Skip to main content

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu

Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun  begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan.
Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk.
KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi, perubahannya begitu signifikan dengan banyak pegawai baru yang tak kukenal membuatku merasa asing ditempat yang penuh kenangan ini. Usai pamit dengan Ofa, teman se-angkatanku, saya berangkat menuju hotel Swiss-bel Silae Palu, yang berada di tepi pantai teluk Palu untuk beristirahat.
Seperti biasa saya selalu mengajak adik saya, Ikbal, yang berkuliah di Universitas Tadulako untuk menemani saya, malam ini setelah magrib ia tiba dengan wajah lelahnya usai kegiatan ekstrakurikuler di kampus yang menurutku tidak penting, saya mengajaknya makan malam di Palu Grand Mall, dan menyuruhnya balik duluan ke Swiss-belin untuk beristirahat, sementara saya akan menghadiri Technical Meeting Tnt #11 1000 Guru Sulteng di Warung 39, Jl. Tadulako, disinilah awal saya bertemu dengan teman-teman baru dan kami langsung membahas persiapan nantinya.
Waktu semakin larut, saya tiba di Swiss-bel sekitar Pukul 23.00, Ikbal masih mengerjakan tugas presentasenya, saya memaksanya nongkrong di restaurant Swiss-bel diatas pantai teluk Palu, kami membawa bekal sendiri dari kamar, termasuk gelas hotel, buah-buahan, dan minuman dingin.
Teluk Palu begitu indah di malam hari, angin bertiup dengan tenang, kelap-kelip cahaya kota seperti lampu hias kamar membentuk teluk U, sejujurnya jarang sekali kami seromantis ini, dua saudara yang sering bertengkar, kini duduk santai berdua menikmati suasana malam kota,
“Itu jembatan kuning, itu masjid terapung.” Katanya, seakan saya tidak tahu. Saya hanya tersenyum.
***
Pagi itu Ikbal buru-buru berangkat ke kampus, belum sempat sarapan. Acara di Aula pun dimulai begitu cepat, saya buru-buru check-out dan kamar tak bisa diperpanjang.
Sore hari itu saya juga ditelpon mama untuk menjenguk adik bungsuku, Irfan di Pondok Pesantren, dia sudah tau keberadaanku di Palu. Jadi malam ini, sekitar pukul 20.00, kami berdua berangkat menuju Pondok Pesantren Al-Istiqomah di Ngatabaru, Sigi.
Kami sempat singgah di Minimarket untuk membeli cemilan, susu, roti tawar kesukaannya, dan abon ikan. Sisanya kami membeli gorengan di Petobo, kelurahan terakhir yang selalu dilalui sebelum memasuki Pesantren Al-Istiqomah.
Sesampai disana dia masih belajar di masjid dan kami harus menunggu sampai pukul 22.00, kalau tau begitu kami makan malam saja dulu. Pengunjung yang lain juga sedang menunggu anaknya. Tepat pukul 22.00, kami bertemu, dia begitu senang, wajahnya tampak kurus, setelah itu kami bercerita, katanya barang-barangnya sering hilang. Saat hendak pamit pulang, ia rasanya tak rela, namun anak laki tidak boleh manja, bukan?
***
1000 Guru Sulteng

