Cerita Dari Sisi Lain [Gempa, Tsunami dan Likuifaksi di Sulawesi Tengah]






     Kujelaskan di awal: hal yang paling menyakitkan yang saya rasakan dari bencana alam ini adalah ketika saya sendiri kehilangan rasa sakit itu, melihat semua ini di depan mata, yang ada hanya kebingungan, pandangan kosong, diam, dan suatu rasa yang sangat besar di dalam hati yang tak bisa dijelaskan muncul dipermukaan, itulah wujud perasaan paling sedih, tatapan penyintas bencana bagi mereka diluar sana mungkin seperti orang-orang hidup tapi mati asa, entah siapa yang lebih beruntung, mereka yang hilang atau yang tersisa namun kehilangan.
     Semua terasa begitu cepat, saya tiba di Palu, orangtua menjemputku dan membawa kerumah sore itu juga, saya belum sempat pamit ke teman-teman 1000 Guru Sulteng, karena saya diantar terpisah lebih dulu dengan sepeda motor bersama ka Faried.
Pesisir pantai yang kami lewati masih menyisakan bau mayat korban yang belum di evakuasi, hal itu sangat memilukan selain menyaksikan bangunan di pinggir jalan yang dulu kokoh kini hancur di sapu air laut badiri. Tiba dirumah saya langsung memeluk irfan, adik saya yang kini sudah tertidur lelap. Tak henti rasa syukur mengalir dari dalam hati, bisa saja diantara kami yang jadi jasad korban bencana, tapi kami masih diselamatkan oleh-Nya.
     Malam kamis, kami masih menyapa cahaya indah masjid terapung dan jembatan Ponulele IV dari Swiss bel Silae, ternyata itu adalah salam perpisahan terakhir, terutama jembatan Ponulele IV yang kini telah rubuh (dan rangkanya sudah di evakuasi).

     Kehilangan informasi selama lima hari dan kini saya dibanjiri informasi dari televisi yang menayangkan Breaking News gempa dan Tsunami yang terjadi di Palu, Sigi dan Donggala setiap saat (termasuk whatsApp/LINE/DM yang masuk di ponsel, menanyakan kabar? Juga twitter resmi Kantor Pusat DJP memperbaharui informasiku) .
     Irfan Haris (12 thn) bercerita seteleh ia bangun, ketika gempa 7.4 Magnitudo terjadi dia dan santri lainnya berada di masjid besar kompleks pondok pesantren Al-Istiqomah bersiap-siap menunaikan sholat magrib, namun gempa yang datang membuat mereka berhamburan keluar, dia terjatuh saat itu, terinjak-injak dan kakinya meninggalkan bekas biru lebam. Malam yang suram itu para santri habiskan tidur di lapangan terbuka, padahal tak jauh dari tempat mereka,masih di jalan yang sama (Jl. Moh Soeharto), Kelurahan Petobo, 3.5 kilometer ke barat  tanah bergerak dan menggerakkan bangunan, pohon, dan apapun di permukaan. Suatu fenomena mengerikan yang tak pernah saya bayangkan seumur hidup, kini ditayangkan di televisi, likuifaksi namanya, penyebabnya masih sama, gempa 7.4 magnitudo membuat tanah berpasir kehilangan kekuatan, mengakibatkan air tanah naik ke pori-pori, lalu tanah mencair, lumpur keluar dan menenggelamkan perumahan yang ada diatasnya, lebih jauh mengubur hidup-hidup mereka yang belum sempat menyelamatkan diri. Sampai Jumat (5/10/18), ditemukan 5 korban masih hidup dan 81 meninggal dunia di Petobo (sumber BNPB).


