Berkelana di Belentara Taman Nasional Lore Lindu



“Lindu adalah multi-rasa. Ia wujud benci, amarah, frustasi, dan rasa takjub hingga memunculkan kembali sel-sel harapan dan rasa rindu pastinya.”
***
Seandainya pucuk-pucuk daun adalah lensa kamera, maka perjalanan ini menghasilkan sebuah film dokumenter yang terlalu epik. Atau, terlalu banyak lensa di belantara Taman Nasional Lore Lindu (disingkat TMLL), sebuah tempat penghasil oksigen berkualitas nomor wahid. Tak tangung-tanggung kawan, Taman Nasional Lore Lindu ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO pada tahun 1977.
Jika saja Lore adalah jiwa yang misterius dan Lindu sebuah kota, maka ia ibukota bagi keanekaragaman hayati endemik pedalaman Sulawesi, ditengahnya terdapat lubang besar bersemayam sang Lindu yang melegenda pada asal muasal teluk Palu, ia sang belut yang dulu menguasai danau yang indah. Sekarang menjelma menjadi perahu nelayan di tepi danau Lindu.
Kesanalah kami hari ini.
Sebelum hari ini, Lindu bagiku lebih dari impian, ia yang hanya bisa kukagumi lewat kumpulan video amatir di youtube, kini sebentar lagi aku menjadi aktor, berada disana. Hatiku yakin mantap. Perjalanannya yang ekstrim terkadang membuat beberapa orang enggan kedua kalinya bertamu di Lindu. Dari video maupun survei kecil-kecilan terhadap orang kantor yang mendahuluiku kesana, penjabaran mereka menekankan pada perjalanan yang ekstrim ketika memasuki gerbang kebanggaan Taman Nasional Lore Lindu, seakan berkata selamat datang dan rasakan kenekatan-mu, kawan. Maafkan aku, ini membakar gairah alam imajinasiku untuk mendatanginya.
Berangkatlah kami, dadakan dan jangan tanyakan soal persiapan. Kuajak Hani a.k.a Dwi Nur Handayani, karena perjalanan sendiri masih menjadi momok yang menakutkan disini. Hutan Sulawesi tengah kabarnya dikuasai oleh sekelompok teroris yang membuat perjalanan seorang diri menjadi parno level lima, siapa sangka muncul ninja dibalik tetumbuhan dan membegalmu ditengah belantara ketika kamu sedang asyik mengagumi dinginnya udara siang.
Perjalanan ini tanpa pemandu, kami menyusuri jalanan menuju pedalaman Sigi hingga dua jam perjalanan. Melewati pelataran rumah seng khas pedesaan satu shaf memagari jalanan, seekor anjing tertidur nyenyak ditengah jalan, dan gerombolan sapi menjadi penguasa lalu lintas. Karena kami berdua tak tahu lokasi pasti, tentulah sangat mudah untuk tersesat. Petunjuk yang kuketahui dari sumber yang kurang terpercaya adalah pintu gerbang TMLL berada disebelah kiri jalan,.Sialnya, kami tak melihat gerbang besar itu sebab ia menjorok masuk di tikungan tajam. 
Saya terus melaju, hingga di persimpangan jalan yang membingungkan, saya bertanya pada seorang bapak yang lagi merumputi kerbaunya.
“Balik arah jo, kalian kelewatan sedikit. Kembali kesana sekitar lima kilometer di Sedaunta lalu belok kanan, mereka so buat jalan besar itu.” Setelah mengucapkan terimakasih, kami menuruti petunjuknya.
Perlu diketahui kawan, lima kilometer bagi warga disini harus dikali dua untuk mendekati jarak dalam Satuan Internasional yang akurat, setidaknya itu yang kupelajari. Kurang lebih sembilan kilometer sampailah kami di desa Saduanta yang merupakan kaki gunung menuju danau Lindu, melihat gerbang merah Taman Nasional Lore Lindu, membakar kembali semangatku.
Warung makan merangkap pangkalan ojek berada di kiri dan kanan gerbang, banyak lelaki di Sedaunta berprofesi sebagai tukang ojek dan menjadi profesional karena medannya, harga yang diberikan cukup sebanding dengan perjalanan yang dihadapkan. Bayangkan saja kawan, jika kamu merencanakan rute perjalanan dari satu jalan entahlah di kota Palu menuju danau Lindu melalui Google Map, maka tidak ada rute yang disediakan.
Kami masuk di jalan yang kian sesak. Bahkan, tanjakan yang menyambut sudah disertai jalan yang tak diharapkan, tapi ini sempurna untuk alasan petualangan. Akses menuju danau Lindu tepat berada di bibir jurang, bayangkan saja sebuah gunung dengan kemiringan empat puluh lima derajat dan  di salah satu punggungnya di kerok untuk jalanan. Beberapa jalanan sudah di semen, tapi tetap saja, ada pohon besar tumbang  menutupi jalan (atau sengaja di tumbang), longsor menutupi jalan, dan dibawah jalan longsong mematahkan setengah sisi jalan. Beruntunglah kami datang disaat musim tidak hujan. Kesempurnaan jalan ini, dilengkapi dengan bocornya ban belakang kami ditengah usaha pendakiannya. Jadi, apa?