Jumat, 28 September 2018
          Pagi hari yang cerah, Saya dan adik saya, Ikbal berkeliling Palu Selatan untuk membeli barang-barang yang akan saya bawa dalam kegiatan 1000 Guru Sulteng, kami ke Transmart, Gramedia, lalu singgah makan pagi di Raja Kuring (sekali-kali mumpung lagi di Palu), pemandangan dari sini begitu indah, selain angin berhembus sepoi-sepoi, kita bisa melihat Palu Barat, hotel Roa-Roa dan Gereja disampingnya, serta bagian kota lainnya dari depan meja.
          Pukul 11.30, Ikbal mengantar saya ke Posko 1000 Guru, di Jl. Tururuka II, Lolu, Palu Selatan.
          “Sampai jumpa minggu malam, jaga barang saya ya! Terutama Laptop negara.” Kataku.
          Di Posko masih sepi ketika saya tiba, usai shalat Jumat di masjid terdekat, kami mempersiapkan barang-barang dan mengangkutnya ke dalam bus.
Pukul 14.00 Kami berangkat menuju desa adat Toro, kecamatan Kulawi, kab. Sigi dengan estimasi waktu selama empat jam. Di bus saya berkenalan dengan relawan lainnya, Febri dan Andung.
Diperjalanan beberapa diantara kami merasakan gempa, dan hal itu dibenarkan setelah melihat info dari BMKG.Sejam kemudian terjadi lagi gempa di Palu, saat kami berada di desa terakhir akses internet bisa ditangkap, tak ada yang terlalu menanggapinya, karena memang gempa-gempa kecil sering terjadi.
Saya sangat menikmati posisi strategis di dekat jendela bus, perjalanan yang berkelok dan hutan disisi jalan membawa angin kedamaian, ke hutanlah tempatku kembali.

Kami tiba di desa Toro pukul 17.00, desa adat nan indah, di lembah pegunungan sawah tampak menguning, seekor kerbau membajak sawah, dan burung-burung terbang bebas di langit. Kami langsung disambut seorang tetua adat beserta anak-anak Toro dan diajak masuk ke Lobo, rumah tradisional suku kaili untuk menyambut tamu maupun bermusyawarah, para lelaki memakai Siga yang diberikan oleh papi Eno, ikat kepala suku Kaili, dan perempuan menggunakan sarung. Setiap tamu yang masuk ke Toro harus disambut dulu ke Lobo, sebagai tanda bahwa kami diterima oleh masyarakat dan alam sekitarnya.
Anak-anak desa Toro membuat saya kagum, mereka berkumpul dengan tertib di Lobo dan membawakan lagu tentang hutan alam jangan di tebang dan harus dijaga, selain bersekolah di MI dan SD BK, tempat kami mengajar, mereka juga belajar di sekolah alam yang akan kami kunjungi di hari minggu. Usai disambut dan foto bersama, kami siap-siap memindahkan barang dari bus menuju rumah warga yang menampung kami.


Detik-detik Gempa 7.4 Magnitudo

          Bumi sebentar lagi gelap, kami bergegas memindahkan barang dari bus dengan cara mengoper barang dari satu ke satu orang, dan gempa itu terjadi, kami semua berlari ke jalan aspal, gempa masih berlangsung, keras dan lama, saya melihat tiang listrik bergoyang bagaikan diayun, kami berada di jalan, saya dan beberapa kawan lelaki berada di sisi belakang bus bersama beberapa orang Toro, sementara sisanya, termasuk semua perempuan berada di sisi depan bus. Gempa ini merupakan gempa terlama dan terbesar yang pernah saya rasakan, bahkan ketika memelan, ia mulai bergetar hebat lagi, gempa ini berlangsung hampir satu menit, dan membuat semua orang Toro berlari ke jalan.
          Listrik padam, gelap tiba, sinyal tak ada, satu-satunya cara kami berkomunikasi dengan dunia luar adalah dengan berdoa. Kami bergegas ke masjid mengingat Tuhan, hujan deras tiba membuat malam ini terasa begitu menjebak, gelap, gempa masih terus berlangsung, sementara hujan deras memaksa kami harus berlindung, dilain sisi kami takut berlindung dibawah bangunan batu (masjid).
Dalam hati saya memohon kepada Tuhan, apapun yang sedang terjadi saat ini, saya masih ingin hidup, ini bukan keadaan terbaik saya, bahwa saya belum siap mati dalam keadaan seperti ini, dalam keadaan penuh dosa, ya, banyak dosa yang saya perbuat sekelabat terlintas.
Pukul 21.30, saat intensitas hujan menurun, kami segera kembali dari masjid dan mendapati yang lainnya berkumpul di Lobo. Kami makan cemilan yang ada, dan menghangatkan diri di dekat perapian, barang-barang di rumah segera kami angkut menuju ke Lobo, rumah kayu kokoh yang membuat kami merasa lebih aman.
Dibawah penerangan seadanya, kami saling berkenalan dan mengakrabkan satu sama lain, dilain sisi kami masih bertanya apa yang sebenarnya terjadi, sebab gempa masih saja sering berlangsung. Saya berkeyakinan bahwa pusat gempa tersebut berada disekitar desa Toro sendiri, mengingat ada suara gemuruh sebelum gempa terjadi dan intensitas gempa lebih sering.
Sekitar Pukul 22.30, bagaimanapun rasa lapar datang melanda, para pengurus 1000 Guru begitu cekatan  memasak makanan walau dalam keadaan terbatas, sekitar pukul 23.00 baru kami makan malam, dilanjutkan pembagian baju kaos 1000 Guru, ka Ian (ketua 1000 Guru Sulteng) mengadakan rapat sebentar mengenai apa yang akan kami lakukan besok, apakah akan ada anak yang bersekolah, rencana pemberian materi trauma healing mengenai gempa (meskipun semua merasakan trauma tentunya), dan yang pastinya besok kami akan kembali ke Palu melihat kondisi Toro yang tiba-tiba sering dilanda gempa, mungkin lebih aman segera keluar dari desa ini.

