Berangkat
Ke Palu
Saya percaya
akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa
menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar
di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling
and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak
kurencanakan sebelumnya namun begitu kunantikan
karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan.
Pesawat ATR
menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam
11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan
berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek
online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju
ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu
pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk.
KPP Pratama
Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi,
perubahannya begitu signifikan dengan banyak pegawai baru yang tak kukenal
membuatku merasa asing ditempat yang penuh kenangan ini. Usai pamit dengan Ofa,
teman se-angkatanku, saya berangkat menuju hotel Swiss-bel Silae Palu, yang
berada di tepi pantai teluk Palu untuk beristirahat.
Seperti biasa
saya selalu mengajak adik saya, Ikbal, yang berkuliah di Universitas Tadulako
untuk menemani saya, malam ini setelah magrib ia tiba dengan wajah lelahnya
usai kegiatan ekstrakurikuler di kampus yang menurutku tidak penting, saya
mengajaknya makan malam di Palu Grand Mall, dan menyuruhnya balik duluan ke
Swiss-belin untuk beristirahat, sementara saya akan menghadiri Technical
Meeting Tnt #11 1000 Guru Sulteng di Warung 39, Jl. Tadulako, disinilah awal
saya bertemu dengan teman-teman baru dan kami langsung membahas persiapan
nantinya.
Waktu semakin
larut, saya tiba di Swiss-bel sekitar Pukul 23.00, Ikbal masih mengerjakan
tugas presentasenya, saya memaksanya nongkrong di restaurant Swiss-bel diatas
pantai teluk Palu, kami membawa bekal sendiri dari kamar, termasuk gelas hotel,
buah-buahan, dan minuman dingin.
Teluk Palu
begitu indah di malam hari, angin bertiup dengan tenang, kelap-kelip cahaya
kota seperti lampu hias kamar membentuk teluk U, sejujurnya jarang sekali kami
seromantis ini, dua saudara yang sering bertengkar, kini duduk santai berdua menikmati
suasana malam kota,
“Itu jembatan
kuning, itu masjid terapung.” Katanya, seakan saya tidak tahu. Saya hanya
tersenyum.
***
Pagi itu Ikbal
buru-buru berangkat ke kampus, belum sempat sarapan. Acara di Aula pun dimulai
begitu cepat, saya buru-buru check-out dan kamar tak bisa diperpanjang.
Sore hari itu
saya juga ditelpon mama untuk menjenguk adik bungsuku, Irfan di Pondok
Pesantren, dia sudah tau keberadaanku di Palu. Jadi malam ini, sekitar pukul
20.00, kami berdua berangkat menuju Pondok Pesantren Al-Istiqomah di Ngatabaru,
Sigi.
Kami sempat
singgah di Minimarket untuk membeli cemilan, susu, roti tawar kesukaannya, dan
abon ikan. Sisanya kami membeli gorengan di Petobo, kelurahan terakhir yang
selalu dilalui sebelum memasuki Pesantren Al-Istiqomah.
Sesampai
disana dia masih belajar di masjid dan kami harus menunggu sampai pukul 22.00,
kalau tau begitu kami makan malam saja dulu. Pengunjung yang lain juga sedang
menunggu anaknya. Tepat pukul 22.00, kami bertemu, dia begitu senang, wajahnya
tampak kurus, setelah itu kami bercerita, katanya barang-barangnya sering
hilang. Saat hendak pamit pulang, ia rasanya tak rela, namun anak laki tidak
boleh manja, bukan?
***
1000
Guru Sulteng
Jumat, 28 September 2018
Pagi
hari yang cerah, Saya dan adik saya, Ikbal berkeliling Palu Selatan untuk
membeli barang-barang yang akan saya bawa dalam kegiatan 1000 Guru Sulteng, kami
ke Transmart, Gramedia, lalu singgah makan pagi di Raja Kuring (sekali-kali
mumpung lagi di Palu), pemandangan dari sini begitu indah, selain angin
berhembus sepoi-sepoi, kita bisa melihat Palu Barat, hotel Roa-Roa dan Gereja disampingnya,
serta bagian kota lainnya dari depan meja.
Pukul
11.30, Ikbal mengantar saya ke Posko 1000 Guru, di Jl. Tururuka II, Lolu, Palu
Selatan.