Hutan TMLL tak berhenti menyajikan nyanyian kepada pengunjung, kicau burung dan derik serangga, semuanya misterius tersembunyi dibalik rimbunnya hutan. Kami dua manusia terjebak di tengahnya. Kucoba menenangkan diri, dan Hani tentunya. Ini merupakan perjalanan terjauh pertamanya semenjak dua tahun  kuliah di Universitas Negeri di kota Palu dan mengabdikan waktu ‘hanya’  untuk belajar, aku takut ia jadi phobia travelling
Tidak ada sepeda motor yang lewat. Lima belas menit kemudian, beberapa sepeda motor melawati jalan ini, mereka mengangkut salon (tempat pengeras suara), sepertinya akan ada acara diatas sana.
Setengah jam kemudian, lewat seorang pemuda dengan motor bututnya tanpa membawa barang bawaan yang banyak. Kuberanikan diri untuk menghentikannya. Kutanyai ini itu dan kuminta tolong ia kalau bisa membonceng Hani, tapi ia tak berani mengingat medannya ekstrim dan motornya sudah hampir uzur.
Menurut hemat saya, jika kami meneruskan perjalanan akan lebih berbahaya sebab dengan kondisi ban belakang bocor dan danau Lindu masih bejarak 17 Kilometer (tolong dikalikan dua atau tambahkan setengahnya untuk mendapatkan hasil yang akurat). Meskipun jika kami kembali ke Sedaunta juga lumayan jauh, namun itulah pilihan terbaik.
Perjalanan turun gunung lebih ekstrim, penggunaan rem harus teliti dan menjaga keseimbangan motor, serta mata yang harus melotot mengikhlaskan masuknya debu-debu beterbangan. 
Akhirnya sampailah kami kembali di kaki gunung, desa Sedaunta. Saya menemukan bengkel tak jauh dari pintu gerbang TMLL. Sayangnya, listrik mati dan tukang bengkel bergantung pada listrik. Saya menanyakan kepada beliau bengkel yang lain dan segera menuju kesana, dua kali sayang, istri pemilik bengkel kecil itu menjelaskan bahwa suaminya sedang beralih profesi jadi tukang ojek mengantarkan penumpang ke Danau Lindu dan entah kapan kembali.
“Berapa yang saya keluarkan jika saya naik ojek saja?”
“Kesana sekitar enam puluh ribu, sekali jalan.” dari hasil analisaku, tarif yang mereka tawarkan berbeda-beda, diantara mereka mematok lima puluh ribu, bahkan empat puluh ribu sekali jalan. Ibunya menyarankan kami untuk ganti ban saja, selain menghemat waktu, alasan paling tepat adalah lebih murah.
 Setelah Salat duhur, saya kembali ke bengkel pertama untuk mengganti ban, tidak lama. Pemiliknya bertutur dalam bahasa kaili etnik lain yang sama sekali tidak saya mengerti.
Pukul 13.15, kami berangkat lagi melewati jalanan yang sama. Setengah jam tidak ada tanda danau terlihat, semakin kedalam hutan semakin rapat, jalanan semakin tak karuan. Burung raksasa Rangkong beterbangan di langit, pohon-pohon tinggi menjulang. Beberapa titik jalan dikenakan tarif dua ribu oleh penduduk disini untuk perbaikan jalan, dan kupikir ini rela mereka lakukan ditengah belantara saking susahnya hidup.
Sejam kurang lebih perjalanan, kami berada di suatu lembah yang seakan membawa kami kedunia lain. dimana terlihat pemukiman penduduk sederhana dipenuhi bermacam bunga-bunga, anak-anak mencuci dan mandi di selokan depan rumah. saking bersih airnya, pikirku. Tampak gereja berdiri dan merupakan bangunan yang paling megah. 
Ini adalah desa pertama, Puro. Sekilas tampak biasa, tapi kalau kalian berpikir lagi, siapa yang mau tinggal d ipedalaman hutan seperti ini? Akses jalanan akan terputus ketika musim hujan subur dan mereka akan terisolasi dari dunia manapun dan hingga sekarang setahu saya mobil tak pernah masuk. Bagaimana cara mereka membangun rumah ibadah permanen, sekolah dasar permanen, dengan apa mereka mengangkut bahan material, sepeda motor saja seakan bernasib sial?
Oia kawan, mungkin pertanyaan itu tidak perlu dijawab, sebab jawabannya sudah ada didepan mata. 
Empat desa dipedalaman ini, yakni Puro, Langko, Tomado, dan Anca (biasa disingkat PLTA) merupakan desa inclave dengan adat yang sangat dijunjung tinggi, Anca sendiri dengan kreatif mereka buat kepanjangan yakni Adat, Nyaman, Cerdas, dan Adil.
 Kami belum melihat danau ketika memasuki desa Puro dan Langko, mereka menyebutnya kampung satu, karena ke kampung dua (Tomado dan Anca) jaraknya masih dipisahkan oleh persawahan dan ladang sapi-kerbau.
Sebenarnya, Kecamatan Lindu menyimpan salah satu spesies yang paling kelam dan satu-satunya di Indonesia. cacing endemik schistosoma penyebab Schistosomiasis, adalah penyakit tropis yang masuk dalam kategori diabaikan. namun berbahaya, sebab ia menginfeksi korban dengan langsung masuk  melalui pori-pori manusia menuju ke jantung dan paru-paru. konon, ajaibnya orang asli Lindu kebal terhadap jenis cacing ini. Makanya jika anda berkunjung, disekitar sawah terdapat tulisan focus active harus pakai sepatu boot. Oleh karena itu, disini terdapat laboratorium Schistosomiasis satu-satunya di Indonesia.
Melewati persawahan, samar-samar terpampang danau nan luas nun jauh disana, ia dikelilingi oleh pengunungan asli hijau nan rapat dengan awan putih berlapis langit yang biru. Selamat datang di ibukota keanekaragaman hayati pedalaman Sulawesi, selamat datang di danau lindu.
Tak berhentinya kami mengucapkan syukur dan mengagumi keindahan Danau Lindu. Ia telah membenamkan kami kedunia yang seakan jauh sekali dan tersembunyi. Dimana ikan-ikan tidak takut menampakkan dirinya di air jernih, elang terbang se-suka hati dan menyatakan ini rumah mereka, ditambah beranekaragam burung-burung air. Lindu menjadi istana bukan hanya manusia, melainkan juga binatang dan tumbuhan. Kami seperti masuk kedalam tayangan National Geograpic disebuah negeri yang tropis dengan hutan lebat yang masih sangat asli. Tak salah jika Indonesia selalu mengaung-aungkan kata ‘tanah surga’.
“Kalo ada yang kurang, mungkin kurang kamera.” Kata Hani.
“Bukannya momentum terindah tidak akan bisa terekam kamera?” sahutku, mantap.