Kami segera mencari posisi istirahat di dalam Lobo dan mencoba untuk tidur.
Malam semakin larut, dan hari akan segera berganti. Tiba-tiba ka Runi, salah satu bagian dari tim 1000 Guru yang juga anak kampung sini (akamsi) masuk ke Lobo dan menyampaikan informasi kalau di Palu air laut naik alias tsunami. Sontak, hal ini membuat kami panik, beberapa perempuan mulai menangis, kami segera keluar dari Lobo mengikuti ka Runi, berjalan dalam diam dan gelap menuju rumah warga Toro yang mempunyai genset dan televisi, kami membangunkan mereka dan meminta untuk menyalakan genset dan memutar televisi.
Jembatan kuning roboh dan tsunami di sekitar Palu Grand Mall yang direkam secara amatir menggambarkan bahwa keadaan kota Palu lebih mencekam malam itu, dibawah layar tampak running text menyebutkan 14 nelayan dikabarkan hilang, saya merasa gemetar melihat berita itu, seorang teman pingsan, yang lain menangis, ka Ian mengistruksikan untuk kembali ke Lobo.
***
Sabtu, 29 September 2018
          Saya terbangun karena merasa dingin, ketika menengok jam di ponsel sudah waktunya sholat subuh. Ketika saya bersujud, gempa bergetar cukup keras membangunkan semua orang yang ada di Lobo.
          Pukul 06.00, saya berjalan-jalan sendirian disekitar desa, sawah yang kemarin masih sama indahnya, hutan-hutan rimbun yang mengelilingi Toro masih diselimuti awan tipis yang terasa begitu dekat, satu keluarga tidur dilapangan voli dengan selimut seadanya, tak tampak senyum di wajah mereka.
          Air bersih mulai menipis, air yang kami ambil untuk memasak sarapan merupakan stok terakhir di penampungan air masjid. Usai sarapan, sebelum pulang kami mengumpulkan anak-anak di depan halaman MI Al-Khairat, anak-anak ini gabungan dua sekolah dari MI Al-Khairat dan SD Balai Keselamatan, jumlah mereka seadanya dan berpakaian seadanya, selama kami berinteraksi dengan anak-anak, orangtua mereka juga mengawasi dari balik pagar, karena gempa masih sering terjadi, setelah memberikan motivasi dan membagikan paket donasi, kami siap-siap packing menuju ke desa Namo, pusat kecamatan Kulawi.



          Ka Ian semalam mencoba kesana, namun sinyal hilang diduga karena listrik mati, dan jalanan terputus. Bagaimanapun kami harus berusaha menembus tempat yang memiliki sinyal, karena di desa Toro dalam keadaan normal saja sinyal susah.

