Setiap orang punya gaya perjalanannya masing-masing,
saat membaca tulisan Efenerr yang berjudul “Seberapa traveller kah Anda?”,
tulisan ini membuat saya merenung seharian di kantor. Orang-orang memang
diciptakan dengan sudut pandang berbeda, kepekaan berbeda, dan saya merasa peka
dengan tulisan beliau. Artikel tersebut, sejauh yang bisa saya tangkap yakni membahas
tentang bagaimana seseorang menikmati setiap perjalanan yang dilakoninya tanpa
harus ikut-ikutan dengan cara dan gaya perjalanan orang lain, bahkan tanpa
perlu membeli buku keliling ini itu dengan biaya sekian dollar, bahkan di level
‘kurang ajar’ tanpa perlu memikirkan biaya.
Bodohnya aku selama ini. Ketika memutuskan perjalanan
bersama dengan beberapa orang ke suatu tempat, misalkan saja pantai, lalu yang lain tak
berniat basah-basahan, kuurungkan niatku untuk mandi di lautnya, alasan klasik
seperti takut merepotkan karena (merasa) harus ditunggu bilasnya, (merasa) ditunggu
ininya-dst-itunya, alhasil paling mentok hanya duduk bersama di pinggir pantai
dengan es kelapa aren, ber-selfie ria lantas pulang dengan seabrek foto. Sah-sah
saja orang lebih memilih berselfie, asal tak maksa, tak menginjak tanaman dan karang, asal
tak membuang sampahnya sembarangan. Belum lagi, karena ragu melakukan perjalanan
sendirian, berapa banyak penolakan atas ajakan jalan-jalan yang aku terima?
Kuakui hanya satu-dua orang teman yang kukenal cocok
dengan gaya perjalananku ini, yang harus basah-basahan ketika bertemu air (entah
itu air laut, air terjun, air sungai), yang harus rela panas berkeringat ketika
matahari terik bersinar tanpa perlu mengeluh menjadi hitam sepertiku, yang rela
gatal ketika melewati semak belukar.
Lalu aku merenung, perjalanan seperti apa yang aku
inginkan? Yang bisa aku nikmati? Beberapa hari yang lalu, saat menulis cerita
perjalanan “Tracking satu jam bonus air terjun.” Disalah satu bagian aku
menulis seperti ini : “bukankah
perjalanan liar, tersesat, berusaha mencari jalan sendiri, dan menemukan apa
yang berusaha kita cari adalah sesuatu yang menggairahkan. Namun, perjalanan
ini bukan milikku sendiri, dan setiap orang punya gaya perjalanannya
masing-masing, punya pertimbangan masing-masing.”
Jadilah kuputuskan gaya yang paling tepat buatku
adalah melakukan perjalanan seorang diri, istilah kerennya Solo traveller,
entah aku pantas menyandang itu atau tidak, tak usah kau pikirkan. Misi ini
tidak main-main kawan, agar perjalananku bermanfaat aku sudah membeli trashbag
untuk memunguti sampah-sampah para anak gaul yang belakangan ini tumbuh pesat
ditempat wisata. Aku terinspirasi kalimat sederhana, “Kalo perlu, tinggalkan
tempat yang kita kunjungi lebih bersih dari sebelumnya.” Saat membaca kalimat
itu pertama kali di media sosial.
Solo traveller akhirnya kusandang hari Sabtu disiang
bolongnya kota Palu, karena tidak punya tas jalan, kubawa saja keril 90 L,
lumayan bisa memuat pakaian ganti, handuk, air minum, dan makanan lebih. Perjalananku
kali ini ke Taman Wisata Alam Wera.
Bukankah perjalanan
liar? Akhirnya aku termakan kalimatku
sendiri. Aku mengambil rute yang lebih jauh dari rute yang dilewati orang lain
pada umumnya. Beberapa kali bertanya ke anak SD yang sedang jalan kaki pulang selepas
sekolah dengan sepatu ditangan tanpa alas kaki, mengingatkan cerminan masa SD-ku
yang sederhana. Tapi tak mengapa kawan, aku masih menemukan jalan menuju tujuan tanpa kehilangan
banyak waktu. Lagi pula, yang ketemukan dari perjalanan liar (lebih tepatnya serabutan)
ini adalah landscape kabupaten Sigi yang indah, tersembunyi, mistik, dan
terpencil, kabupaten Sigi baru terbentuk pada tahun 2008 dari
pecahnya kabupaten Donggala yang sebelumnya sangat luas.
Tersesat, ya kali ini aku benar-benar tersesat, setelah tiba
di pintu penyambutan selamat datang, memarkir motor ditempat dimana seharusnya,
lalu aku tracking sendiri mengikuti alur sungai sesuai petunjuk. Aku malah tersesat
saat perjalanan sudah dekat dengan destinasi, entah Tuhan menguji kata-kataku
itu, meminta tersesat. Aku tak melihat jalan diakibatkan ada pohon besar yang tumbang, jadilah
aku ke jalan yang sesat dan sedikit tergelincir dibatu yang licin. Yang
kutemukan di jalan sesat ini adalah curug kecil, dan aku memutuskan mandi sendiri disana,
seolah-olah berada dikolam pribadi yang segar, dingin dan lumayan dalam.
