beruntung ketika penakluk pergi dan yang lain telah
mati. kami terbangun lalu kebingungan.
Sejam berlalu, dua, tiga jam. Entah apa gerangan?
Siapa sih pejabat yang ditunggu-tunggu untuk membuka festival yang
diselenggarakan setahun sekali, (dulu dua tahun sekali).
Akhirnya pada titik membosankan, parade di jalan mulai, penari Cakalele dengan kepala berparuh Rangkong berperang bohongan tanpa alas
kaki di aspal, disambut para pangeran berkuda yang membawa bendera beberapa
negara dibelakang Paskibraka, semua orang bersuka cita mendengar alunan nada marchine band dan penari kayunya. kereta bunga dari beberapa negara dan daerah yang
dijanjikan melewati jalanan, menghipnotis penonton dengan tatanannya yang bersaing memberi makna.
Bunga kresan di Tomohon memiliki semua jenis warna,
tak terkecuali hitam. Ia cerminan warna-warna yang
ditumpahkan di muka bumi, tak heran dari rangkaiannya bisa membentuk rumah
ibadah, terumbu karang, komedi putar, bunga raksasa, lebah, putri duyung, dan
beranekaragam bentuk. Ia merunut pada hidup, sifat manusia, dan komunitas. Di
Tomohon, masyarakat hidup dalam banyak perbedaan, baik agama, warna kulit, maupun
suku. Namun, solidaritas dan kerukunan yang mereka jaga membuat orang-orang
hidup dalam damai dan ditinggikan seperti kotanya yang berada diatas diatas
ketinggian 800 mdpl, dingin dan selalu sejuk.
Comments
Post a Comment