Solo Bikepacking menuju utara Tolitoli



Pernah punya rencana yang sempurna di hari senin untuk akhir pekan?  Empat hari kemudian, tepat sehari sebelum akhir pekan, kamu punya firasat bahwa rencana itu akan menjadi wacana. Ada beberapa faktor, salah satunya orang-orang yang kamu ajak berubah pikiran.

Apa yang akan kamu lakukan? Tujuh puluh persen otakmu akan membatalkan rencana yang disusun sempurna, lantas rutinitas akhir pekan berjalan seperti biasa (tertidur sampai adzan duhur membangunkan, buru-buru mandi dalam keadaan perut lapar, menuju warteg makan, kenyang, kembali tidur siang dan begadang semalaman. Lalu, berulang sama di hari Minggu dan harus masuk kantor lagi di hari senin) harus disadari, alur hidup dua arah (kosan-kantor) tercatat sudah sebulan lebih.

Enough! Kenapa selalu dikalahkan dengan faktor pendukung (kukatakan mereka adalah faktor pendukung). Kawan, kamu sudah punya niat yang disusun lima hari, ditambah minggu ini gagal. Rencana yang sebenarnya sangat sederhana harus tertunda sampai dua belas hari dan berpotensi lagi akan jadi wacana. Apa yang salah?

Pembuka yang cukup panjang, namun seperti itulah keadaan yang menimpaku akhir-akhir ini. Tidak lebih, tidak kurang.

Peralatan yang dulu menjadi kendala sudah tersedia, seperti tenda dan sleeping bag (ditambah kompor portable sudah datang pula). Ketika semua terpenuhi, alasan-alasan baru bermunculan. Apa lagi sih yang salah atau jadi masalah? Padahal tinggal jalan.

Hari ini kuputuskan untuk tidak memihak ke tujuh puluh persen pemikiranku, meskipun rencana harus berubah. Nasib oh nasib, solo traveling lagi, otakku memutuskan.
Pukul tujuh di hari sabtu saya sudah siap berangkat, berbekal air mineral, oats, susu instan, peralatan snorkling yang tidak terpakai didalam bagpack merahku. Saya menulusuri jalan raya menuju ke utara. Tidak memusingkan tujuan, roda sepeda motorku mungkin bertanya-tanya hendak kemana tuannya membawa, saya beritahu saja bahwa hari ini kita masih memetakan, belum menikmati.

Jalanan masih sepi, kondensasi di pucuk daun dan dinginnya aspal menemani perjalananku di pagi hari. Pemandangan tepi pantai mendominasi perjalanan, matahari masih tertutup awan, roda sepeda motorku terus berputar, melewati desa Kapas dengan pulaunya yang tandus berpasir putih berlawanan dengan langit yang tampak kelabu, keteruskan perjalanan ke utara, terus dan terus. 

Senang rasanya menjelajahi suatu tempat untuk pertama kali. Saya terus menebak pemandangan apa yang disuguhkan di depan nanti. Pantai berpasir putih, jurang yang terjal, jalan yang berliku-liku, pulau-pulau kecil di ujung sana. Hal semacam itu yang membuat saya tak mau berhenti cukup sampai disatu tempat, saya masih penasaran di depan ada apa lagi. 

Memasuki desa Teluk jaya yang indah, saya sudah tahu dinamai begitu lantaran letaknya di teluk yang berliku-liku, sepintas teluk ini bagaikan danau dengan warna air yang cukup menakutkan, selain jalanan  berliku tentunya. Keluar dari desa Teluk Jaya dan memasuki kecamatan Tolitoli Utara, saya belok ke jalan desa. Hari sudah mulai siang, waktu yang tepat untuk putar balik.
Sebenarnya ada satu tempat lagi yang membuat saya penasaran. Rasa penasaran itu sudah ada sebelum berangkat saat membaca GoogleMaps di indekosan semalam, dari citra satelit tempat itu memiliki pantai yang indah, kuprediksi letaknya persis sebelum memasuki desa Teluk Jaya. Maka diperjalanan balik, berbeloklah saya memasuki desa Santigi. Sesuai kata penjual bensin di pintu desa, disana ada pantai Taragusung yang menjadi tempat wisata andalan mereka.
Perjalanan lima belas menit ternyata membawaku pada hidden paradise. Saya kegirangan di sepeda motor, melihat dari kejauhan pasir panjang putih yang panjang menjorok ke laut dengan latar pulau Dolangan yang juga panjang. 



Saya menghabiskan siang hari di pendopo ditemani anak-anak suku Bajo yang bermain di pantai sepulang Madrasah.

Comments