Selamat tinggal Toro

          Usai dilepas oleh tetua adat desa Toro, kami pamit pulang, perjalanan ini begitu menegangkan, kami tidak melewati jalanan utama sebab beberapa jembatan terputus, melainkan melewati jalan alternatif yang begitu berbahaya untuk bus. Semakin menjauh dari Toro, pemandangan semakin memilukan, banyak bangunan terutama dari batako runtuh, jalanan terbelah, rumah rata dengan tanah, sekolah rusak parah, warga mulai tinggal di tenda pengungsian. Di desa Namo sendiri ada satu dusun hampir rata dengan tanah, yang tersisa hanya gereja yang salah satu sisi dindingnya juga ambruk.
          Jika jalannya terbelah, kami akan turun dari bus, begitu pula ketika melewati jembatan yang retak. Tiba di Sadaunta, bus kami harus di parkir karena jalanan tertutup longsor, jangankan bus, sepeda motor saja tak bisa lewat, jangankan sepeda motor jalan kaki saja cukup berbahaya. Bukan hanya rombongan kami yang tertahan di Sadaunta, beberapa mobil dan sepeda motor bernasib sama.
          Kami berlindung di pintu gerbang Taman Nasional Lore Lindu, disinilah perkenalan kami secara resmi di mulai, selain berkenalan kami juga saling bertukar hadiah yang sudah kami siapkan sebelum berangkat.
          Kami berjumlah 31 jiwa, membentuk lingkaran dan kenangan. Perjalanan ini tidak melulu tentang kesedihan, adakalanya Papi Eno dan kawan-kawan melempar jokes receh yang membuat kami melupakan sejenak musibah yang terjadi.

Mencoba menembus longsoran

          Pukul 15.30, ka Ian putuskan kami akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, bagaimanapun kami tak bisa bertahan disini, kehilangan kontak dengan keluarga dan dunia luar menjadi sumber kekuatan utama kami untuk terus bergerak. Begitu pula pak Supir yang rumahnya dekat dengan pantai, dia harus memastikan kondisi anak dan istrinya yang tengah hamil selamat disana. Kami pamit dengan kak Runi.
          Karena dalam rombongan yang besar, pergerakan kami cukup lambat. Ka Awal memimpin rombongan di depan, sementara kami para lelaki harus memastikan 16 perempuan aman dalam perjalanan.
          Perjalanan ini begitu berbahaya, tanah longsor yang masih tidak stabil, hanya setapak, disisi kiri langsung jurang menganga yang dasarnya hutan lebat, sementara di sisi kanan tanah dan bebatuan dari atas masih sering berjatuhan oleh angin maupun gempa yang masih terus terjadi sepanjang hari. Hal ini membuat ka Eci, panik saat hendak menaiki longsoran, angin bertiup dan bebatuan berjatuhan dari atas, ia mencoba lari, terpeleset, dan terjatuh di tanah dengan kepala mengenai batu.Ka Husnul dan kawan-kawan langsung mengangkatnya ke jalan yang aman, untungnya dia tak apa-apa, perjalanan tetap di lanjutkan.
          Melewati longsoran kedua, terasa lebih mencekam, ka Ima berada dibelakangku nyaris tak bisa bergerak saat berada di jalan setapak yang berbahaya, saya berusaha membantunya untuk lewat, sementara jurang tepat berada disisi kiri begitu menakutkan dan siap melahap.
          Menuju longsoran ketiga, ka Awal memutuskan untuk kembali ke Sadaunta, keputusan ini sangat tepat mengingat hari sebentar lagi gelap, pergerakan kami yang lambat, dan gempa masih sering terjadi, sangat berbahaya apabila kami terjebak malam disini, longsoran masih bisa terus bertambah, meski begitu, pak supir memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya sendiri, padahal dari orang-orang yang kami temui saat berpapasan, mereka telah menempuh perjalanan sejauh 4-5 jam dari desa Tuva, desa terakhir yang bisa diakses dari kota Palu. Sementara jarak kota Palu masih 64 Kilometer (data dari tanda di jalan).

