“Mo maso-maso pulau
Ternate,
Terlihat sudah pulau Hiri,
Di ujung sana pasir putih sio kona
Mama yang hilang di Pulau Halmahera.
Kutipan lagu dari Ternate ini sudah sering saya dengar semenjak kuliah di
Manado, bahkan hingga kini lagu itu masih menjadi playlist di notebook yang
sering saya putar.
Sore hari disaat pesawat sebentar lagi mendarat, saya melantunkan lagu itu
di dalam hati dan ‘terlihat sudah pulau hiri’ dengan puncak diselimuti awan
tipis, sama seperti petikan lagu.
Pesawat kami akhirnya telah mendarat di bandara Sultan Babullah,
“Selamat datang, selamat datang di kota Ternate.”
sore ini pertama kali saya menginjak tanah di kota Ternate, sekaligus
wilayah zona waktu Indonesia Timur.
Cuaca mendung tak membuat perasaanku ikut menjadi kelabu, saya tersenyum
dan merasa bahagia bisa melihat tempat baru, sama seperti anak kecil ketika
mengenal sesuatu yang baru. Dari bandara Sultan Babullah, saya dan dua teman
naik mobil rental menuju KPP Pratama Ternate, disana kami langsung disambut
teman-teman, merekalah yang mengakomodasi kami selama di Ternate.
Kami memutuskan untuk menginap di Corner Palace Hotel yang terus terang,
tak layak di anggap hotel, semuanya buruk kecuali kolam renangnya. Dari kolam
renang itu kita bisa melihat view kota Ternate sekaligus pulau Tidore dan
Maitara yang ada di mata uang seribu lama.
Malam
ini, Ayu, teman kami di KPP Pratama Ternate sekaligus homebase Ternate mengajak kami seangkatan
makan di Bebek Jantan Ternate yang sambalnya lezat, setelah itu kami
menghabiskan malam di tepi pantai tapak dua di jalan Sultan IM Djabar Sjah,
seperti teman yang baru berjumpa, malam ini mayoritas untuk nostalgia.
Keesokan harinya kami siap menjelajahi pulau Ternate, yang kata Ayu kalau
tidak berhenti, pulau ini cukup dikelilingi selama satu jam saja. Destinasi
pertama yang kami sambangi adalah objek wisata Batu Angus.
Batu Angus menyajikan hasil muntahan gunung Gamalama pada tahun 1673 yang
sekarang sudah membeku menjadi bongkahan batu berwarna hitam yang dapat dilihat
berserakan dimana-mana. Satu hal yang berkesan menurut saya, tempat ini sangat
bersih dan dijaga kebersihannya oleh petugas kebersihan/ tukang parkir.
Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Teluk Sulamadaha.
Pantai ini merupakan salah satu alasan kenapa saya ingin mengunjungi
Ternate, pantai ini sering disebut-sebut sebagai pantai sebening kaca, saking
beningnya perahu nelayan yang bersandar terlihat melayang. Ternyata bukan cuma
saya yang penasaran, buktinya ketika sampai disana wisatawan dari luar ternate
banyak juga yang berkunjung. Pantai ini sebenarnya berada di teluk kecil yang
lumayan dalam, disini kita bisa menyewa perahu untuk menyeberang kesisi yang
lain. Tak buang-buang waktu, saya dan teman-teman langsung saja menyewa perahu
lalu mendayung dan bermain air, snorkling, dan berenang disisi seberang.
Selepas berenang, rasa lapar datang, saya menghabiskan sisa makanan yang
dipesan dengan lahap sebelum ke destinasi berikutnya, pantai Jikomalamo.
Sebenarnya saya sudah puas bermain di Sulamadaha dan tidak berniat untuk
basah-basahan lagi di pantai Jikomalamo, namun ketika tiba di pantai
Jikomalamo, wah… niat segera saya ubah, terumbu karang dan air yang tak kalah
jernih berbisik untuk segera diselami.
Di pantai ini saya berusaha mengambil video underwater sambil berusaha
berenang stabil, dan sebisa mungkin menghindari karang yang masih hidup agar
tak terinjak ataupun tersentuh. Hari sudah siang, kami bergeser sedikit ke
warung untuk mengisi perut sambil menikmati udara sepoi-sepoi.
Setelah puas, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Eits… ada
yang ketinggalan. Dive mask-ku ketinggalan di
pondok tempat snorkling tadi. Segera saya kembali kesana, sayangnya ia sudah
diambil orang. Rasa kecewa pada diri sendiri karena tak mampu menjaga barang
kesayangan (saya merasa cocok dan suka dengan dive mask itu)
sekaligus mencoba mengikhlaskan silih berganti di kepala, padahal baru saja seminggu.” suara hatiku bergerutu.
Life
must go on. Begitupun perjalanan kami menuju Danau
Tolire Besar, danau ini tak begitu jauh lagi dari pantai Jikomalamo, ketika
kami sampai disana, seorang bocah menghampiri dan menawarkan batu untuk dijual.
Ya, batu untuk dijual. Saya membeli tiga kresek dengan harga lima ribu rupiah,
semoga dia tidak berfikir kelak akan menjadi penjual batu untuk dilempar di
danau ketika dewasa.
Berdiri di pinggir danau Tolire Besar, tak perlu diberitahu, kesan mistis
langsung membayangi. Danau ini hijau tenang, bag sumur besar dengan jurang
terjal, konon tak ada satupun yang pernah turun kesana, dan kalau jatuh
kejurang, tamatlah sudah ceritaku disini. Danau ini kuduga salah satu kawah
lama gunung gamalama.
Hari semakin sore, hingga kini kami sudah mengelilingi setengah pulau, dan
akan berlanjut ke destinasi berikutnya, Danau Ngade, yang terletak di dekat
kota Ternate. Berarti kami akan mengelilingi setengah pulau lagi dan ini
perjalanan yang cukup panjang. hmmm… tapi kembali ingat kata Ayu, Pulau Ternate
saja jika dikelilingi tanpa singgah hanya sejam. Sisa perjalanan ini didominasi
oleh desa-desa yang sepi dengan kebun dan hutan yang hijau.
Danau Ngade menjadi hidangan penutup perjalanan yang indah pada hari ini,
danau ini menampakkan pemandangan yang begitu menakjubkan, danau oval yang
hampir bertemu laut - hanya dibatasi oleh sedikit daratan dan jalanan, serta
dilaut lepas tampak pulau Tidore dan Maitara yang begitu memesona.
Ternate memang salah satu pulau kecil di Indonesia, tapi jangan salah,
pulau kecil ini hampir menyediakan apa saja yang dibutuhkan, mulai dari
sejarah, gunung, pantai, danau, kota, musik dan cerita.
Terimakasih
TTE Squad (spesial thanks : Ayu, Faqih dan RAP, serta Elmas, Insan, dan Wawa
yang telah menemani perjalanan singkat ke Ternate)
Bocoran :
Harga
tiket masuk wisata di Ternate rata-rata Rp.7000/destinasi, Parkir sepeda motor
Rp. 5000, Tiket pesawat Manado Ternate (round) :800rb-an, taksi Bandara ke
Pusat Kota satu mobil terserah isi berapa orang Rp.150.000. Biaya makan layak
mulai dari 15000).
Comments
Post a Comment