“Sampai
jumpa minggu malam, jaga barang saya ya! Terutama Laptop negara.” Kataku.
Di
Posko masih sepi ketika saya tiba, usai shalat Jumat di masjid terdekat, kami
mempersiapkan barang-barang dan mengangkutnya ke dalam bus.
Pukul 14.00
Kami berangkat menuju desa adat Toro, kecamatan Kulawi, kab. Sigi dengan
estimasi waktu selama empat jam. Di bus saya berkenalan dengan relawan lainnya,
Febri dan Andung.
Diperjalanan
beberapa diantara kami merasakan gempa, dan hal itu dibenarkan setelah melihat
info dari BMKG.Sejam kemudian terjadi lagi gempa di Palu, saat kami berada di
desa terakhir akses internet bisa ditangkap, tak ada yang terlalu
menanggapinya, karena memang gempa-gempa kecil sering terjadi.
Saya sangat
menikmati posisi strategis di dekat jendela bus, perjalanan yang berkelok dan
hutan disisi jalan membawa angin kedamaian, ke
hutanlah tempatku kembali.
Kami tiba di
desa Toro pukul 17.00, desa adat nan indah, di lembah pegunungan sawah tampak
menguning, seekor kerbau membajak sawah, dan burung-burung terbang bebas di
langit. Kami langsung disambut seorang tetua adat beserta anak-anak Toro dan
diajak masuk ke Lobo, rumah tradisional suku kaili untuk menyambut tamu maupun
bermusyawarah, para lelaki memakai Siga yang diberikan oleh papi Eno, ikat
kepala suku Kaili, dan perempuan menggunakan sarung. Setiap tamu yang masuk ke
Toro harus disambut dulu ke Lobo, sebagai tanda bahwa kami diterima oleh
masyarakat dan alam sekitarnya.
Anak-anak
desa Toro membuat saya kagum, mereka berkumpul dengan tertib di Lobo dan
membawakan lagu tentang hutan alam jangan di tebang dan harus dijaga, selain
bersekolah di MI dan SD BK, tempat kami mengajar, mereka juga belajar di sekolah
alam yang akan kami kunjungi di hari minggu. Usai disambut dan foto bersama,
kami siap-siap memindahkan barang dari bus menuju rumah warga yang menampung
kami.
Detik-detik
Gempa 7.4 Magnitudo
Bumi
sebentar lagi gelap, kami bergegas memindahkan barang dari bus dengan cara
mengoper barang dari satu ke satu orang, dan gempa itu terjadi, kami semua
berlari ke jalan aspal, gempa masih berlangsung, keras dan lama, saya melihat
tiang listrik bergoyang bagaikan diayun, kami berada di jalan, saya dan beberapa
kawan lelaki berada di sisi belakang bus bersama beberapa orang Toro, sementara
sisanya, termasuk semua perempuan berada di sisi depan bus. Gempa ini merupakan
gempa terlama dan terbesar yang pernah saya rasakan, bahkan ketika memelan, ia
mulai bergetar hebat lagi, gempa ini berlangsung hampir satu menit, dan
membuat semua orang Toro berlari ke jalan.
Listrik
padam, gelap tiba, sinyal tak ada, satu-satunya cara kami berkomunikasi dengan
dunia luar adalah dengan berdoa. Kami bergegas ke masjid mengingat Tuhan, hujan
deras tiba membuat malam ini terasa begitu menjebak, gelap, gempa masih terus
berlangsung, sementara hujan deras memaksa kami harus berlindung, dilain sisi
kami takut berlindung dibawah bangunan batu (masjid).
Dalam hati
saya memohon kepada Tuhan, apapun yang sedang terjadi saat ini, saya masih
ingin hidup, ini bukan keadaan terbaik saya, bahwa saya belum siap mati dalam
keadaan seperti ini, dalam keadaan penuh dosa, ya, banyak dosa yang saya
perbuat sekelabat terlintas.
Pukul 21.30,
saat intensitas hujan menurun, kami segera kembali dari masjid dan mendapati
yang lainnya berkumpul di Lobo. Kami makan cemilan yang ada, dan menghangatkan
diri di dekat perapian, barang-barang di rumah segera kami angkut menuju ke
Lobo, rumah kayu kokoh yang membuat kami merasa lebih aman.