Malam pertama di Posko pengungsian

          Kami tiba kembali di sadaunta sekitar pukul 16.30, perempuan yang kelelahan langsung berbaring di depan pintu gerbang TNLL, berbagi air dan sisa cemilan, datangnya malam membuat saya sedikit cemas, jauh dari Lobo, rasa aman sedikit berkurang, di Sadaunta tidak ada suara gemuruh sebelum gempa menambah daftar rasa cemas.
          Saya dan kawan-kawan memutuskan untuk mandi di sungai sebelum gelap, setelah itu kami berkumpul kembali di depan bus yang sudah ditinggal sopir, entah kami bermalam dimana, saya tak tahu.
          Ka Ian menginstruksikan kami menuju ke posko pengungsian warga, meskipun pengungsian itu sudah penuh, setidaknya disana lebih aman. Usai sholat magrib di jamak isya berjamaah, kami mendapat bantuan tenda dari warga yang bisa kami gunakan untuk  berlindung tatkala hujan, benar saja malam ini hujan kembali turun. Tenda pun bukan untuk kami saja, beberapa lelaki dari Lindu dan sekitarnya yang ingin berjalan kaki ke Palu esok hari untuk menjemput anak dan sanak keluarga juga singgah di posko warga Sadaunta.


          Malam ini saya bersyukur masih bisa makan nasi dan lauk, pengurus 1000 Guru Sulteng memasak dengan cekatan, (kak-Algol, Ekki, Siska, Mutia,Indah,Maul,Ana,Tari, Tiwi,Husnul pokoknya semua)  padahal kondisi kami sama-sama lelah. Sisa makanan pun dibagikan kepada pengungsi yang terakhir datang dari Lindu.
          Saya tertidur lelap malam ini, hingga mimpi terbang jauh di Tolitoli. Begitu pula semua pengungsi yang ada, tampaknya begitu lelap karena lelah, hingga gempa yang cukup kuat membangunkan, kami berhampuran ke arah tenda yang lebih aman, sontak ibu-ibu berteriak karena takut anaknya terinjak.
          “Jangan lari kasian, banyak anak kecil nanti terinjak, ini sudah yang bikin kita mati. Kalau ada gempa, bangun saja tenang!” kata seorang ibu. Hal ini efektif, gempa-gempa berikutnya kami lebih tenang, mengingat nasehat sang ibu. Sementara ka Tari tampaknya harus menahan sakit  di paha hingga pagi karena terinjak oleh orang-orang yang berlarian semalam.

Pengantar Kisah Pilu dari Palu

Minggu, 30 September 2018
Pagi di Sadaunta cukup dingin, beberapa pengungsi masih tertidur di balik selimut. Karena tidak terbiasa tidur pagi, saya dan beberapa teman berjalan-jalan ke arah pintu gerbang TNTL untuk mencari informasi apa saja, kabar baiknya, seorang ibu membuka warung di dekat reruntuhan rumahnya, dan menjual mie lengkap dengan telur, sungguh kenikmatan hakiki di hari yang dingin, di pedalaman,  di tengah bencana.
“Maaf ya dek, harganya naik sedikit.”
“Berapa bu?”
“Enam ribu, naik seribu.” Kata ibunya. Wah, ini jauh lebih murah dari mie warkop perempatan di Tolitoli dalam keadaan normal. Ibu ini membuka warung karena melihat banyak diantara kami dan pengungsi berlalu lalang yang butuh makan.
Menjelang siang, orang-orang berdatangan dari arah Palu, mereka menempuh perjalanan berjam-jam untuk kembali bertemu sanak keluarga, wajah mereka begitu lelah, haus, dan bercucuran keringat, beberapa wanita sudah tak kuat berjalan, sandal mereka jebol, mereka hanya membawa tas dan barang seadanya.
Mereka kebanyakan beristirahat di warung ibu tadi sambil memijat kaki, diantaranya masih rela berbagi berita duka yang terjadi di Palu. Ada hotel ambruk, jembatan putus, mall Tatura rusak parah, Petobo rata dengan tanah, sementara pesisir pantai korban masih banyak. Dari informasi terakhir, sudah lebih 300 mayat ditemukan. Pencarian korban terus dilakukan.
Pikiran saya langsung melayang ke Palu, kedua adikku, mereka pastinya tidak bersama saat gempa 7.4 Magnitudo berlangsung, adikku Irfan di pesantren apa kabar, dia baru saja tamat SD dan harus jauh dari orangtua demi pendidikan, apakah ia kelaparan, apakah ia sudah di jemput, ataukah masih di tenda pengungsian dengan nasib tak jelas seperti kebanyakan korban, membayangkannya membuat hatiku teriris. Semoga Ikbal sudah menjemputnya, semoga mereka berdua sudah bersama dan selamat.
Terjebak di Sadaunta bukanlah masalah utama buat kami, entah itu beberapa hari atau seminggu lagi, tidak masalah, yang menjadi masalah adalah kami belum menyampaikan kabar dan belum tahu kabar keluarga kami yang ada di Palu atau di tempat lain.
Begitu banyak cerita duka yang dibawa oleh korban yang selamat menuju ke Kulawi, mereka bagaikan korban perang yang harus berlari ke pegunungan, wajah mereka lelah, pakaian mereka lusuh, dan jauh di dalam hati mereka trauma.