Di pendopo tepi danau Lindu kami bertemu dengan seorang lelaki kecil, ia khusyuk memancing ikan dengan umpan kerang-kerangan, ia menyebutnya moti. Anak lelaki ini sangat pemalu. Kucoba berkenalan. Namanya Kristo Marselo. Kutawari ia cokelat, namun ia tegas menolak dan malah menjauh. Lalu kudekati ia lagi, kutawari bantuan melempar kailnya, ia menatapku dengan tidak enak, seakan berkata apa sih nih orang. Aku mundur, memutuskan untuk duduk bersama Hani dan membenamkan kaki di air danau Lindu sembari memandangi nelayan dengan perahu unik berkepala panjang. kukeluarkan ponselku untuk memotretnya, tiba-tiba Kristo mendekatiku. 
Ternyata Smartphone ini yang menyatukan kami. Kupotret ia lantas kutunjukkan hasilnya, ia tersenyum malu. Lalu kuajak ia untuk berfoto bersama. Ia langsung berubah ramah dengan menceritakan tentang ayahnya yang sedang pergi mencari ikan ditengah danau sana, ia percaya bahwa didalam sana bersemayam monster buaya, apakah ia pernah melihatnya? Katanya belum, tapi ia dan ayahnya percaya. Saya tidak. Ia menunjukkan gerombolan ikan seakan-akan kami belum pernah melihat ikan seumur hidup.
“So, apa cita-citamu?” Tanyaku, tanpa ragu dengan tegas ia menjawab ‘Tentara’.
Sebelum kami pulang (sebenarnya, jika sendiri rasanya ingin sekali bermalam), kami menyempatkan diri untuk bertamu ke desa paling ujung, desa Anca. Disepanjang jalan kutemukan kerbau asyik berkubang ditemani jalak, saya dan Hani berusaha tersenyum kepada setiap orang yang kami temui di jalanan.

