Menemukan terumbu karang terakhir di desaku.


Dear Homo sapiens yang kini banyak berbahaya,
Hari ini ada yang mau kusampaikan kepadamu, entah darimana, tapi intinya aku meminta pertolongan.

Awalnya kukira tidak ada lagi harapan, saat itu aku masih seorang anak laki-laki kurus yang duduk di bangku kelas empat SD. Masih jelas terdengar suara bom di laut yang merusak terumbu karang, meninggalkan serpihan-serpihan batu karang putih yang pucat kaku bagai serpihan tulang belulang. Tak kutahu bahwa sesungguhnya ia dulunya adalah taman indah yang diciptakan Tuhan dibawah air, ia yang harusnya berwarna-warni dan berayun mengikuti arus dan sentakan sirip ikan badut, bukan mati kaku, pucat seperti mati terkena serangan jantung.

Masih jelas di ingatan, nelayan-nelayan dari desa seberang yang menangkap sepuluh penyu dengan pukat harimau, siang sepulang sekolah. Kutahu ini semua salah, namun aku tak tahu harus berbuat apa.

Lima belas tahun berlalu, bumi diambang yang sangat memprihatinkan.
Tak terkecuali di Desaku, kebun cokelat yang bisa berdampingan dengan hutan ataupun tanaman lain, kini diganti dengan kebun kelapa sawit, kupikir ini hanya akan kusaksikan di Sumatera, lalu Kalimantan, ternyata kini merambat lebih luas di pulau Sulawesi, tempat dimana nenek moyangku dan aku dilahirkan.

Sejak kelapa sawit menguasai area perkebunan, banyak hal yang berubah, kini tak kulihat lagi Macaca maura (Kera dare sulawesi) bersuara ketika sore. Pohon-pohon besar tempat Alo (Rangkong sulawesi) bersarang dan bertengger di tebang, sehingga mereka harus terusir lebih jauh, jauhnya entah dimana.

Hutan yang hilang juga menghilangkan memori akan misteri dan imajinasi masa kecilku yang begitu liar tentang alam semesta, pemnadangannya kini monoton dan membosankan, kelapa sawit yang berbaris rapi.
Dimanakah keanekaragaman hayati yang kaya disebut pada zaman dahulu kala?
Di dusun sebelah dibangun dermaga yang rencananya untuk mengangkut cangkang sawit, dermaga tersebut dibuat dengan menimbun laut, membuka area yang dulunya ditumbuhi hutan mangrove.

Awalnya aku tak tertarik, karena kerja ditempat yang jauh dan hanya sesekali pulang dalam setahun, aku akhirnya menuruti ajakan adikku untuk berenang di dekat dermaga tersebut. Hal yang sama, bekas-bekas karang terlihat dengan jelas, putih kaku dan menusuk jika di injak.

Namun, beberapa kali berenang dan snorkling di sekitar dermaga yang masih seadanya itu, suatu hari, akhirnya aku menemukannya! Aku menemukannya!

Aku menemukan sekelompok terumbu karang yang masih hidup dan bertahan, tidak terlalu luas, namun mereka bertahan, kupikir semua mereka telah di bom saat kecil dulu. Aku merasa sangat senang menyaksikannya, namun rasa takutku lebih besar, sangat besar. 

Aku takut, bahkan besok ia tidak dapat bertahan? Dermaga ini memang masih sepi dan kapal belum ada yang berlabuh, namun nantinya akan banyak masalah, seperti minyak tumpah. Sekarangpun masalah penimbunan tanah di dermaga itu membuat airnya keruh, belum lagi aktivitas nelayan yang bisa saja menaruh jangkar, bukan kah lebih mudah merusak daripada menjaga, apalagi memperbaiki.

Kini aku telah kembali di perantauan, aku tak tahu apa yang harus kulakukan selain menceritakan hal ini. Tentang terumbu karang terakhir yang ada di desaku.


Desember 2019

Cerita ini masih berlanjut. Bulan Desember 2019 aku kembali mengunjungi rumahku di Kabupaten Pasangkayu, menghabiskan libur panjang dan cuti disini. Agus, (tetanggaku yang kini merantau ke Kalimantan untuk mencari penghidupan yang lebih baik) saat itu bercerita kalau di lepas pantai kami masih ada terumbu karang yang tersisa dibagian selatan dekat hutan mangrove. Tak banyak cakap, besoknya kami langsung memeriksa kebeberapa titik, benar saja, masih ada harapan, walau sebagian diambang kematian. Beberapa karang telah tumbuh dan beberapa dalam kondisi yang memprihatinkan.

Makhluk hidup yang kini mengisi terumbu karang yang telah mati,
dengan latar belakang kantong plastik

Agus dan Kayu, dengan latar belakang hutan mangrove


Koral dalam keadaan sekarat

daun Mangrove yang gugur tampak menguning

Comments