Jogjakarta: Nostalgia Ayodhya




Hidupku di pulau Jawa resmi diperpanjang ketika informasi bapak Menteri Keuangan (saat itu : bapak Bambang P.S Brodjonegoro) ada urusan diluar negeri. Ditambah sepuluh hari dan kurang beberapa hari saja genap sebulan saya tinggal di pulau Jawa, menjadi kebanggaan tersendiri sebagai anak kampung dari pulau seberang, dapat bertahan ‘sendiri’ di kerasnya ibukota dengan modal keberanian dan pertemanan. Disini saya numpang dikosan teman lama yang berbaik hati di Bintaro, Tangerang Selatan.
Dengan modal Keberanian dan pertemanan itu jugalah saya bisa ke Jogjakarta, kenangku. Meminjam prinsip seorang Sufi untuk tidak diam di tempat, diantara rentang sepuluh hari tersebut kumanfaatkan untuk mencoba mengenal budaya Jawa walaupun kondisi finansial pas-pasan. Menyepikan diri dari keramaian Jakarta, saya memilih berlibur ke Jogjakarta bersama teman kuliah dulu.
Dari Jakarta, kami berkumpul di stasiun Senen dengan menggunakan kereta api tujuan Jogjakarta.  Jujur, naik kereta api membuat cita-cita kecilku tercapai, yaitu bepergian dengan kereta api dari satu kota ke kota lain, cita-cita tak harus muluk kan, kawan?
Delapan jam di kereta, malamnya kami tiba di kota Jogjakarta dengan perut keroncongan. Keluar dari stasiun, Akmal­­­­­―mantan anak jalanan Jogja mendadak jadi biro agen perjalanan. Ia mengajak kami berjalan kaki memikul carrier di punggung menelusuri jalan besar kota yang tembus ke pedagang kaki lima. saya memesan nasi goreng daging sapi ditemani teh hangat, bukan di Jogja namanya kalau tidak angkringan seraya duduk bersila. Musisi jalanan mulai beraksi, mengingatkanku akan sepenggal lirik,


Pulang Ke Kotamu
Ada setangkup haru dalam Rindu
Masih Seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa Makna.

setelah perut terisi kembali, kami melanjutkan perjalanan dengan bus trans-Jogja menuju Malioboro. Jogjakarta entah mengapa telah memijat rasa pegal-pegal dengan pesona Malioboro-nya yang ramai bersahaja, disini kami duduk sembari mencari alternatif dan memutuskan akan menginap dimana.
Dari informasi internet kami memutuskan menginap di Deep Purple Homestay,  tarif terjangkau dan kualitas baik, sangat cocok untuk backpacker dengan budget pas-pasan. Memutuskan untuk menginap di Deep Purple adalah keputusan yang bijak. Fasilitas yang diberikan sangat menguntungkan buat para pejalan, tempat ini begitu pengertian. Berbekal peta wisata dan sepeda motor yang ia sewakan, kami semakin siap menjelajah  kota Jogja dan sekitarnya dalam  waktu empat hari.
Terbit esok dengan semangat yang menggebu-gebu kami siap mengeksplor isi kota Jogjakarta, Tamansari menjadi andalan. Saking semangatnya, kami sudah di Tamansari sebelum dibuka.  Tiket masuk ke Tamansari hanya Rp.5000/orang, anda sudah bisa menjelajah ke dalam sejarah yang konon katanya Tamansari merupakan kompleks kolam renang bagi selir Sultan, konon lagi katanya dulu banyak gadis yang suka mandi di Tamansari dan sultan yang memilih sendiri selirnya. Tapi, siapa yang bilang kini Tamansari hanya sebatas kolam kuno  yang dibuat oleh orang Portugis (bareng orang Madiun), lebih dari itu di Tamansari kita bisa menjelajah komplek disekitarnya, antara lain kampung Cyber yang tembus disuatu terowongan underground keren yang merupakan puing masjid Sumur Gumilang. Disepanjang kampung Cyber itu pula kita bisa melihat buah ciptaan masyarakat Jogjakarta yang kreatif, mulai dari wayang, kaos lukis, dinding lukis, dan beraneka batik bermotif yang dijajakan dan bisa buat cenderamata.
Puas mengitari Tamansari kami menuju alun-alun Jogjakarta untuk makan siang, Akmal memilihkan tempat yang enak dan tentu khas Jogja, lupakan dulu gudeg. Nasi brongkos koyor dan es jeruk madu siap membasmi lapar dan dahaga disiang hari.
Usai makan siang kami belum lelah meskipun matahari sungguh terik, rasa kantuk kami tahan dulu. Kami melanjutkan ketempat bersejarah lainnya, museum fort Vreedeburg. Berkeliling didalamnya kita diperlihatkan diorama sejarah Indonesia, didalam museum terdapat kafetaria dengan suasana Hindia Belanda.
~
Hari kedua kami putuskan bergeser dari kota Jogjakarta menuju pantai selatan di Gunungkidul. Melewati jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok dengan sepeda motor. Hawa sejuk, permadani sawah dan tawa anak kecil sepulang sekolah menemani kami sepanjang perjalanan. Setelah satu setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai di pesisir selatan pulau Jawa. Pantai yang pertama kami sambangi adalah pantai Baron, pantai berpasir cokelat eksotik yang diapit oleh tebing bebatuan. Kalian bisa melakukan tracking hingga ke puncak mercesuar untuk melihat landscape pantai Baron dari atas seperti yang kami lakukan, walaupun kami tak sampai naik mercesuar.
Setelah puas bermain air di muara pantai Baron, saya bergabung dengan teman-teman yang sedang makan siang, mie gelas dan es kelapa muda cukup melepas rasa lapar dan dahaga di siang hari. Setelah makan, kami menyempatkan untuk shalat Jumát berjamah di masjid yang telah disediakan untuk pengunjung maupun masyarakat pesisir pantai.