Dibawah
penerangan seadanya, kami saling berkenalan dan mengakrabkan satu sama lain,
dilain sisi kami masih bertanya apa yang sebenarnya terjadi, sebab gempa masih
saja sering berlangsung. Saya berkeyakinan bahwa pusat gempa tersebut berada disekitar
desa Toro sendiri, mengingat ada suara gemuruh sebelum gempa terjadi dan
intensitas gempa lebih sering.
Sekitar Pukul
22.30, bagaimanapun rasa lapar datang melanda, para pengurus 1000 Guru begitu
cekatan memasak makanan walau dalam
keadaan terbatas, sekitar pukul 23.00 baru kami makan malam, dilanjutkan
pembagian baju kaos 1000 Guru, ka Ian (ketua 1000 Guru Sulteng) mengadakan
rapat sebentar mengenai apa yang akan kami lakukan besok, apakah akan ada anak
yang bersekolah, rencana pemberian materi trauma healing mengenai gempa (meskipun
semua merasakan trauma tentunya), dan yang pastinya besok kami akan kembali ke Palu
melihat kondisi Toro yang tiba-tiba sering dilanda gempa, mungkin lebih aman
segera keluar dari desa ini.
Kami segera
mencari posisi istirahat di dalam Lobo dan mencoba untuk tidur.
Malam semakin
larut, dan hari akan segera berganti. Tiba-tiba ka Runi, salah satu bagian dari
tim 1000 Guru yang juga anak kampung sini (akamsi) masuk ke Lobo dan
menyampaikan informasi kalau di Palu air laut naik alias tsunami. Sontak, hal
ini membuat kami panik, beberapa perempuan mulai menangis, kami segera keluar
dari Lobo mengikuti ka Runi, berjalan dalam diam dan gelap menuju rumah warga Toro
yang mempunyai genset dan televisi, kami membangunkan mereka dan meminta untuk
menyalakan genset dan memutar televisi.
Jembatan
kuning roboh dan tsunami di sekitar Palu Grand Mall yang direkam secara amatir
menggambarkan bahwa keadaan kota Palu lebih mencekam malam itu, dibawah layar
tampak running text menyebutkan 14 nelayan dikabarkan hilang, saya merasa
gemetar melihat berita itu, seorang teman pingsan, yang lain menangis, ka Ian
mengistruksikan untuk kembali ke Lobo.
***
Sabtu, 29 September 2018
Saya
terbangun karena merasa dingin, ketika menengok jam di ponsel sudah waktunya
sholat subuh. Ketika saya bersujud, gempa bergetar cukup keras membangunkan semua
orang yang ada di Lobo.
Pukul
06.00, saya berjalan-jalan sendirian disekitar desa, sawah yang kemarin masih
sama indahnya, hutan-hutan rimbun yang mengelilingi Toro masih diselimuti awan
tipis yang terasa begitu dekat, satu keluarga tidur dilapangan voli dengan
selimut seadanya, tak tampak senyum di wajah mereka.
Air
bersih mulai menipis, air yang kami ambil untuk memasak sarapan merupakan stok
terakhir di penampungan air masjid. Usai sarapan, sebelum pulang kami mengumpulkan
anak-anak di depan halaman MI Al-Khairat, anak-anak ini gabungan dua sekolah
dari MI Al-Khairat dan SD Balai Keselamatan, jumlah mereka seadanya dan
berpakaian seadanya, selama kami berinteraksi dengan anak-anak, orangtua mereka
juga mengawasi dari balik pagar, karena gempa masih sering terjadi, setelah
memberikan motivasi dan membagikan paket donasi, kami siap-siap packing menuju
ke desa Namo, pusat kecamatan Kulawi.
Ka
Ian semalam mencoba kesana, namun sinyal hilang diduga karena listrik mati, dan
jalanan terputus. Bagaimanapun kami harus berusaha menembus tempat yang memiliki
sinyal, karena di desa Toro dalam keadaan normal saja sinyal susah.
Selamat
tinggal Toro
Usai
dilepas oleh tetua adat desa Toro, kami pamit pulang, perjalanan ini begitu
menegangkan, kami tidak melewati jalanan utama sebab beberapa jembatan
terputus, melainkan melewati jalan alternatif yang begitu berbahaya untuk bus.
