“Gerhana Matahari
terjadi ketika matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus, dimana
bulan berada di antara bumi dan matahari. Oleh karena bulan menghalangi sinar
matahari ke bumi, maka terbentuk bayangan Umbra dan Penumbra.”
Aku kali pertama mempelajari ini saat duduk
dibangku kelas empat SD, di sudut ruang tamu yang sempit dengan sukarela dan
penuh ketertarikan. Bocah kecil kurus itu berhasil menyimpan ilustrasinya di
dalam otak kepala yang paling tersembunyi, dimana ketika matahari telah terbit
menyinari tatanannya di pagi yang cerah, seorang bocah diboncengi ayahnya
melintasi jalan desa menikmati hangatnya surya yang tergelantung di ufuk timur.
Namun, tiba-tiba satelit bulan melintas diantaranya menghalangi sinar surya,
yang terjadi selanjutnya adalah bumi menjadi gelap total dan makhluk hidup
dalam keadaan bingung dan tertipu, unggas bertengger, daun Mimosa Pudica menutup, hingga kupu-kupu jadi kalang kabut.
Sepuluh tahun lamanya, cerita mengenai gerhana
matahari tertulis dalam buku tua yang tersimpan dalam kotak berdebu di gudang
kepalaku. Hingga ia disinggung kembali, suatu pagi aku di kabari seorang kawan
dari Jakarta, kawan, gerhana matahari total akan melintasi wilayahmu dengan sebuah kiriman gambar berisi schedule berapa lama prediksi ia menghipnotis kami
dengan kegelapannya yang anggun.
Kabar itu datang kepadaku sebulan sebelum jadwal
ia terjadi. Di ruang kantor mengerjakan pekerjaan yang begitu tidak saintis, kini
aku dibuat rindu akan imaji sains dan astronomi. Kak Krisna, dengan berbaik
hati memesan dua kacamata gerhana di toko online setelah aku berhasil menghasutnya, satu
buatku.
*********
Mendekati tanggal terjadinya gerhana matahari, Kementrian
Pariwisata gencar mengadakan promosi demi menarik wisatawan berkunjung ke
Indonesia, aku menonton promosi yang berbentuk animasi di akun youtube Wonderful
Indonesia, sayangnya, promosi ini meluber hingga ke telinga ibuku. Dulu pada
zamannya, gerhana matahari total tahun 1983 melintasi sebagian besar daerah di
Indonesia, saat itu pemerintah menyebarkan propaganda yang tidak sepantasnya
namun dimaklumi pada zamannya. Gerhana
matahari akan membutakan matamu, jangan menatapnya walau sedetik. Maka saat itu semua
orang menjadi buta akan pengetahuan. Gerhana
matahari adalah sebuah bencana, dimana siang ditoreh ke malam, ia adalah
kegelapan yang nyata dan tak boleh sekejappun dipandang. Perlu argumen
yang kuat untuk meminta ibu tak mengurungku di indekosan A1 seperti ia
melarangku keluar dari indekosan setiap malam 1 Januari tahun baru masehi.
Sembilan Maret kawan, catat! itu tanggal mainnya, dua menit empat detik
berhasil menjadi magnet bagi ribuan wisatawan domestik maupun turis mancanegara
mendatangi titik gerhana matahari total, mereka ingin melihat sekaligus
menjadi saksi fenomena yang tidak semua orang hidup pernah menyaksikannya, mereka
datang lalu tersebar di titik total gerhana di Indonesia seperti Palembang, Tanjong Pandan,
Palangkaraya, Banjarmasin, Palu, Poso, Luwuk, Ternate, dan Sofifi.
Kota Palu menjadi salah satu kota terbesar yang paling
dilirik wisatawan untuk dikunjungi, alasannya klasik, cuaca kota ini nyaris
sama sepanjang tahun. Panas terik tak peduli musim penghujan tiba, ia cuek.
Cuaca cerah adalah kunci aman menikmati gerhana matahari total, maka
berbondonglah para wisatawan datang.