Pantai Pok Tunggal


Perjalanan kami lanjutkan menuju pantai seberangnya, banyak sekali pantai-pantai cantik  dideretan Selatan Wonosari yang tak kuhapal satu-satu namanya, ada pantai Sepanjang, Drini, Indrayanti, Kukup, Krakal dan yang terakhir kami kunjungi adalah pantai Pok Tunggal. Dipantai ini kami menghabiskan waktu berjam-jam, menikmati angin sepoi-sepoi dari atas bukit batu sambil tidur malas-malasan di gazebo sembari melihat pemandangan dan ombak besar di bawah sana.
Pulang dari Pok Tunggal kembali ke Jogja  tak lupa kami mampir ke bukit Bintang. Setusuk jangung bakar pedas-manis ditemani secangkir kopi panas dan pemandangan kelap-kelip malam kota Jogjakarta dibawah bukit Bintang menjadi penambah stamina untuk melanjutkan sisa perjalanan.
Sesampai di Jogjakarta, kutantang Akmal untuk mencari makanan termurah di Jogjakarta. Tantanganku diterima, ia membawa kami ke Angkringan Pakde yang remang-remang, makan nasi kucing (nasi dengan ikan teri kira-kira cukup untuk dua suap) dan gorengan, cukup membayar dua ribu rupiah ditambah es teh manis dua ribu, entah mengapa sudah cukup mengenyangkan.
Malam hari di kota Jogjakarta selalu ramai oleh musisi jalanan yang kembali melantunkan sepenggal lirik,

Dansa.. dansa… sambil tertawa
Di Sayidan, dijalanan
Angkat skali lagi gelasmu kawan,
Di Sayidan, dijalanan
Tuangkan air kedamaian.

~

Hari ketiga adalah yang cukup lama kunanti. Ia terhubung dengan hasrat atau impian dimasa lalu yang akan terwujud hari ini. Kami bergeser ke Magelang dan tentu saja ke candi Borobudur. Sejak duduk dibangku kelas IV sekolah dasar dan belajar mengenai sejarah kerajaan Hindu Budha, saat itu juga saya ingin sekali ke Borobudur.
Perjalanan ke Magelang ditempuh sekitar empat puluh menit, sebelum ke Borobudur saya menyempatkan bertandang ke candi Mendut. Ini adalah candi pertama yang saya ziarahi, setelah puas berkeliling, berimajinasi dan membaca kisahnya, saya siap melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur.

Candi Mendut

Borobudur adalah gunung imajinasi yang nyaris ditata senyata mungkin, di badannya dipahat relief-relief panjang yang bercerita mengenai kehidupan manusia di dunia dan jalan menuju nirwana. Ia guru sakti bagi yang belajar, ia filisofi bagi yang bertanya dan ia menimbulkan teki-teki bagi yang belum menemukan jawaban. Borobudur hadir memecahkan misteri, tapi ia sempurna mendatangkan misteri baru.

Hundred Thousands Imagination when you touch Relief of Borobudur



Sepulang dari Borobudur, kami diundang seorang teman, Pinandi berkunjung kerumahnya, bius Borobudur yang membuat kami lupa lapar kini sudah tidak bekerja. Dirumahnya yang bersahaja, ibunya telah menyediakan menu makan siang ayam kremes dan nasi uduk dengan sambal hijau yang begitu meleleh di lidah. Masih sempat pula kami dibuatkan dessert yaitu klepon, kue khas magelang yang bertekstur lembut dari singkong.
What are you looking for, Bodhi?



Comments