Semakin menjauh dari Toro, pemandangan semakin memilukan, banyak bangunan
terutama dari batako runtuh, jalanan terbelah, rumah rata dengan tanah, sekolah
rusak parah, warga mulai tinggal di tenda pengungsian. Di desa Namo sendiri ada
satu dusun hampir rata dengan tanah, yang tersisa hanya gereja yang salah satu
sisi dindingnya juga ambruk.
Jika
jalannya terbelah, kami akan turun dari bus, begitu pula ketika melewati
jembatan yang retak. Tiba di Sadaunta, bus kami harus di parkir karena jalanan
tertutup longsor, jangankan bus, sepeda motor saja tak bisa lewat, jangankan
sepeda motor jalan kaki saja cukup berbahaya. Bukan hanya rombongan kami yang
tertahan di Sadaunta, beberapa mobil dan sepeda motor bernasib sama.
Kami
berlindung di pintu gerbang Taman Nasional Lore Lindu, disinilah perkenalan
kami secara resmi di mulai, selain berkenalan kami juga saling bertukar hadiah
yang sudah kami siapkan sebelum berangkat.
Kami
berjumlah 31 jiwa, membentuk lingkaran dan kenangan. Perjalanan ini tidak
melulu tentang kesedihan, adakalanya Papi Eno dan kawan-kawan melempar jokes receh yang membuat kami melupakan
sejenak musibah yang terjadi.
Mencoba
menembus longsoran
Pukul
15.30, ka Ian putuskan kami akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki,
bagaimanapun kami tak bisa bertahan disini, kehilangan kontak dengan keluarga
dan dunia luar menjadi sumber kekuatan utama kami untuk terus bergerak. Begitu
pula pak Supir yang rumahnya dekat dengan pantai, dia harus memastikan kondisi
anak dan istrinya yang tengah hamil selamat disana. Kami pamit dengan kak Runi.
Karena
dalam rombongan yang besar, pergerakan kami cukup lambat. Ka Awal memimpin
rombongan di depan, sementara kami para lelaki harus memastikan 16 perempuan
aman dalam perjalanan.
Perjalanan
ini begitu berbahaya, tanah longsor yang masih tidak stabil, hanya setapak,
disisi kiri langsung jurang menganga yang dasarnya hutan lebat, sementara di
sisi kanan tanah dan bebatuan dari atas masih sering berjatuhan oleh angin
maupun gempa yang masih terus terjadi sepanjang hari. Hal ini membuat ka Eci,
panik saat hendak menaiki longsoran, angin bertiup dan bebatuan berjatuhan dari
atas, ia mencoba lari, terpeleset, dan terjatuh di tanah dengan kepala mengenai
batu.Ka Husnul dan kawan-kawan langsung mengangkatnya ke jalan yang aman,
untungnya dia tak apa-apa, perjalanan tetap di lanjutkan.
Melewati
longsoran kedua, terasa lebih mencekam, ka Ima berada dibelakangku nyaris tak
bisa bergerak saat berada di jalan setapak yang berbahaya, saya berusaha
membantunya untuk lewat, sementara jurang tepat berada disisi kiri begitu
menakutkan dan siap melahap.
Menuju
longsoran ketiga, ka Awal memutuskan untuk kembali ke Sadaunta, keputusan ini
sangat tepat mengingat hari sebentar lagi gelap, pergerakan kami yang lambat,
dan gempa masih sering terjadi, sangat berbahaya apabila kami terjebak malam
disini, longsoran masih bisa terus bertambah, meski begitu, pak supir memutuskan
untuk melanjutkan perjalanannya sendiri, padahal dari orang-orang yang kami
temui saat berpapasan, mereka telah menempuh perjalanan sejauh 4-5 jam dari
desa Tuva, desa terakhir yang bisa diakses dari kota Palu. Sementara jarak kota
Palu masih 64 Kilometer (data dari tanda di jalan).
Malam
pertama di Posko pengungsian
Kami
tiba kembali di sadaunta sekitar pukul 16.30, perempuan yang kelelahan langsung
berbaring di depan pintu gerbang TNLL, berbagi air dan sisa cemilan, datangnya
malam membuat saya sedikit cemas, jauh dari Lobo, rasa aman sedikit berkurang,
di Sadaunta tidak ada suara gemuruh sebelum gempa menambah daftar rasa cemas.
