Pemandangan dari puncak jalanan di Desa Bou, Kecamatan Sojol, Donggala. |
Gelap malam telah bersekongkol dengan awan lebat untuk menghalau
sinar matahari pagi muncul di balik Fuyul Sojol, kucurigai mereka merencanakan
hujan pagi ini. Kuintip dari jendela memang begitu adanya, bahkan ayam malas berkotek, padahal mimpiku semalam sudah berangkat duluan menjelajahi pesisir pantai hingga menyeberang pulau Taring ditemani matahari tersenyum lebar. Kucoba tawar menawar dengan alam semesta, hasilnya
tak jadi hujan namun mendung tetap mengambang di langit pagi.
Meskipun begitu, radar tualang dalam niatku begitu kuat sehingga apapun cuaca yang dihadirkan hari ini, penjelajahan akan terus dilanjutkan. Kubangunkan 'Kepa' yang basah kuyup dibawah pohon, kupanaskan dan petualangan kami pagi ini resmi dimulai.
Kembali ke aspal, saya mulai mencari jalan menuju pesisir pantainya, kupikir mudah saja. Namun, baru saja dimulai saya dan kepa sudah tersesat di kebun kelapa yang kupikir mengarah kepantai, jalanannya buntu, saya putar balik menuju punggung bukit untuk melihat kembali jalan yang tepat menuju tepian.
Di desa Lenju, setelah Ogoamas II, Sojol Utara terdapat pos jaga TNI Angkatan Laut
Melontobang, uniknya jika ingin saya harus melewati halaman depan mereka untuk mendapat
akses ke tepi pantai, setidaknya itulah jalan pintas menuju pantai tercepat setelah bosan tersesat. Namanya pantai Batu kaje. Untunglah, saya
diperbolehkan lewat dan menikmati pagi yang mendung di dermaga mereka.
Dari dermaga saya berjalan mengikuti garis pantai Batu Kaje menuju
islet, pulau kecil yang baru saja putus dari daratan utama di ujang
mata. Pasirnya begitu lembut bagai berjalan diatas marshmellow. Diatas islet
tersebut berdiri gagah sebatang Pakis yang kesepian, kutemani ia barang
sebentar, karena kami sama-sama sebatang kara, jadi bisalah kami saling
melengkapi barang sebentar.
Kududuk sendiri memandangi pulau Taring yang tidak bisa kugapai,
tidak hari ini. Tidak juga menunggu perahumu berlabuh, sebab kini saya berada di
dermaga yang berbeda, batas antara menikmati dan membuang-buang waktu tidak
lagi penting untuk diperdebatkan disini, duh.
Mari kita bahas isi belantara Fuyul Sojol di timur sana, konon
titik tertinggi ditingkat provinsi se-Sulawesi Tengah itu dihuni oleh salah satu
suku pedalaman yang tidak ingin ditemui, setidaknya begitu. Suku Lauje, sebagian telah memilih hidup di desa, namun sebagian yang tersisa masih menghuni
belantara Sulawesi dan tak mau disentuh oleh kemajuan zaman yang mungkin bagi mereka sarat akan hal tabu dan kepalsuan. Mungkin bagi kita menilai pilihan hidup mereka sebagai suatu
ketertinggalan/kuno, jalan hidup yang sulit, atau inikah pilihan merdeka yang sesungguhnya? Memilih untuk tidak ikut-ikutan dan menyerah menjalani kehidupan yang diwariskan oleh leluhur mereka. Tak bisa
kubayangkan diriku tersesat seorang diri saat mendaki dan bertemu dengan salah seorang yang tiba-tiba muncul dibalik tetumbuhan.
Lamunanku buyar saat seorang kakek mendatangiku di dermaga itu, sedikit basa-basi, tanpa berkenalan ia mulai bercerita tentang masa-masa dimana ia harus mengasingkan diri akibat gerakan-gerakan separatis pasca kemerdekaan Indonesia, lalu berlanjut, ceritanya berpindah tentang dirinya yang telah berkelana sejauh Sojol Utara ini dan tidak pernah tahu nasib ayahnya kini yang berada diseberang pulau, yang kami berdua sama-sama setuju beliau mungkin telah tiada- telah menyatu dengan tanah.
Perihal waktu, sepertinya perlu dipertimbangkan Kembali. Perjalanan masih
panjang dan saya harus pamit kepada kakek ini, sebelum ia mengajak ke pondoknya, menghidangkan teh dan
mengajak sarapan barangkali. Ada baiknya saya kembali ke Lariste, menikmati makanan yang telah mereka sajikan dan melanjutkan perjalanan
ke arah selatan yang harusnya makin mendekati arah rumahku.
Pemilik Lariste sudah menyajikan nasi kuning yang sebenarnya bisa saya
bungkus sisanya untuk makan siang dijalan, namun tidak kulakukan. Hujan rintik-rintik
turun ketika saya sudah siap meninggalkan homestay ini. Ketika hujan berhenti sedikit saja,
langsung kugas Kepa meninggalkan Ogoamas.
