Palu: My Total solar Eclipse, March 9th [Bagian 1]



Gerhana Matahari terjadi ketika matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus, dimana bulan berada di antara bumi dan matahari. Oleh karena bulan menghalangi sinar matahari ke bumi, maka terbentuk bayangan Umbra dan Penumbra.”
Lukisan yang menggambarkan gerhana Matahari total di kota Palu
Aku kali pertama mempelajari ini saat duduk dibangku kelas empat SD, di sudut ruang tamu yang sempit dengan sukarela dan penuh ketertarikan. Bocah kecil kurus itu berhasil menyimpan ilustrasinya di dalam otak kepala yang paling tersembunyi, dimana ketika matahari telah terbit menyinari tatanannya di pagi yang cerah, seorang bocah diboncengi ayahnya melintasi jalan desa menikmati hangatnya surya yang tergelantung di ufuk timur. Namun, tiba-tiba satelit bulan melintas diantaranya menghalangi sinar surya, yang terjadi selanjutnya adalah bumi menjadi gelap total dan makhluk hidup dalam keadaan bingung dan tertipu, unggas bertengger, daun Mimosa Pudica menutup, hingga kupu-kupu jadi kalang kabut.
Sepuluh tahun lamanya, cerita mengenai gerhana matahari tertulis dalam buku tua yang tersimpan dalam kotak berdebu di gudang kepalaku. Hingga ia disinggung kembali, suatu pagi aku di kabari seorang kawan dari Jakarta,  kawan, gerhana matahari total akan melintasi wilayahmu  dengan sebuah kiriman gambar berisi schedule  berapa lama prediksi ia menghipnotis kami dengan kegelapannya yang anggun.
Kabar itu datang kepadaku sebulan sebelum jadwal ia terjadi. Di ruang kantor mengerjakan pekerjaan yang begitu tidak saintis, kini aku dibuat rindu akan imaji sains dan astronomi. Kak Krisna, dengan berbaik hati memesan dua kacamata gerhana di toko online  setelah aku berhasil menghasutnya, satu buatku.
*********
Mendekati tanggal terjadinya gerhana matahari, Kementrian Pariwisata gencar mengadakan promosi demi menarik wisatawan berkunjung ke Indonesia, aku menonton promosi yang berbentuk animasi di akun youtube Wonderful Indonesia,  sayangnya,  promosi ini  meluber hingga ke telinga ibuku. Dulu pada zamannya, gerhana matahari total tahun 1983 melintasi sebagian besar daerah di Indonesia, saat itu pemerintah menyebarkan propaganda yang tidak sepantasnya namun dimaklumi pada zamannya.  Gerhana matahari akan membutakan matamu, jangan menatapnya walau sedetik. Maka saat itu semua orang menjadi buta akan pengetahuan. Gerhana matahari adalah sebuah bencana, dimana siang ditoreh ke malam, ia adalah kegelapan yang nyata dan tak boleh sekejappun dipandang. Perlu argumen yang kuat untuk meminta ibu tak mengurungku di indekosan A1 seperti ia melarangku keluar dari indekosan setiap malam 1 Januari tahun baru masehi.
Sembilan Maret kawan, catat!  itu tanggal mainnya, dua menit empat detik berhasil menjadi magnet bagi ribuan wisatawan domestik maupun turis mancanegara mendatangi titik gerhana matahari total, mereka ingin melihat sekaligus menjadi saksi fenomena yang tidak semua orang hidup pernah menyaksikannya, mereka datang lalu tersebar di titik total gerhana di Indonesia seperti Palembang, Tanjong Pandan, Palangkaraya, Banjarmasin, Palu, Poso, Luwuk, Ternate, dan Sofifi.
Kota Palu menjadi salah satu kota terbesar yang paling dilirik wisatawan untuk dikunjungi, alasannya klasik, cuaca kota ini nyaris sama sepanjang tahun. Panas terik tak peduli musim penghujan tiba, ia cuek. Cuaca cerah adalah kunci aman menikmati gerhana matahari total, maka berbondonglah para wisatawan datang.
