Dari jendela berdebu yang diterpa rintik
hujan, mengering membentuk jejak oval runcing, entah dimana hubungannya? Tapi, jejaknya membawa
pikiranku jauh menembus masa-masa kuliah. Disana, di ruang dengan jendela
berdebu yang mirip.
Kami mahasiswa kedinasan di sekolah Keuangan
selalu diingatkan bahwa dunia kuliah kami yang berusia satu tahun akan sangat
berbeda dengan dunia kerja yang entah ia mencapai satu tahun cahaya?
Menurutku, nasehat macam itu tak ada
bedanya, juga nyaring disuarakan kepada para peserta ajang pencarian bakat di
stasiun tivi swasta.Tak peduli,mereka
yang nantinya menang maupun pulang, peringkat atau tiga terbawah-mendapati
dirinya berbeda ketika keluar menghadapi dunia entertainment-dunia (mereka) yang benar-benar nyata. Sebuah teater
terselip kebenaran diantara tumpukan kesalahan dan/atau sebaliknya.
Meskipun, sekarang ini pekerjaan yang
kutangani bolehlah dianggap
remeh-temeh, tetap saja ia menguras tenaga dan waktu, menghabiskan air mulut,
dan andai saja darah nasionalisme si ASN mengendap di nadi serta vena-ku,
konstan sampai magrib pekerjaan ini dengan semangat akan kukerjakan.
Salah
satu dari sedikit pemicu senyum simpulku adalah seorang ibu religius yang
melaporkan banyak sekali SPT lantas mengelabui antrianku dengan memberikan
pujian kepada Yesus Kristus, sebab aku berhasil menjadi seorang fiskus di usia
muda, entahlah saat pegawai disini mengatai wajahku terlampau dewasa (baca:tua) ketimbang umur, mereka tulus mengatakanku muda. Kusadari aku memang masih
terlalu muda untuk mengahadapi candaan se-tua itu.
Disamping dogma seorang Aparatur Sipil
Negara menurutku mirip dengan doktrin
sosialis-komunis, dimana kreativitas dan pemikiran baru berada dinomor sekian
setelah patuh dan taat pada kebijakan negara, negaralah yang berhak kreatif.Itulah kenyataannya kawan, namun bagi kami-seorang-fiskus
muda, kami dihadapkan pada prosedur yang lebih rumit, ketidakpastian, permainan seru atau mungkin (saja) dipandang mengenaskan, terserah sudut kalian
melihatnya. Lagian, siapa yang suruh sih jadi
ASN?
Pukul tujuh belas, tepat waktu absen pulang
dimana pegawai dipersilahkan meninggalkan kantor. Saya sering menghabiskan satu
dua jam setelahnya di kantor. Sekedar menikmati fasilitas Wifi kantor yang unlimited, bermain ping-pong dengan
kakak-kakak di seksi Ekstensifikasi,
atau hiburan lain sebagai penghargaan terhadap diri yang katanya perlu disayang?
Saat-saat itulah otakku menjadi proaktif,
maksudku, aku bisa berpikir langsung banyak, melamun dan mengingat-ingat masa
lalu.
Saat teman SMA-ku dulu meramalkan aku
berujung ilmuwan di belantara Amazon, lalu aku menuliskan impian terbesarku di
ombak malam, mengelana di bumi, lalu orangtuaku datang membatasi impianku hanya
boleh kuliah dijurusan pendidikan dengan visi mulia mencapai harkat PNS sepertinya,
mematahkan daftar usulan negosiasiku ke sastra Inggris atau hubungan
internasional yang baginya tiada terlihat
apa masa depannya? Meskipun sudah kujelaskan dengan mulut berbusa-busa, ditambah tak
boleh kuliah diluar pulau pulak.
Selalu saja, ketika menghidupkan mesin
sepeda motor, meninggalkan kantor dan gelapnya parkiran belakang, aku selalu
bertanya akan hidup. Inikah impianku?
Hari ini telepon selulerku berbunyi,
mematahkan daftar lamunan panjang yang belum sempat terputar di otak. Ada
telepon dari ibu, oia, setelah hari kerja telah berakhir ia rutin menghubungiku.