Saya
dan kawan-kawan memutuskan untuk mandi di sungai sebelum gelap, setelah itu
kami berkumpul kembali di depan bus yang sudah ditinggal sopir, entah kami
bermalam dimana, saya tak tahu.
Ka
Ian menginstruksikan kami menuju ke posko pengungsian warga, meskipun
pengungsian itu sudah penuh, setidaknya disana lebih aman. Usai sholat magrib
di jamak isya berjamaah, kami mendapat bantuan tenda dari warga yang bisa kami
gunakan untuk berlindung tatkala hujan,
benar saja malam ini hujan kembali turun. Tenda pun bukan untuk kami saja,
beberapa lelaki dari Lindu dan sekitarnya yang ingin berjalan kaki ke Palu esok
hari untuk menjemput anak dan sanak keluarga juga singgah di posko warga Sadaunta.
Malam
ini saya bersyukur masih bisa makan nasi dan lauk, pengurus 1000 Guru Sulteng
memasak dengan cekatan, (kak-Algol, Ekki, Siska, Mutia,Indah,Maul,Ana,Tari,
Tiwi,Husnul pokoknya semua) padahal
kondisi kami sama-sama lelah. Sisa makanan pun dibagikan kepada pengungsi yang
terakhir datang dari Lindu.
Saya
tertidur lelap malam ini, hingga mimpi terbang jauh di Tolitoli. Begitu pula
semua pengungsi yang ada, tampaknya begitu lelap karena lelah, hingga gempa
yang cukup kuat membangunkan, kami berhampuran ke arah tenda yang lebih aman,
sontak ibu-ibu berteriak karena takut anaknya terinjak.
“Jangan
lari kasian, banyak anak kecil nanti terinjak, ini sudah yang bikin kita mati.
Kalau ada gempa, bangun saja tenang!” kata seorang ibu. Hal ini efektif,
gempa-gempa berikutnya kami lebih tenang, mengingat nasehat sang ibu. Sementara
ka Tari tampaknya harus menahan sakit di
paha hingga pagi karena terinjak oleh orang-orang yang berlarian semalam.
Pengantar
Kisah Pilu dari Palu
Minggu, 30 September 2018
Pagi di Sadaunta
cukup dingin, beberapa pengungsi masih tertidur di balik selimut. Karena tidak
terbiasa tidur pagi, saya dan beberapa teman berjalan-jalan ke arah pintu
gerbang TNTL untuk mencari informasi apa saja, kabar baiknya, seorang ibu
membuka warung di dekat reruntuhan rumahnya, dan menjual mie lengkap dengan
telur, sungguh kenikmatan hakiki di hari yang dingin, di pedalaman, di tengah bencana.
“Maaf ya dek,
harganya naik sedikit.”
“Berapa bu?”
“Enam ribu,
naik seribu.” Kata ibunya. Wah, ini jauh lebih murah dari mie warkop perempatan
di Tolitoli dalam keadaan normal. Ibu ini membuka warung karena melihat banyak
diantara kami dan pengungsi berlalu lalang yang butuh makan.
Menjelang
siang, orang-orang berdatangan dari arah Palu, mereka menempuh perjalanan
berjam-jam untuk kembali bertemu sanak keluarga, wajah mereka begitu lelah,
haus, dan bercucuran keringat, beberapa wanita sudah tak kuat berjalan, sandal
mereka jebol, mereka hanya membawa tas dan barang seadanya.
Mereka
kebanyakan beristirahat di warung ibu tadi sambil memijat kaki, diantaranya
masih rela berbagi berita duka yang terjadi di Palu. Ada hotel ambruk, jembatan
putus, mall Tatura rusak parah, Petobo rata dengan tanah, sementara pesisir
pantai korban masih banyak. Dari informasi terakhir, sudah lebih 300 mayat ditemukan.
Pencarian korban terus dilakukan.