Di titik persimpangan, di penjual nasi kuning
Manimbaya, di pasar tua, turis
mancanegara mudah ditemui menjelang tanggal sembilan. Bandara Udara Mutiara Sis
Al-Jufri mendadak ramai bukan buatan. Beberapa titik pengamatan gerhana telah di persiapkan seperti
kampung gerhana dengan desain zaman megalitikum di Ngata Baru, Puncak
Paralayang Matantimali, lapangan Kotapulu di
kabupaten Sigi, pantai talise dan gong Perdamaian di kota Palu, lalu beberapa titik
pengamatan aktivitas kelelawar pada saat GMT di kabupaten Parigi Moutong.
Penjual kacamata gerhana tak mau kehilangan kesempatan, hadir dengan
mematok harga yang tinggi.
Momentum sembilan Maret bertepatan dengan hari raya nyepi bagi umat
Hindu di Indonesia dan menjadi hari libur nasional, ini suatu kebetulan yang
menguntungkan.
Malam sebelum tanggal sembilan, saya berkeliling
kota Palu, mengendus malam mencari nuansa GMT sekaligus makan malam. Peristiwa
GMT yang terjadi besok menjadi berita
utama di hampir semua media. Tak salah lagi, malamnya kudapati
sebuah mobil dengan pengeras suara di kapnya berkeliling kota menyampaikan
persuasifnya kepada warga.
“Jangan
sampai kita terpengaruh terhadap budaya barat. Gerhana Matahari bukan untuk
berpesta pora, kita di sunnahkan untuk shalat gerhana pada esok hari, itu jauh lebih baik.”
Setelah makan, aku melanjutkan perjalanan ke
Pantai Talise, disini sangat ramai sekali, polisi dan tentara berjaga di hampir
semua sudut jalanan.Baru kali ini jalanan macet, disisi
kanan jalan persis di tepi pantai nampak tugu GMT yang baru 70% selesai, terlihat begitu sekenanya Mendadak, turnamen Gateball dibuka malam ini. Di Lapangan kantor stasiun TVRI Sulteng kesibukan lain juga
nampak. Semuanya dalam rangka menyambut GMT besok. Aku memilih masuk ke lapangan stasiun, mengikuti kendaraan di depanku.
Malam itu sedang berlangsung acara Festival dan
Pameran Gerhana Matahari Total. Aku datang tepat saat acara pembukaan, saat itu sedang berlangsung
tarian kreasi yang mendiskripsikan kekuasaan sang Pencipta terhadap fenomena gerhana matahari melalui kinestetik bercampur puji-pujian terhadap Tuhan dalam bahasa
Arab.
Puas menyaksikan, aku berjalan memasuki gapura pameran, bertamu ke
salah satu stan satuan unit kerja Pemerintah Daerah. Di pendoponya yang
sederhana terpajang enam buah lukisan, dua diantaranya menceritakan kejadian
gerhana matahari total dari dua makna yang tak perlu dihubungkan. Aku mencoba
membacanya.
Dari lukisan itu, sangat sulit menggambarkan rasa yang kualami
malam ini. Aku tak tahu apakah sebuah keberuntungan berada disini saat momentum itu
akan datang atau malah harus takut, walau gerhana dalam logikaku bukanlah suatu
bencana. Namun ini bukan tebakan, sebelumnya ia tak pernah ada dalam logika
hariku, apakah ia pasti sesuai imajinasiku? Saat esok ketika matahari bolos
dua menit empat detik dari pekerjaan rutinnya menyinari bumi, siapa yang bisa
memastikan apa saja yang akan terjadi? Bagaimana jika ia tak kembali? Bagaimana jika
bulan tidak bergerak? Bagaimana jika tidak ada lagi siang setelah itu.
Malam itu aku kembali ke Indekosan dengan sebungkus
gerhana matahari total dalam benakku,
gelap
total.
********
Aku terbangun kurang dari pukul empat dini hari,
mimpi aneh yang tidak perlu diceritakan disini. Aku segera keluar dari kamar menatap langit
dari lantai dua indekosan, Venus tampil gemilau,
langit bersih. Hari ini sepertinya akan cerah, gerhana matahari total akan menghiasi langit pagi dengan sempurna. Aku serasa kasmaran pada pagi, tak bisa tidur menunggu pagi
segera tiba.