Di titik persimpangan, di penjual nasi kuning Manimbaya,  di pasar tua, turis mancanegara mudah ditemui menjelang tanggal sembilan. Bandara Udara Mutiara Sis Al-Jufri mendadak ramai bukan buatan. Beberapa titik pengamatan gerhana telah di persiapkan seperti kampung gerhana dengan desain zaman megalitikum di Ngata Baru, Puncak Paralayang Matantimali,  lapangan Kotapulu di kabupaten Sigi, pantai talise dan gong Perdamaian di kota Palu, lalu beberapa titik pengamatan aktivitas kelelawar pada saat GMT di kabupaten Parigi Moutong. Penjual kacamata gerhana tak mau kehilangan kesempatan, hadir dengan mematok harga yang tinggi.
Momentum sembilan Maret  bertepatan dengan hari raya nyepi bagi umat Hindu di Indonesia dan menjadi hari libur nasional, ini suatu kebetulan yang menguntungkan.
Malam sebelum tanggal sembilan, saya berkeliling kota Palu, mengendus malam mencari nuansa GMT sekaligus makan malam. Peristiwa GMT  yang terjadi besok menjadi berita utama di hampir semua media. Tak salah lagi, malamnya kudapati sebuah mobil dengan pengeras suara di kapnya berkeliling kota menyampaikan persuasifnya kepada warga.
Jangan sampai kita terpengaruh terhadap budaya barat. Gerhana Matahari bukan untuk berpesta pora, kita di sunnahkan untuk shalat gerhana pada esok hari,  itu jauh lebih baik.”
Setelah makan, aku melanjutkan perjalanan ke Pantai Talise, disini sangat ramai sekali, polisi dan tentara berjaga di hampir semua sudut jalanan.Baru kali ini jalanan macet, disisi kanan jalan persis di tepi pantai nampak tugu GMT yang baru 70% selesai, terlihat begitu sekenanya Mendadak, turnamen Gateball dibuka malam ini. Di Lapangan kantor stasiun TVRI Sulteng kesibukan lain juga nampak. Semuanya dalam rangka menyambut GMT besok. Aku memilih masuk ke lapangan stasiun, mengikuti kendaraan di depanku.
Malam itu sedang berlangsung acara Festival dan Pameran Gerhana Matahari Total. Aku datang tepat saat acara pembukaan, saat itu sedang berlangsung tarian kreasi yang mendiskripsikan kekuasaan sang Pencipta terhadap fenomena gerhana matahari melalui kinestetik bercampur puji-pujian terhadap Tuhan dalam bahasa Arab.
Puas menyaksikan, aku berjalan memasuki gapura pameran, bertamu ke salah satu stan satuan unit kerja Pemerintah Daerah. Di pendoponya yang sederhana terpajang enam buah lukisan, dua diantaranya menceritakan kejadian gerhana matahari total dari dua makna yang tak perlu dihubungkan. Aku mencoba membacanya.
Dari lukisan itu, sangat sulit menggambarkan rasa yang kualami malam ini. Aku tak tahu apakah sebuah keberuntungan berada disini saat momentum itu akan datang atau malah harus takut, walau gerhana dalam logikaku bukanlah suatu bencana. Namun ini bukan tebakan, sebelumnya ia tak pernah ada dalam logika hariku, apakah ia pasti sesuai imajinasiku? Saat esok ketika matahari bolos dua menit empat detik dari pekerjaan rutinnya menyinari bumi, siapa yang bisa memastikan apa saja yang akan terjadi? Bagaimana jika ia tak kembali? Bagaimana jika bulan tidak bergerak? Bagaimana jika tidak ada lagi siang setelah itu.
Malam itu aku kembali ke Indekosan dengan sebungkus gerhana matahari total dalam benakku,
 gelap total.
********
Aku terbangun kurang dari pukul empat dini hari, mimpi aneh yang tidak perlu diceritakan disini. Aku segera keluar dari kamar menatap langit dari lantai dua indekosan, Venus tampil gemilau, langit bersih. Hari ini sepertinya akan cerah, gerhana matahari total akan menghiasi langit pagi dengan sempurna.  Aku serasa kasmaran pada pagi, tak bisa tidur menunggu pagi segera tiba.