Pikiran saya
langsung melayang ke Palu, kedua adikku, mereka pastinya tidak bersama saat
gempa 7.4 Magnitudo berlangsung, adikku Irfan di pesantren apa kabar, dia baru
saja tamat SD dan harus jauh dari orangtua demi pendidikan, apakah ia kelaparan,
apakah ia sudah di jemput, ataukah masih di tenda pengungsian dengan nasib tak
jelas seperti kebanyakan korban, membayangkannya membuat hatiku teriris. Semoga
Ikbal sudah menjemputnya, semoga mereka berdua sudah bersama dan selamat.
Terjebak di
Sadaunta bukanlah masalah utama buat kami, entah itu beberapa hari atau
seminggu lagi, tidak masalah, yang menjadi masalah adalah kami belum
menyampaikan kabar dan belum tahu kabar keluarga kami yang ada di Palu atau di
tempat lain.
Begitu banyak
cerita duka yang dibawa oleh korban yang selamat menuju ke Kulawi, mereka
bagaikan korban perang yang harus berlari ke pegunungan, wajah mereka lelah,
pakaian mereka lusuh, dan jauh di dalam hati mereka trauma.
Trauma
Healing di Tenda Pengungsian
Senin, 01 Oktober 2018
Bertahan
bersama rombongan yang besar ternyata sangat efektif untuk menghilangkan rasa
sedih dan takut diantara kami, saling menjaga, bahu membahu, dan berbagi cerita
tentunya, tim 1000 Guru Sulteng terdiri dari berbagai latar belakang tempat dan
profesi yang berbeda, ka Irfan berbagi kisahnya sebagai dokter gigi di Lalundu,
daerah pedalaman di kabupaten Donggala, sementara ka Deddy menceritakan tentang
kesehariannya bekerja di perusahaan tambang di Kalimantan dengan fasilitas
lengkap, begitupun yang lainnya. Selalu ada topik dari 31 orang yang berada
dibawah atap biru tenda pengungsian, yang bisa diceritakan siang dan malam.
Pagi
ini usai shalat Subuh berjamaah, ka Ian membawa berita bahagia. Semalam ia dan
ka Acil berangkat ke desa Marena, sekitar 31 Kilometer ke arah selatan, dan
mendapatkan jaringan Wifi yang langsung terhubung dengan satelit di kantor desa (informasi ini didapatkan dari warga
Kulawi yang nongkrong di warung), mereka berhasil menghubungi orang-orang yang
ada diluar, termasuk admin 1000 Guru pusat di Jakarta, kabar kami telah
diketahui dan disebar oleh banyak orang dan kami akan segera di evakuasi oleh tim
Basarnas. Hari ini atau besok kami siap meninggalkan Sadaunta.
Siang
hari, atas inisiatif pengurus 1000 Guru Sulteng, kami mengumpulkan anak-anak
yang ada di posko pengungsian, bernyanyi dan bermain bersama, lalu membagikan
paket donasi buku dan alat tulis lainnya sisa dari Toro, mereka semua terlihat
antusias dan senang. Orangtua mereka juga turut senang melihat anaknya mendapat
hadiah dan bisa bermain bersama kami.
Kebun
kakao, tebu, dan durian jatuh
Dua
hari ini kami menghabiskan siang hingga sore berteduh di bawah pohon kakao
warga di tepi sungai. Beberapa menggelar matras, hammock, dan spanduk untuk
alas tidur siang, di kebun ini juga ada pondok, pemiliknya mempersilahkan kami
menggunakan pondoknya, tidak hanya itu beliau juga membolehkan kami untuk
mengambil tebu, pisang, dan beberapa buah yang ada dikebunnya untuk dimakan dan
dengan senang hati (baca: lapar) kami langsung memanfaatkannya. Setelah puas
menghisap tebu, ka Awal, dengan jiwa petualangannya berhasil menemukan durian,
sungguh kenikmatan yang langka bisa makan durian dalam keadaan seperti ini.
Menjelang
sore rasa cemas kembali melanda seiring dengan melambungnya harga BBM (bensin
tembus harga 50.000/liter), tak ada tanda-tanda orang yang datang mengevakuasi
kami, rasa cemas kami terbaca oleh kak Ian, ia segera meminta nomor whatsApp
keluarga kami satu per satu dan berusaha kembali ke desa Marena untuk
menghubungi mereka sebentar malam.