********
Kotapulu,
Dolo, Kabupaten Sigi
Aktivitas di pagi mula-mula tak ada bedanya, eits,
kucoba sekali lagi menerawang kesegala penjuru. Memasuki kabupaten Sigi dari pintu desa Kalukubula,
jalanan tampak dijaga ketat oleh aparat TNI. Setiap 5-10 meter dua tentara berjaga
masing-masing disisi kiri dan kanan jalan. Konon, penjagaan ketat ini dilakukan
untuk mengkawal kedatangan bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla yang akan
melaksanakan shalat Gerhana di Kotapulu.
Nuansa pagi kali ini mengingatkan saya akan hari kebesaran umat
Islam, yaitu shalat Id, antusias masyarakat di
Sigi untuk melaksanakan sholat Gerhana secara berjamaah begitu besar. Ibu-ibu berkerudung
putih bersih dan anak-anak dengan baju kokoh terbaik dan kopiah baru berjalan kaki
menuju lapangan, melakukan shalat sunnah yang belum tentu mereka lakukan sekali
lagi.
Kedatangan bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla dari
pengamatanku bukan menjadi magnet utama di lapangan Kotapulu (yang sebenarnya
adalah desa terpencil), semua fokus pada satu peristiwa, begitu juga dengan bapak
Wakil Presiden tentunya.
Suasana lapangan lumayan padat, beberapa teleskop dan kamera canggih dipasang berbaris menghadap
matahari.
Aku berjalan sendiri menuju sudut lapangan,
memisahkan diri dari rombongan. Bukan keramaian sebenarnya yang kuinginkan.
Diam-diam aku menyusup kerombongan turis asing dan para guide-lokalnya yang tak
terlalu ramai. Mengambil satu kursi dari tribun, duduk pura-pura tak peduli.
Aku menghadap langsung pada matahari dan mulai menggunakan kacamata gerhana.
Tiba-tiba saja ada turis asing dan guidenya datang
mendekat, meminta sedikit tempat. Aku langsung berbagi, ia cukup ramah,
walaupun dengan kemampuan berbahasa inggris yang terbatas, aku bisa mengerti
ucapannya. Ia seorang wanita berasal dari
Venezuela dan kini melakukan perjalanan jauh ke Asia. Ia memulainya dari Indonesia,
dari kota Palu. Sama denganku, dia juga ingin menyaksikan gerhana matahari
total pertama di hidupnya dalam keadaan tenang dan natural.
Gerhana matahari di kota Palu diperkirakan mulai
terjadi dari pukul 07.27 WITA, saat itu bulan mulai melintasi area terang dan
menghalangi sinar matahari hingga terbentuk bayangan yang hanya bisa dilihat dengan kacamata gerhana. Yah, saat itu resmi di Kotapulu masuk wilayah penumbra.
Proses menuju ke gerhana matahari total cukup
lama, sekitar satu jam lima belas menit. Namun, mengamati
perubahan matahari, suhu, lingkungan, makhluk hidup di ladang, dan segalanya menjadi hal yang sangat menarik. Mula-mula bulan menutupi matahari dari sisi kanan atas,
perlahan dan perlahan. Dengan mata telanjang, tidak terlihat perubahan apapun
saat bulan menutupi lima puluh persen sinar matahari. Namun saat tertutupi
sembilan puluh persen, terasa suhu udara menjadi lebih dingin, matahari tampak
redup, suasana pagi seperti di sore yang sejuk dengan cahaya mentari bag lilin temeram. Saya mencoba lebih peka mengamati
tingkah laku makhluk hidup yang menurut Viarconrachel sedang kebingungan melihat
perubahan sinar matahari bagai ditutupi jubah hantu. Sekelompok burung
terbang kebingungan kembali kesarangnya, tepat saat mereka baru saja tiba di ladang makannya.
Daun Mimosa Pudica perlahan menutup,
kupu-kupu kalang kabut dan ngengat bangun dari mimpi buruknya.
[Bersambung].
Comments
Post a Comment