     Di tempat lain di Mantikulore, Ikbal Haris (19 thn) berada diluar gedung kampus Universitas Tadulako, kampus yang berada di dataran tinggi dan menempati daerah tandus yang luas, sesaat setelah gempa terjadi ia mendengar bunyi ledakan, dan kebakaran. Ledakan itu disinyalir sebagai bunyi gelombang kedua tsunami yang menghantam bagian bawah, sementara kebakaran terjadi di daerah Balaroa, Palu barat. Ia membantu mengevakuasi mahasiswa baru yang terjebak di aula, setelah gempa reda ia mengantar salah seorang ke rumah sakit Untad yang mengalami asma, namun sesampainya di rumah sakit, ternyata bangunan itu terdampak gempa yang cukup parah, ia membantu dokter mengeluarkan pasien dari dalam rumah sakit. Malam itu ia ikut ke dalam ambulance dan membawa beberapa korban yang ada di dalamnya, salah satunya menghadapi ajal tepat disampingnya.
     Keesokan harinya (29/9/18), pagi-pagi sekali ia kembali ke indekosannya di Jl. Kartini, menyelamatkan barang yang tersisa (termasuk laptop negara dan Surat Tugas yang kusuruh jaga, ini pesan terakhirku), lalu menjemput Irfan, ketika berbelok ke jl. Moh Soeharto, orang-orang mengatakan tidak bisa tembus dan harus mencari alternatif lain, ia heran melihat munculnya bukit disisi jalan itu.
     Setelah berhasil menemui Irfan, ia membawa ke Posko pengungsian swadaya di kampusnya, sore hari itu orangtua kami datang menjemput, saat itu Irfan tertidur pulas di tenda, ia sepanjang hari ketakutan, sementara Ikbal masih berusaha mencari empat teman kelasnya yang hilang di sapu tsunami, hingga kini baru satu ditemukan dalam kantong jenazah, di rumah sakit (hanya dikenali dari jam tangan dan kaos terakhir yang digunakan) dan tiga lainnya masih dinyatakan hilang sampai sekarang.
     Tak kusangka Ikbal yang biasanya lamban bisa bertindak dewasa dan mengharukan, ia meminta ibuku pulang kembali ke rumah membawa Irfan sementara ia akan menungguku hingga pulang, saya sudah menyampaikan kepadanya bahwa minggu malam saya akan tiba kembali di Palu (namun kenyataannya saya baru tiba di Palu Selasa Sore 02/10/18 dan ia masih setia menunggu di Palu dengan wajah yang kumal dan kulit yang paling hitam yang pernah saya lihat).
     Selama menungguku ia turut serta melakukan penjarahan di gudang makananan di Mamboro yang terimbas tsunami, ibuku memberinya uang yang cukup sebelum pulang, namun uang saat itu tidak berlaku, dan dengan cara itulah mereka bisa bertahan hidup, membentuk kelompok kecil, membagi tugas, termasuk mencari sumber makanan, entah mereka mencuri, hanya Tuhan yang tau. Namun, memang diantara orang-orang yang melakukan penjarahan, ada juga yang mengambil barang selain kebutuhan pokok, ada yang menjarah semen, televisi, bahkan membobol ATM.
     Jika membayangkan susahnya hari-hari awal pasca gempa, penantian Ikbal menunggu saya sambil mencari temannya hilang begitu besar dan tulus.
N.B : Ibuku tidak pingsan seperti yang kubayangkan saat mengetahui Palu tsunami di malam itu dengan kenyataan bahwa 3 dari 4 anaknya berada di Palu dan pastinya ditempat yang berbeda, subuhnya ia bertindak cepat, langsung berangkat dan baru bisa menembus Palu sekitar pukul 14.00, ia langsung mencari Irfan di Pesantren, lalu ke indekosan Ikbal, kemudian ke Universitas Tadulako barulah ia bertemu disana. Firasatnya memang kami aman saja, ia sekali-kali mencemaskanku karena menyukai pantai.
Malam senin (30/09/2018) ia baru mendapat kabar bahwa saya selamat dan mengikuti kegiatan 1000 Guru Sulteng dari teman kantor yang mendapatkan informasi keberadaan kami, (sebenarnya Ibu tak kuberi tahu keberadaanku sama sekali dan ini membuat saya begitu menyesal selama di tenda pengungsian di Kulawi). Subuhnya ia kembali berangkat ke Palu dengan menggunakan mobil pick up yang baru beberapa bulan kami beli, mengisinya dengan terpal, tikar, beras sekarung, dan makanan apa saja yang bisa dibawa, ia tidur di tenda pengungsian selama sehari, tak kusangka ia begitu kuat, bahkan melebihi bapak yang lebih sering pasrah, cerita Ibu.

Saya menenangkan diri di rumah selama satu minggu, setiap hari saya menyaksikan breaking news, and it’s really heartbreaking. Barulah setelah itu saya kembali ke Tolitoli.
Satu bulan kini saya di Tolitoli namun hati saya masih di Palu, setiap hari, setiap bangun pagi saya memperbaharui informasi tentang Palu, Sigi, dan Donggala. Hidup tidak lagi kembali sama, meskipun setiap bangun pagi saya bersyukur atas nafas yang masih berhembus, namun saya harus kembali ke Palu, sekali lagi untuk melihat kenyataan yang ada dan berdamai dengannya.

16/11/2018 Saya tiba di Palu. Sorenya saya menuju ke Wani, Donggala. Di lepas pantai Wani lah ditemukan titik longsoran bawah laut yang diduga pemicu tsunami di teluk Palu, di Wani kini terdapat Kapal KM Sabuk Nusantara 39 yang selamanya berlabuh di darat (dibawah tsunami).
17/11/2018 Saya mengunjungi Balaesang, Donggala yang merupakan pusat gempa 7.4 Magnitudo bersama tim 1000 Guru Sulteng membagikan donasi di dua sekolah dasar.
18/11/2018 Pagi itu saya mengunjungi Petobo, dan merasa begitu asing, tempat ini begitu berubah dan susah masuk ke nalar manusia, jika saja kalian mengetahui keaadaan tempat ini sebelum likuifaksi itu terjadi. Siangnya saya mengikuti kegiatan bagi donasi di salah satu TK di Rogo, Dolo Selatan, kabupaten Sigi.
19/11/2018 Saya mengunjungi Balaroa yang amblas hingga 20 meter dan menyusuri pesisir pantai Talise yang terdampak tsunami.

kawan, izinkan saya menyimpulkan perasaan ini, melalui sajak.

------------------------------------------------------------
Bukan ini yang ingin kita lihat,
Bukan ini membuat hati kita tenang,
Tapi ia akan jadi penasehat tanpa perlu berbicara.
Sabuk Nusantara 39 selamanya akan berlabuh di Wani
[Sebagian] Petobo dan Balaroa  kini hilang dan tak lagi sama
Kampung kecilmu yang asri kaya hasil bumi,
Kini hilang berganti jagung dan padi [di Jono Oge dan Sibalaya, Sigi]
Mereka yang kini menjadi asing tak dikenali,
Gugur bersama.

Tapi, kamu sahabatku.
Kamu juga tak akan sama, kini kamu bangkit dari kesedihan dan menjadi kuat

even in the darkest night, sun will rise. -(someone )
------------------------------------------------------------

Comments