Terlepas dari pantai yang alim tak terjamah, berpasir putih dan
memiliki pulau-pulau nan indah, jalan poros di Sojol Utara mengingatkanku akan jalanan menuju desa Pinjan di Tolitoli Utara yang berbatasan dengan Kabupaten Buol. Beauty
in the beast, pemandangan indah dengan jalan yang menyeramkan. Untunglah cuaca diperjalanan cerah, jalanan yang menanjak
dengan jurang menganga disamping kanan yang langsung menghadap keluasnya
lautan. Beberapa alat berat membersihkan jalanan bekas longsor semalam, cukup
ngeri karena longsor terjadi dibeberapa tanjakan dan cukup berbahaya apabila
hujan masih sedang berlangsung. Dijalanan yang ngeri ini, tak ada satupun rumah
singgah atau semacamnya. Hanya hutan, kebun, jurang, dan garis pantai yang
panjang namun tak tersentuh.
Di desa Bou, saya tak tahan untuk tak singgah menikmati indahnya
panorama dari atas jalanan sekaligus tebing yang menghadap kelaut lepas, seekor
elang terbang rendah diatas nyiur, berputar kesana kemari memantau seakan
memberikan isyarat, lihatlah diriku, seperti imajinasi dimasa kecilmu,
bukan? atau andai saja kamu bisa terbang, melihat dengan mata elangku? Hmmm, tak
akan kulupa perjalanan hari ini, belum selesai, namun bisa kupastikan dari
sensasinya, ia juara umum.
Perjalanan kuteruskan, sudah dimana ini? Sojol Utara? Sojol? Ah,
dua kecamatan ini terlalu luas dan berliku-liku, rasa lelah yang hadir untungnya cukup sebanding dengan panorama yang ia tampilkan.
Setelah memasuki kecamatan Dampelas yang khas akan perkebunan
kelapanya yang menjulang tinggi dan berbaris rapi disepanjang jalan, saya
singgah untuk mengisi bahan bakar eceran di kios penduduk setempat. Ritual
mengisi bahan bakar kuakui cukup ribet, karena harus membongkar muatan
dibelakang yang sudah kuikat kuat untuk membuka sadel sepeda motor, dan sialnya lagi saat itu penutup tangki
terjatuh masuk kedalam rangka yang menyebabkan saya dan si penjual bensin
mencari cara untuk menusuk-nusuk dan mengeluarkannya. Seandainya saja Kepa
adalah makhluk hidup, sudah menjerit jerit kesakitan ia kutusuk pakai bambu.
Perjalanan kulanjutkan hingga sampai di Bambarano, disini ada
pantai yang cukup tersohor, katanya sih harus mampir. Saya melipir masuk
kejalan kampung. Terik matahari dan angin
sepoi-sepoi pas untuk sejenak beristirahat dan makan siang, maksudnya makan
cemilan. Entah kenapa pantai ini bagiku biasa saja, beberapa pengunjung rela
berpanas-panasan untuk berswafoto, namun yang sebenarnya cukup mengusik adalah sampah berserakan dimana-mana yang membuatku tidak ingin berlama-lama.
Tidak jauh dari pantai Bambarano, ada Danau Talaga yang akan
kusambangi. Danau yang tak terlalu luas ini menjadi tempat penduduk sekitarnya
menggantungkan hidup, ikan air tawar dan kerang yang mereka sebut tinki cukup
berlimpah, masyarakat juga mencuci dan mandi di tepi sungai. Anginya tak kalah
syahdu dengan angin laut, disana ada beberapa dermaga dengan pondok yang dicat
putih untuk duduk atau sekedar beristirahat.
Beberapa anak kampung sini bersepeda ke kedermaga, kuajak
mereka bicara.
“Disini amankah berenang?”
“Aman.”
“Tidak ada buaya?”
“Buaya ada disebelah sana. Tidak mendekat.”
Heh, gila saja. Namun entah mengapa kuberanikan diri juga untuk
berenang, tepatnya karena bocah-bocah ini berani berenang. Dasarnya dipenuhi tinki
alias kerang laknat yang menusuk kakiku habis-habisan, nyerinya terasa hingga
malam hari. Anak-anak disini, seperti ditempat lain masih dalam masa libur panjang akibat pandemi Covid-19, tidak ingin berlama-lama berenang di danau
yang konon ada buayanya, saya kembali ke pondok, mengganti pakaian, bercerita
lagi dengan bocah-bocah pemberani ini, lalu melanjutkan perjalanan.
If you ever ever ever need a break
I got a house on the lake
We could get out get out get away
I got a house in a little town
On the lake
Lagu The Lake dari Galantis dan Wrabel mengalun lembut
ditelingaku, menemani sepanjang sisa perjalanan hari ini, Danau Talaga cukup
meramaikan hariku yang sebelumnya kontras dengan sepi.
Warna-warni perjalanan hari ini ternyata cukup menguras tenaga, singkat cerita tibalah
saya di Penginapan Sukma di desa tambu, Balaesang. Penginapan yang tampak indah
dari luar tidak menjamin isinya yang suram di dalam-'namun sudah sesuai
hargalah'.
Satu jam terakhir kutemani matahari terbenam, setelah berhari-hari awan bersekongkol dengan langit menghalau sinarnya, kini ia bersinar lagi.
we hope everyone out
there can find a ‘lake’ of their own. Stay safe. Galantis. Rangkaian
perjalanan hari ini adalah air yang mengisi ‘danau’ kedamaianku.
Damai, namun tiba-tiba, mati lampu.
Comments
Post a Comment