Jalan Kartini menuju Matantimali




Aku terkadang mengingat hal-hal indah-dulu seusai pulang sekolah saat kelas dua SD, seperti kebanyakan rutinitas anak-anak desa disini, sekali-dua kali aku berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju kebun kakao, menyusul ayah yang sedang memanen biji-biji coklatnya. Jalan kerikil berbukit-bukit serta kadang ada babi yang memecah keheningan jalan, berjalan lurus membabi buta tentunya dan ular hitam yang bisa saja tiba-tiba muncul ditengah jalan bag preman gang membajak uang jajan anak SD, peristiwa semacam ini tak membuatku takut, karena seberapapun jauh perjalanan anak-anak ini, aku tidak sendiri, kami selalu berempat. Boro-boro takut, Momen seperti itu rasanya malah sekedar mengejutkan lalu ia menjadi cerita yang akan disukai banyak orang.
Diperjalanan, kami biasanya memetik bunga liar yang tumbuh di jalanan berwarna ungu dan menghisapnya, rasanya manis memberi karbohidrat dan aku selalu bertanya kenapa orangtua kami tidak melarang, mungkin saja karena tak ada satupun kolobri yang mati menghisapnya dan ia bukan kategori makanan ular yang mencolok merah bergetah. Entah ia apa namanya, ada lagi-makanan ular tak berbahaya yang masak kuning dinamai ‘buah rahasia’, kami harus mengklaim terlebih dulu ketika melihatnya agar tidak saling berebut mendahului. Ia lezat melebihi markisa.
Jika saja bisa kalian bayangkan, kami menempuh jalanan tanpa ada satupun pemukiman, bukit dan kerikil dengan semak-semak tinggi di kiri dan kanan, satu-dua gubuk dibangun para pekebun jika mereka terpaksa menginap, untungnya, tidak semua lahan adalah kebun, lebih banyak hutan asli. Saat-saat seperti inilah saraf otak dibelahan imajinasiku tumbuh cepat menembus kulit kepala dan menjalar melilit jauh diatap kanopi, menjalar menembus isi hutan yang rapat tak tembus cahaya.
Setiba di puncak bukit jalan, aku memandang pegunungan yang makin ke timur makin meninggi, makin pudar oleh lembutnya awan,menghilang dan tak ada putus-putusnya, lalu ketika kutanyai semua kawanku, semua petani dan pekebun yang bersinggungan di jalanan, mereka tak tahu dan mengatakan tak pernah kesana dan adalah itu sebuah tempat yang penuh monster dan belum terjamah. Sesaat setelah itu pula aku selalu berharap bisa kesana.
Imajinasi adalah lembaran terliar yang ada di kepala, ia luas tak terbatas. Aku selalu membayangkan kedua orangtuaku bangun pagi dan melupakanku selama yang mereka mampu. Aku lalu bebas tersesat di tengah hutan sendiri, bermain dan bersembunyi, pergi dan memejamkan mata, tak ada yang mencari.
Rute Matantimali dari indekosanku

Matantimali, Sigi, Sulawesi Tengah  05.00 am
Sepuluh tahun hampir berlalu, kupejamkan mata dan tidak seperti dulu, kini aku bisa mencapai tempat-tempat yang membuatku penasaran. Aku selalu penasaran dengan deretan pegunungan di sisi barat yang mistis, ia begitu tinggi dan bercahaya di malam hari, aku melihatnya dari lantai dua indekosan dan ia menimbulkan imajinasi lama yang serupa.
Hari dulu aku penasaran dan hari ini aku sudah ada disana, di salah satu punggung gunungnya, dia yang kukagumi dari bilik dinding indekosan membuatku bangga karena tidak lagi harus selalu bertanya-tanya. Pagi ini aku memberikan tatapan sama yang sebaliknya pada indekosan di jari dari punggung gunungnya yang nampak bagai titik acak dari atas sini, tersenyum. Entahlah apa aku benar-benar menemukan indekosanku yang abstrak itu?




Palu, Sulawesi Tengah.
Selamat malam, Matantimali yang diselimuti awan tipis terlihat dari Indekosan saat ini, dengan ketinggian 1200 mdpl disana kuharap aku tak kedinginan lagi.
(saya ingin membongkar satu rahasia kepada kalian :
Jika berkunjung ke kota Palu, ibukota provinsi Sulawesi Tengah dan menanyakan dimana suku aslinya diantara kehidupan pendatang? Maka kalian harus bergeser sedikit ke kabupaten sekitarnya, Sigi dan Donggala. Desa Wayu Matantimali salah satunya masih dihuni seratus persen suku Kaili dari etnik DaĆ” dan desa sekitarnya dengan etnik lain yang berbeda bahasa padahal jarak antara satu desa dengan desa lain bisa hanya dua kilometer, real a rich).

Comments