********
Kotapulu, Dolo, Kabupaten Sigi
Aktivitas di pagi mula-mula tak ada bedanya, eits, kucoba sekali lagi menerawang kesegala penjuru. Memasuki kabupaten Sigi dari pintu desa Kalukubula, jalanan tampak dijaga ketat oleh aparat TNI. Setiap 5-10 meter dua tentara berjaga masing-masing disisi kiri dan kanan jalan. Konon, penjagaan ketat ini dilakukan untuk mengkawal kedatangan bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla yang akan melaksanakan shalat Gerhana di Kotapulu.
Nuansa pagi kali ini mengingatkan saya akan hari kebesaran umat Islam, yaitu shalat Id, antusias masyarakat di Sigi untuk melaksanakan sholat Gerhana secara berjamaah begitu besar. Ibu-ibu berkerudung putih bersih dan anak-anak dengan baju kokoh terbaik dan kopiah baru berjalan kaki menuju lapangan, melakukan shalat sunnah yang belum tentu mereka lakukan sekali lagi.
Kedatangan bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla dari pengamatanku bukan menjadi magnet utama di lapangan Kotapulu (yang sebenarnya adalah desa terpencil), semua fokus pada satu peristiwa, begitu juga dengan bapak Wakil Presiden tentunya.
Suasana lapangan lumayan padat, beberapa teleskop dan kamera canggih dipasang berbaris menghadap matahari.
Aku berjalan sendiri menuju sudut lapangan, memisahkan diri dari rombongan. Bukan keramaian sebenarnya yang kuinginkan. Diam-diam aku menyusup kerombongan turis asing dan para guide-lokalnya yang tak terlalu ramai. Mengambil satu kursi dari tribun, duduk pura-pura tak peduli. Aku menghadap langsung pada matahari dan mulai menggunakan kacamata gerhana.
Tiba-tiba saja ada turis asing dan guidenya datang mendekat, meminta sedikit tempat. Aku langsung berbagi, ia  cukup ramah, walaupun dengan kemampuan berbahasa inggris yang terbatas, aku bisa mengerti ucapannya. Ia seorang wanita berasal dari Venezuela dan kini melakukan perjalanan jauh ke Asia. Ia memulainya dari Indonesia, dari kota Palu. Sama denganku, dia juga ingin menyaksikan gerhana matahari total pertama di hidupnya dalam keadaan tenang dan natural.
Gerhana matahari di kota Palu  diperkirakan mulai terjadi dari pukul 07.27 WITA, saat itu bulan mulai melintasi area terang dan menghalangi sinar matahari hingga terbentuk bayangan yang hanya bisa dilihat dengan kacamata gerhana. Yah, saat itu resmi di Kotapulu masuk wilayah penumbra.
Proses menuju ke gerhana matahari total cukup lama, sekitar satu jam lima belas menit. Namun, mengamati perubahan matahari, suhu, lingkungan, makhluk hidup di ladang, dan segalanya menjadi hal yang sangat menarik. Mula-mula bulan menutupi matahari dari sisi kanan atas, perlahan dan perlahan. Dengan mata telanjang, tidak terlihat perubahan apapun  saat bulan menutupi lima puluh persen sinar matahari. Namun saat tertutupi sembilan puluh persen, terasa suhu udara menjadi lebih dingin, matahari tampak redup, suasana pagi seperti di sore yang sejuk dengan cahaya mentari bag lilin temeram. Saya mencoba lebih peka mengamati tingkah laku makhluk hidup yang menurut Viarconrachel sedang kebingungan melihat perubahan sinar matahari bagai ditutupi jubah hantu. Sekelompok burung terbang kebingungan kembali kesarangnya, tepat saat mereka baru saja tiba di ladang makannya. Daun Mimosa Pudica perlahan menutup, kupu-kupu kalang kabut dan ngengat bangun dari mimpi buruknya.
[Bersambung].

Comments