Setelah puas, aku kembali ketitik terakhir kali aku meraba-raba salah jalan.
Dan, lagi, aku masih buta. Aku memanjat tebing dengan kemiringan sekitar 70
derajat, tak mungkin ini jalannya! Kusadari itu ketika kemampuan memanjatku
diambang batas, ini lebih susah dari summit ke gunung tanpa bantuan tali,
kulihat bebatuan besar dan keras berserakan dibawah sana, jikalah saja aku tergelincir
dan salah langkah sedikit saja maka tak tahu jadinya apa?Kubayangkan betapa
banyak dosa sengaja yang belum kuhapus dengan doa ‘minta ampun’, tak bisa
kubendung lagi keringatku kini bercucuran, ditambah keril 90 L yang membatasi
ruang gerak. Mampus. Aku turun pelan-pelan. Memegang semak yang menurutku
tertancap kuat pada tanah, dan Alhamdulillah, setelah waktu yang seakan
disetting slow-motion, Tuhan masih bersamaku.
Berusaha mencari jalan
sendiri, dan menemukan apa yang berusaha kita cari adalah sesuatu yang
menggairahkan. Setelah tersesat aku
putuskan kembali ke rest area dimana dua pasang remaja SMK pacaran dan kuperkirakan
gagal mesum karena ada aku yang hadir mengganggu gerak gerik mereka disitu. Bertanya merupakan
bagian dari usaha mencari jalan sendiri, menurutku begitu, sebelum mereka pergi
meninggalkan rest area, kutanyai jalan menuju air terjun Wera versi mereka, dan
ini tetap tidak membantu. Aku masih jalan di tempat yang pertama.
Kejadian ini membuatku merenung di perjalanan. Kata
akan kembali pada orang yang mengeluarkannya, entah ia yang dikeluarkan lewat suara, tulisan, atau
hanya dalam bentuk kata hati. Dia tidak datang megetuk pintu rumah lantas memberi amplop sebagai balasan, tidak kawan, tapi ia datang disaat yang tidak kita duga, merasuki jiwa ketika ia sudah terlupakan. Tinggal menunggu waktu saja, dan itu terlalu cepat bagiku, sebab Tuhan bekerja
dengan cara yang misterius. Mentari tenggelam menjadi saat merenungi
apakah pilihan kata itu benar-benar yang kita butuhkan?
Air terjun Wera sekilas tampak biasa. Dua kilas, luar
biasa. Bayangkan dua anak gunung pada buku gambar SD anda, dan diantara
keduanya mengalir air terjun pada punggung gunung yang bersinggungan. Kupikir,
hanya di Islandia saja punya air terjun menakjubkan tampak dari jalan
beraspal. Di Sigi ada air terjun Wera yang tampak dari jalanan samping
permadani sawah dan ladang melengkapi latar belakang pegunungan yang tegap gagah.
Air terjun Wera bertingkat dua. Air terjun
pertama tingginya sekitar 5-8 meter dan tingkat dua tingginya lebih dari 20
meter. Cukup setengah jam tracking dari gerbang selamat datang jika anda tidak
tersesat seperti saya. Airnya yang dingin bening kontras
dengan cuaca Palu dan Sigi yang panas menyengat, sempatkan berenang dan
merasakan hempasan airnya yang luar biasa, arus dan teriakan alam yang luar biasa.
Bahkan jika saya tak menemukan Wera, deretan pegunungan
yang tinggi cukup menjadi sesuatu menakjubkan untuk diceritakan, pegunungan
megah itulah yang tampak dari lantai dua kost saya yang membuat penasaran tak
terbendung. Kini akhirnya bisa melihat pegunungan Fenne dengan lebih dekat. Diatas
pegunungan yang tinggi itu terdapat satu dua rumah yang membuatku takjub dan
bertanya sendiri, bagaimana bisa seseorang bertahan sepi disana? Apakah ia punuk
yang merindukan singgasana dari awan?
Usai tracking pulang, saya duduk bersama Tama (bapak-bapak)
asli suku Kaili. Kutawarkan roti yang kubawah dari kosan, iapun balik menawarkan
kopi. Kami bercerita dalam gelak tawa, dalam hangatnya secangkir kopi dan
manisnya roti di sore yang berawan.
Sampah milik orang lain yang saya bawa pulang hanya sedikit, ini menunjukkan bahwa air terjun Wera masuk kategori sangat bersih sekali,
semoga saja tetap terus begini, mengingat sumber airnya dipakai untuk mengairi
rumah dan persawahan milik penduduk.
Di perjalanan pulang saya tersenyum
melihat sebagian keindahan yang disuguhkan kabupaten Sigi. Bahkan, disuatu titik jalan, sepeda motor yang
saya kendarai melambat hingga 20km/jam saking menakjubkannya Sigi di mata saya. Sejak perjalanan ke wisata Alam Wera, saya sudah jatuh cinta pada Sigi ketika pandangan
pertama sampai pandangan terakhir di perbatasan kota Palu. Kabupaten Sigi
menyimpan peradaban asli suku kaili dengan etnik yang beragam dan kaya akan
budaya. Suatu saat lagi, ayo kesana lagi!
Comments
Post a Comment