Dari perjalanan ini, sel dalam otakku berkoar mengenai Lindu :


Lindu adalah fantasi. Dia bercerita tentang penduduk yang terisolasi dalam hutan dan hidup berkecukupan dengan alam. Lindu adalah magis. Dia tersembunyi di balik pegunungan dan hutan rapat, berada diatas ketinggian 1200 mdpl. Lindu adalah belut, yang menjelma menjadi perahu nelayan. Lindu bercerita tentang air yang menggenangi awan atau sebaliknya. Lindu adalah jantung, ia tepat berada di pedalaman dataran Sulawesi. Lindu bercerita tentang negeri jauh, dimana ikan bersahabat dengan manusia, kerbau bersahabat dengan jalak, dimana nyanyian insecta nyaring terdengar. Ia jauh namun tak sekalipun sunyi. Selalu ada yang bernyanyi dan menari. Lindu adalah adat. Dimana tanduk kerbau menghiasi rumah dan hutan dimantra-mantrai. Anak anak duduk di permadani sawah dengan latar hutan rapat, mandi dan mencuci di aliran selokan, saking bersihnya.”


Tepat pukul empat, kami keluar dari desa. Selamat datang dijalan sensara, kata Hani ketika kami memasuki areal hutan dengan jalan ekstrim yang sempat kami lupakan, udara sore semakin dingin dan hewan-hewan tidak berhenti memamerkan suaranya.
Pukul lima sore, kami tiba dan salat azar di desa Sedaunta dan mengetahui bahwa ban belakang sepeda motorku yang baru diganti tadi siang bocor kembali, hal ini membuatku panik mengingat hari mulai gelap dan uang sudah habis pulak. Dipikiranku saat itu hanyalah bagaimana caranya agar sampai di kota Palu dengan selamat malam ini?
Dalam gelap, aku yakin Tuhan tidak tidur, Dialah yang menjaga para petualang dari bahaya dan Ia pula yang melindungi para kembara dari jalan ketersesatan.




Comments