Keluar dari Kesedihan


“Tak kusangka kesedihan itu hilang dalam sehari saja, ini semua berkat dari usaha untuk tetap positif dan melewati hari dengan menikmatinya."

Pagi hari yang cerah dan udara segar berhembus dari arah hutan yang hijau, tidak seperti di seberang pulau sana, Jakarta yang hari ini menduduki peringkat 1 kota dengan polusi udara paling tinggi di dunia, dengan tagar #metropollutant ramai di Instagram dan Twitter, tak berhenti saya mengumpatinya.
“Kita lihat saja pengumumannya pak, hari kamis besok.”  Kataku tersenyum sembari membenarkan tinta printer kepala seksi di lantai tiga.
Saya sudah siap melepaskan semuanya, termasuk jabatanku sebagai pengurus aset kantor dan rumah tangga yang membosankan, sudah saatnya terbebas dari dosa-dosa warisan pengurusan aset kantor yang semberawut dan belum bisa kutuntaskan selama dua tahun terakhir, waktunya menyerahkan tongkat estafet dosa warisan itu ke generasi berikutnya.
Semua sudah mantap, doa dan usaha.
Hari Kamis tiba, saya membuka pengumuman dan ditampar kenyataan bahwa nama saya tidak tertulis dalam pengumuman yang berhak mengikuti tes psikotes, artinya saya TIDAK LULUS.
Pengumuman itu keluar saat kantorku mengadakan pertemuan bersama, dan kudapati kenyataan selanjutnya bahwa di aula ini, rekan-rekan seperjuanganku mengalami nasib yang sama malangnya.
Malam harinya saya merasa begitu merana, merasakan sebagai manusia yang paling tidak beruntung, dilanjutkan bayangan karir masa depan yang suram, tua, dan tidak berkembang. Usahaku tidak berbuah kali ini, jujur saya tidak siap menerima kenyataan. Pikiran negatif meracuni kamar indekosan saya malam itu, saking penuhnya, saya harus membuka pintu untuk bisa bernafas.
Saya terbangun di pagi hari dengan perasaan hampa, sedikit lebih baik dari semalam. Hari ini kami akan olahraga bersama, rekanku mengajak berjalan pagi mengelilingi lapangan, dilanjutkan bermain bola voli. Menyibukkan diri seperti ini kusadari sangat membantuku untuk mengalihkan perasaan merana sepanjang malam, ajaibnya, alih-alih merana, pagi ini dari aplikasi Air Visual saya membaca Polusi udara di Jakarta berada di peringkat ketiga, perasaan saya bersyukur masih bisa merasakan udara segar tahun ini, berkumpul dan berolahraga bersama keluarga besar kantorku.
Hal diatas tidak otomatis membuat kesedihanku hilang sekejab, namun  saya mencoba fokus pada apa yang bisa saya nikmati dan lakukan daripada memikirkan hal-hal negatif, rencana untuk berenang di pantai bersama rekan kerja keesokan harinya kurasa dapat menjadi obatnya.
 Keesokan paginya kami berangkat dari kantor, beruntung hanya kami yang menikmati pantai indah berpasir putih yang tak terlalu jauh, suatu hal yang tak bisa kunikmati jika kuliah di Jakarta, kami berenang dari satu pantai ke pantai seberang, melewati bebatuan besar, saya sangat menikmatinya, kurasa kami semua menikmatinya. Tak kusangka kesedihan itu hilang dalam sehari saja, ini semua berkat dari usaha untuk tetap positif dan melewati hari dengan menikmatinya, berkat dari selalu menghitung syukur yang diberikan saat mentari terbit hingga terlelap, berkat panggilan diklat ke Manado selama seminggu dan membuatku harus segera packing pakaian alih-alih kembali merana di malam hari.
Akan kucoba tahun depan, dengan persiapan.  

Comments