Trauma Healing di Tenda Pengungsian

Senin, 01 Oktober 2018
          Bertahan bersama rombongan yang besar ternyata sangat efektif untuk menghilangkan rasa sedih dan takut diantara kami, saling menjaga, bahu membahu, dan berbagi cerita tentunya, tim 1000 Guru Sulteng terdiri dari berbagai latar belakang tempat dan profesi yang berbeda, ka Irfan berbagi kisahnya sebagai dokter gigi di Lalundu, daerah pedalaman di kabupaten Donggala, sementara ka Deddy menceritakan tentang kesehariannya bekerja di perusahaan tambang di Kalimantan dengan fasilitas lengkap, begitupun yang lainnya. Selalu ada topik dari 31 orang yang berada dibawah atap biru tenda pengungsian, yang bisa diceritakan siang dan malam.
          Pagi ini usai shalat Subuh berjamaah, ka Ian membawa berita bahagia. Semalam ia dan ka Acil berangkat ke desa Marena, sekitar 31 Kilometer ke arah selatan, dan mendapatkan jaringan Wifi yang langsung terhubung dengan satelit di kantor desa (informasi ini didapatkan dari warga Kulawi yang nongkrong di warung), mereka berhasil menghubungi orang-orang yang ada diluar, termasuk admin 1000 Guru pusat di Jakarta, kabar kami telah diketahui dan disebar oleh banyak orang dan kami akan segera di evakuasi oleh tim Basarnas. Hari ini atau besok kami siap meninggalkan Sadaunta.

          Siang hari, atas inisiatif pengurus 1000 Guru Sulteng, kami mengumpulkan anak-anak yang ada di posko pengungsian, bernyanyi dan bermain bersama, lalu membagikan paket donasi buku dan alat tulis lainnya sisa dari Toro, mereka semua terlihat antusias dan senang. Orangtua mereka juga turut senang melihat anaknya mendapat hadiah dan bisa bermain bersama kami.
Kebun kakao, tebu, dan durian jatuh

          Dua hari ini kami menghabiskan siang hingga sore berteduh di bawah pohon kakao warga di tepi sungai. Beberapa menggelar matras, hammock, dan spanduk untuk alas tidur siang, di kebun ini juga ada pondok, pemiliknya mempersilahkan kami menggunakan pondoknya, tidak hanya itu beliau juga membolehkan kami untuk mengambil tebu, pisang, dan beberapa buah yang ada dikebunnya untuk dimakan dan dengan senang hati (baca: lapar) kami langsung memanfaatkannya. Setelah puas menghisap tebu, ka Awal, dengan jiwa petualangannya berhasil menemukan durian, sungguh kenikmatan yang langka bisa makan durian dalam keadaan seperti ini.



          Menjelang sore rasa cemas kembali melanda seiring dengan melambungnya harga BBM (bensin tembus harga 50.000/liter), tak ada tanda-tanda orang yang datang mengevakuasi kami, rasa cemas kami terbaca oleh kak Ian, ia segera meminta nomor whatsApp keluarga kami satu per satu dan berusaha kembali ke desa Marena untuk menghubungi mereka sebentar malam.
          Jika sesuai jadwal, beberapa diantara kami (termasuk saya) seharusnya sudah terbang besok dari bandara menuju kota masing-masing. Bisa dipastikan semuanya harus batal.

