Gagal Sumpah, Pemuda ini niat kawin lari di Bandung

Sekarang semua begitu mudah, apalagi di kota besar, asal tau teknologi kita tidak bisa lagi dibodoh-bodohi supir taksi, tidak perlu kebingungan mau makan apa, kita bisa menentukan destinasi kita sendiri. Sembari jalan kesana kemari menunggu kepastian dari rumah kayu permaculture yang rencana akan kukunjungi untuk mencuri ilmu permakultur, sebuah dering masuk di ponsel.
“Go Food, saya sudah di Braga a,”
“Oke saya kebawah ya mas.” Aroma Nasi kebuli dengan irisan daging kambing yang tebal tercium begitu nikmat, “wah ga bisa mendadak mas.” Permohonan untuk mengunjungi Rumah kayu permaculture di tolak pemiliknya sebab mereka akan berlibur ke Cimahi besoknya, beliau merekomendasikan tempat serupa, ya sudahlah.
Bandung masih dingin di pagi hari, saya siap berlari sebelum lalu lintas padat dan polusi suara dari klakson kendaraan mencekik telinga anak kampung ini, melintasi jalan Asia Afrika yang bersejarah saya akhirnya jadi hapal bangunan-bangunan apa saja disana, mulai dari alun-alun kota Bandung, masjid raya, bangunan peninggalan kolonial seperti museum, bank, hotel, untuk memenuhi 5 Km saya juga melintasi jalan braga dan lorong-lorongnya, setelah selesai saya duduk-duduk santai di salah satu bangku di jalan Braga dan kembali lagi ke de Braga hotel tempat saya menginap untuk sarapan dan santai-santai di kamar.
Rencana hari ini hanya sholat jumat di Masjid Raya Bandung, check-out, ngopi-ngopi santai di jalan Braga, ke Saung Angklung Mang Udjo, balik ambil barang di hotel, ke Lembang.
Pertunjukan angklung akan dimulai setelah sholat Ashar, saya pesan tiket masuknya melalui Xperience Traveloka, ternyata begitu efektif karena saya bisa tau kapan pertunjukan di mulai dan tidak perlu antri lagi. Dengan menggunakan gojek berangkatlah saya ke Saung Udjo, jalanan Bandung sudah terlampau macet, karena tidak terbiasa, kepala saya terasa puyeng. Saya hanya boleh sampai di jalan besar, karena lorong tempat masuk saung Udjo masuk zona merah, dimana gojek bisa babak belur kalau nyelonong membawa penumpang masuk lorong, ada-ada saja yah.
Setelah menunjukkan pemesanan saya melalui aplikasi Traveloka, saya diberi brosur yang berisi serangkaian acara yang akan dipertunjukkan dan kalung angklung dari rotan yang begitu keren. Pertunjukkan berlangsung selama dua jam setengah dan semuanya begitu memukau, waktu terasa begitu cepat berlalu. Mulai perkenalan dari host-nya yang jago menyapa dengan berbagai bahasa, oh ya acara ini dipandu secara bilingual. Acara pertama yaitu Helaran, tradisi Urang Sunda sehabis sunatan anak-anak di arak keliling kampung diatas sebuah permadani yang diangkat orang dewasa dan di ikuti anak-anak yang lain. Lalu ada pertunjukan wayang kulit dan tari topeng, pertunjukan Arumba, Angklung Nusantara yang mempersembahkan tarian dari anak-anak yang gemesin dari Sumatera sampai ke Papua dengan instrumen angklung dan calung.


A post shared by @ whonaski on
Di saung angklung Udjo kami juga diajak untuk memainkan angklung, setiap angklung punya nada yang berbeda, setiap nada-nada dinamai sesuai dengan nama pulau-pulau besar di Indonesia, saya memegang tanda nada maluku.
Belum juga berakhir, setelah itu kami disuguhkan penampilan angklung profesional pemain berbakat dari saung Angklung Udjo yang sudah go International.
Setelah acara selesai saya mampir ke masjid terdekat yang ada di lorong untuk menunaikan sholat magrib, acara sholawatannya memberikan nuansa yang berbeda, remaja-remaja masjidnya juga masih remaja dan mengumandangkan sajakan berisi ajakan untuk menunaikan ibadah sholat magrib.
-->
Selepas sholat saya langsung memesan ojek untuk kembali ke Braga, mengambil barang, jalan braga sudah macet karena tidak jauh dari hotel saya jalan ditutup untuk persiapan festival museum Asia Afrika. Saya langsung memesan taksi online menuju ke Lembang, sepanjang perjalanan saya disuguhkan percakapan politik yang membuat saya kurang nyaman.
Sampai di Lembang udara malam begitu dingin menusuk, saya masuk ke kamar saja lalu memutuskan untuk bersembunyi dibalik selimut.

Keesokan harinya saya berjalan kaki ke floating market yang jaraknya kurang dari 1 km dari penginapan, saya sarapan dengan jajanan pasar terapung yang berada ditengah-tengah danau buatan, banyak pilihan jajanan dan saat itu masih sepi sehingga saya masih bisa menikmati tanpa desak-desakan. 


Saya berkeleliling kebun, kembali ke danau, hingga suasana cukup padat karena hari minggu dan musim libur sekolah saya memutuskan kembali ke penginapan dengan berjalan kaki, sesampai dipenginapan saya masih berleha-leha, sembari bersiap check out, saya memutuskan menuju ke Restoran Kampung Daun yang direkomendasikan TripAdvisor untuk makan siang.
Restoran ini berada di kompleks vila yang sepi dan asri, kampung daun berada paling ujung, restoran berkonsep alam ini benar-benar sejuk dan menenangkan, diantaranya ada suara sungai yang mengalir jernih dengan jembatan yang indah dan pepohonan rindang mengelilinginya, membuat pengunjung ingin makan siang setelah itu langsung tidur siang ditempat.
Belum puas sebenarnya di Lembang, saya terpaksa harus turun ke Bandung karena besok subuh pesawat saya akan berangkat kembali pulang ke perantauan. Dinas solo di Bandung ini cukup berkesan, hanya kemacetan kota yang saya benci, selebihnya kenangan indah yang terlintas.

Disclaimer : Tulisan ini saya dedikasikan untuk peristiwa dimana saya tidak ikut Sumpah PNS karena harus dinas ke Bandung selama tiga hari, dan berakhir solo traveling di akhir pekan.
-->

Comments