Satu-satunya yang membuat lelah hilang atau bertambah adalah isi teleponnya,
hampir tiada bolong hari ia menghubungiku dan menanyakan pertanyaan yang sama,
ada dimana, dan kalau beruntung ia selipkan pertanyaan, apakah uangku masih
cukup.
Jika Tuhan menentukan takdir seseorang
kurasa Ia melimpahkan wewenang itu seperempatnyakepada ibuku, dan memberikanku sedikit
pilihan sebagai si objek untuk
merubahnya sedikit. Setidaknya aku bukan menjadi guru berstatus pegawai honorer,
melainkan seorang pegawai pajak berstatus diperbantukan,
yang menghadapi orang-orang dengan senyum skala dua dari sepuluh.
Aku tahu ibu ingin aku, dan mungkin ketiga saudaraku dalam posisi aman di dunia yang serba
keras, menurutnya, tak usah bercita muluk-muluk, kami bukan keturunan bangsawan.
Definisi aman baginya tak lain menjadi seorang pegawai negeri sipil dan itu eksak tak tergantikan tak berbantahkan.
Aku
tak bisa mengelak.Selama ini, memang aku selalu aman bersamanya. Apakah itu
benar-benar kebutuhan?
Ibuku, kalau kalian melihat foto mudanya
sangatlah cantik. Ia wanita langsing, seksi, dan berkulit putih bersih. Namun, merujuk
kebelakang, ia dulunya gadis kecil nan malangditinggal mati ayahnya sejak usia
tujuh tahun dan hidup miskin bersama ibu dan kedua saudaranya disebuah desa
miskin di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ia terlampau menyayangi ibunya yang
berjuang sendiri menyekolahkan tiga anak, untuk ukuran dulu atau bahkan
sekarang, janda yang menamatkan ketiga anaknya di sekolah menengah atas dengan
hasil keringatnya sendiri adalah prestasi yang sangat besar dan tak bernilai.Dengan
perjuangan yang panjang (dan doa yang lebih panjang pula tentunya) dua dari
tiga anaknya dinyatakan oleh para tetangga berhasil, setidaknya tidak menjadi
buruh.
Ia
bertemu dengan ayah di Sekolah Pendidikan Guru, di kabupaten Takalar, kabupaten
di seberang selatan. Betapa ibuku gadis 70-an yang berani merantau demi pendidikan.
Ayahku, ia lelaki kekar berkulit hitam legam yang takmaukalah miskinnya dengan ibuku. Aku pernah mempertanyakan,
kenapa bisa ibuku jatuh cinta kepada ayah, bukankah ia primadona di setiap
tempat yang ia pijak? Maksudku, jika ia mendapati seseorang yang lebih sepadan,
mungkin aku juga bisa lebih percaya diri. Kau tahu maksudku? Tapi, ibu hanya
tersenyum.
Kisah cinta ayah dan ibu, adalah yang
terbaik. Maksudku begini, dua orang yang berbeda warna kulit, sama-sama di
peluk kemiskinan, merantau jauh di tanah yang misterius meninggalkan sanak
famili, yang langkahnya entah menghasilkan kemalangan atau entah kebahagian,
mereka sungguh saling menyempurnakan.
Ketika kakakku lahir, ia dibawa pergi saat usianya
baru tiga bulan dengan kapal layar yang hampir karam di tengah selat yang
kedalamannya misterius. Dan disanalah
kami memutuskan berhenti no maden, berenam diantara ratusan orang yang hidup
masih satu rumpun, satu suku. Sebagian dari mereka mencintai pengabdian
keluarga kami, dan yang lain sebagai penyeimbang. Membenci dengan cara yang
tidak kuketahui apa maunya.
Ibu adalah anak berbakti, separuh gajinya
dikirim ke nenek, orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Hingga beliau
dijemput maut, ibu nyaris tidak berdaya. Hidupnya hampa, badannya layu, aku
mendapatinya tidur sepanjang hari. Ayah membawanya ke dokter, namun ini bukan
masalah penyakit fisik, jauh dari itu jiwa ibu terpukul atas kepergian nenek.