Tamu Spesial di Sore Hari

        Salah satu kecemasan saya adalah datangnya malam, bukan hanya karena tak ada listrik dan harus tidur bersempit-sempitan di tenda pengungsian, malam hari menyimpan trauma tersendiri. Sore itu saya kembali ke tenda untuk memeriksa barang-barang sekaligus bersiap-siap mandi di sungai, tiba-tiba ka Tari datang mencari saya,
          “Ka Iksan, ada orang yang nyari kakak,”
          “Siapa?” perasaanku bergejolak,
          “Putih orangnya, pakai behel.” Sambil mengikuti Tari kepala saya masih mencoba menebak.
          Dari kejauhan saya tak percaya, semakin dekat, kak Faried? Saya berlari memeluknya dengan bahagia, bajunya basah oleh keringat. Bagaimana bisa ia sampai disini? Terakhir kali saya bertemu dengannya bulan Juli di Manado, dia menemani rombongan kami ke Tomohon, dan dengan berbaik hati mengantarku ke bandara saat subuh. Ia tak sendirian, ditemani Lutfi (Gelut) pegawai KPP Pratama Palu yang juga anggota Stapala, mereka berjalan dari pukul 14.00 hingga tiba di Sadaunta sekitar pukul 17.30, melewati jurang yang curam, bukit, longsoran, mengikuti alur sungai. Mereka menjadi tamu spesial bukan hanya untuk saya, tapi buat kami semua tim 1000 Guru Sulteng. Kedatangan mereka memberikan energi baru untuk hari esok.

Selamat tinggal Sadaunta

Selasa, 02 Oktober 2018
          Dari hasil briefing semalam, hari ini kami akan meninggalkan posko pengungsian Sadaunta menuju desa terakhir yang dapat di akses dari Palu. Estimasi 5 jam perjalanan melewati rute jurang dengan vegetasi hutan tropis. Kami dibagi kedalam dua tim, untuk memudahkan pengawasan. Saya berada di tim satu yang dipimpin oleh ka Faried. Di depan saya ada kak Sukma dan dibelakang ada kak Ima, merekalah yang harus saya awasi, setiap orang wajib mengawasi orang didepan dan dibelakangnya.
          Sebelum berangkat kami pamit dengan warga Sadaunta yang telah menerima kami di posko Pengungsian selama empat hari tiga malam, sebagian barang yang tidak penting kami tinggalkan di bus, sisa mainan dibagikan kepada anak-anak.
          Meskipun kami melewati jurang dan bukit yang merupakan hutan, tapi banyak orang yang berlalu lalang, dari Kulawi menuju Palu maupun arah sebaliknya. Medan yang ekstrim dan rombongan yang besar membuat perjalanan ini lebih lama ditempuh namun penuh dengan cerita kenangan. Medan yang kami lewati mengingatkanku  akan diklat Stapala di Tompusu, walaupun ini lebih ekstrim.
          Terimakasih banyak untuk semua orang yang mendoakan kami, yang telah menyebarkan informasi keberadaan kami, yang telah menghubungi orangtua kami, terimakasih terkhusus untuk pak Didik dan ka Faried, pahlawan kemanusiaan yang berangkat naik Hercules dari Manado menuju Palu membawa bantuan dan mengevakuasi kami dari Sadaunta, kecamatan Kulawi, kabupaten Sigi, bersama dengan tim dari KPP Pratama Palu  (Mas Lutfi, kak Eko, pak Nius, kak Obet, dan semuanya).
          Kami tiba di desa Tuva sekitar pukul 14.00 dan dibawah ke Posko pengungsian di desa Tuva. Disana kami diberi makanan dan beristirahat sejenak sebelum ke Palu. Terimakasih Tim 1000 Guru, kalian luar biasa, kenangan bersama kalian adalah sebuah perjalanan dan pelajaran hidup yang berharga. 


Foto : Maul/Rifani

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y