Jika
sesuai jadwal, beberapa diantara kami (termasuk saya) seharusnya sudah terbang besok dari
bandara menuju kota masing-masing. Bisa dipastikan semuanya harus batal.
Tamu
Spesial di Sore Hari
Salah satu kecemasan saya adalah
datangnya malam, bukan hanya karena tak ada listrik dan harus tidur bersempit-sempitan
di tenda pengungsian, malam hari menyimpan trauma tersendiri. Sore itu saya
kembali ke tenda untuk memeriksa barang-barang sekaligus bersiap-siap mandi di
sungai, tiba-tiba ka Tari datang mencari saya,
“Ka
Iksan, ada orang yang nyari kakak,”
“Siapa?”
perasaanku bergejolak,
“Putih
orangnya, pakai behel.” Sambil mengikuti Tari kepala saya masih mencoba menebak.
Dari
kejauhan saya tak percaya, semakin dekat, kak Faried? Saya berlari memeluknya
dengan bahagia, bajunya basah oleh keringat. Bagaimana bisa ia sampai disini?
Terakhir kali saya bertemu dengannya bulan Juli di Manado, dia menemani
rombongan kami ke Tomohon, dan dengan berbaik hati mengantarku ke bandara saat
subuh. Ia tak sendirian, ditemani Lutfi (Gelut) pegawai KPP Pratama Palu yang
juga anggota Stapala, mereka berjalan dari pukul 14.00 hingga tiba di Sadaunta
sekitar pukul 17.30, melewati jurang yang curam, bukit, longsoran, mengikuti
alur sungai. Mereka menjadi tamu spesial bukan hanya untuk saya, tapi buat kami
semua tim 1000 Guru Sulteng. Kedatangan mereka memberikan energi baru untuk
hari esok.
Selamat
tinggal Sadaunta
Selasa, 02 Oktober 2018
Dari
hasil briefing semalam, hari ini kami akan meninggalkan posko pengungsian
Sadaunta menuju desa terakhir yang dapat di akses dari Palu. Estimasi 5 jam
perjalanan melewati rute jurang dengan vegetasi hutan tropis. Kami dibagi
kedalam dua tim, untuk memudahkan pengawasan. Saya berada di tim satu yang dipimpin
oleh ka Faried. Di depan saya ada kak Sukma dan dibelakang ada kak Ima,
merekalah yang harus saya awasi, setiap orang wajib mengawasi orang didepan dan
dibelakangnya.
Sebelum
berangkat kami pamit dengan warga Sadaunta yang telah menerima kami di posko
Pengungsian selama empat hari tiga malam, sebagian barang yang tidak penting
kami tinggalkan di bus, sisa mainan dibagikan kepada anak-anak.
Meskipun
kami melewati jurang dan bukit yang merupakan hutan, tapi banyak orang yang
berlalu lalang, dari Kulawi menuju Palu maupun arah sebaliknya. Medan yang
ekstrim dan rombongan yang besar membuat perjalanan ini lebih lama ditempuh
namun penuh dengan cerita kenangan. Medan yang kami lewati mengingatkanku akan diklat Stapala di Tompusu, walaupun ini
lebih ekstrim.
Terimakasih
banyak untuk semua orang yang mendoakan kami, yang telah menyebarkan informasi
keberadaan kami, yang telah menghubungi orangtua kami, terimakasih terkhusus untuk
pak Didik dan ka Faried, pahlawan kemanusiaan yang berangkat naik Hercules dari
Manado menuju Palu membawa bantuan dan mengevakuasi kami dari Sadaunta,
kecamatan Kulawi, kabupaten Sigi, bersama dengan tim dari KPP Pratama Palu (Mas Lutfi, kak Eko, pak Nius, kak Obet, dan
semuanya).
Kami
tiba di desa Tuva sekitar pukul 14.00 dan dibawah ke Posko pengungsian di desa
Tuva. Disana kami diberi makanan dan beristirahat sejenak sebelum ke Palu. Terimakasih
Tim 1000 Guru, kalian luar biasa, kenangan bersama kalian adalah sebuah perjalanan
dan pelajaran hidup yang berharga.
Foto : Maul/Rifani
Foto : Maul/Rifani
♥️♥️♥️
ReplyDelete👍👍👍👍
ReplyDelete