Aku tak tahu pada titik dimana ia bangkit.
Kami, empat anaknya yang senantiasa berkumpul mengelilinginya memeluknya,
kembali memberikan gairah untuk hidup.
Sebenarnya, kami berenam adalah orang yang
paling tidak kompak. Meskipun kami keluarga kecil dengan hubungan darah
terdekat, tapi kami punya isi kepala yang berbeda-beda, yang memandang sesuatu dari penjuru mata
angin yang tidak sama. Kami, adalah makhluk yang keras kepala(bukankah kepala memang keras?).
Dari warna kulit dan wajah, akulah
satu-satunya yang mewarisi kulit hitam ayah, tekstur wajah melanesia, tapi kami adalah dua makhluk yang nyaris tidak sama,
tidak pernah berdamai, jika kami masih dianggap kutub yang sama, maka kami akan
selalu tolak menolak.Disanalah ia berdiri, di garis tengah, menjadi wasit atau
juru damai, Ibu.
Kakakku, ia mewarisi kecantikan dan kulit
putih ibu. Maka, akulah tumbal jika kami berdua berangkat sekolah bersama, dari
seratus orang di jalanan hanya nol koma satu persen yang tidak menanyakan
apakah kami benar-benar bersaudara? Maksudnya, kakakku yang berwajah oriental
dengan hidung mancung, wajah putih mulus, sementara aku, yah aku tidak pesek, tapi kulitku hitam dan bentuk wajahku yang klasik-primitif
bagi mereka.
Tapi Tuhan selalu adil menciptakan, walaupun awalnya kuklaim tetap tidak adil.
Maksudku diantara olok-olokan mereka, mereka tak bisa menyangkal bahwa aku anak
yang cerdas dan tetap saja memiliki berbagai kelebihan walaupun beberapa
diantaranya terlambat kusadari, tapi itulah manusia, setiap diri adalah
istimewa dalam artian berbeda.
Jika kalian lebih mengenal ibuku, dia wanita
yang teguh pendirian. Kami menjadi sumber kekuatan sekaligus kelemahannya. Saat
aku sakit, kuakui ia adalah orang yang paling menderita, walaupun sekedar demam
yang wajar, ia akan terjaga hingga pagi dan esoknya lagi. Diantara kami, dia
yang menghabiskan banyak waktu untuk berdoa setelah salat, satu per satu kami
di doakannya. Disaat kami harus merantau, dia akan meneleponmu dan tidak pernah
berhenti meskipun kamu selalu menjawab baik-baik saja. Jangan pernah menceritakan
keluhan sakit sedikit saja, maka ia akan cemas dan mendatangimu tak peduli
dengan jarak ratusan kilometer.
Ia memainkan perannya dengan
sebenar-benarnya, aku melihat di lapangan bahwa tidak semua ibu memainkan
perannya, lebih, dia seorang guru pertama
yang mengajariku baca tulis, dua kali, di sekolah untuk semua murid dan juga di
rumah.
Dan pada hari dimana kakakku menghubungiku
dan nyaris menangis, dari jauh. Aku tahu mungkin aku terlalu memanfaatkan
ketulusan dan kasih sayang ibu. diantara kami berempat, aku yang selalu di
utamakan. Diantara kami bersaudara, permintaankulah yang paling jarang di
tolak, bahkan ia rela memberi lebih dari separoh gajinya untuk segala keperluanku,mendesak maupun tidak, hal yang aku tak
tahu apakah aku ikhlas melakukan sebaliknya, setelahnya?
Kuingat lagi pada saat aku hampir mati dalam
insiden pertengkaran Ayah, ia menarikku, menyembunyikanku ke dalam mobil lantas
masuk dan menguncinya, ia memelukku
erat-erat, mengusap rambutku dan mulai menceritakan kisah hidupnya yang katanya
bagian itu hanya akan dibagikan
kepadaku, hal yang membuatku bersumpah akan menuruti apapun permintaannya
selagi aku bisa, dan aku masih sering lupa sumpah.
Maka, apakah ini mimpiku?
Aku berdiri dan kujawab,
Tidak tau.
Comments
Post a Comment