Tour de Westcoast Sulawesi - Pelosok (Hari ke-2)

Pemandangan dari puncak jalanan di Desa Bou, Kecamatan Sojol, Donggala. 

Gelap malam telah bersekongkol dengan awan lebat untuk menghalau sinar matahari pagi muncul di balik Fuyul Sojol, kucurigai mereka merencanakan hujan pagi ini. Kuintip dari jendela memang begitu adanya, bahkan ayam malas berkotek, padahal mimpiku semalam sudah berangkat duluan menjelajahi pesisir pantai hingga menyeberang pulau Taring ditemani matahari tersenyum lebar. Kucoba tawar menawar dengan alam semesta, hasilnya tak jadi hujan namun mendung tetap mengambang di langit pagi.

Meskipun begitu, radar tualang dalam niatku begitu kuat sehingga apapun cuaca yang dihadirkan hari ini, penjelajahan akan terus dilanjutkan. Kubangunkan 'Kepa' yang basah kuyup dibawah pohon, kupanaskan dan petualangan kami pagi ini resmi dimulai. 

Kembali ke aspal, saya mulai mencari jalan menuju pesisir pantainya, kupikir mudah saja. Namun, baru saja dimulai saya dan kepa sudah tersesat di kebun kelapa yang kupikir mengarah kepantai, jalanannya buntu, saya putar balik menuju punggung bukit untuk melihat kembali jalan yang tepat menuju tepian.

Di desa Lenju, setelah Ogoamas II, Sojol Utara terdapat pos jaga TNI Angkatan Laut Melontobang, uniknya jika ingin saya harus melewati halaman depan mereka untuk mendapat akses ke tepi pantai, setidaknya itulah jalan pintas menuju pantai tercepat setelah bosan tersesat. Namanya pantai Batu kaje. Untunglah, saya diperbolehkan lewat dan menikmati pagi yang mendung di dermaga mereka.



Dari dermaga saya berjalan mengikuti garis pantai Batu Kaje menuju islet, pulau kecil yang baru saja putus dari daratan utama di ujang mata. Pasirnya begitu lembut bagai berjalan diatas marshmellow. Diatas islet tersebut berdiri gagah sebatang Pakis yang kesepian, kutemani ia barang sebentar, karena kami sama-sama sebatang kara, jadi bisalah kami saling melengkapi barang sebentar.




    Namun airnya yang beriak tenang memantulkan arwah leluhur yang berbisik, nenek moyangmu seorang pelaut, kemarilah! ia memanggilku untuk menyentuh dasarnya, dengan terpesona saya menuruti intuisi itu. Tidak ada yang bisa kulihat selain biru samarnya laut, dasarnya yang berpasir putih dan beberapa ikan yang malas berangkat ke sekolah, kurangnya cahaya matahari membuatku tak ingin berlama-lama di dalam air, saya kembali ke dermaga kosong ditengah bibir pantai yang pucat dan tentunya juga kosong.

Kududuk sendiri memandangi pulau Taring yang tidak bisa kugapai, tidak hari ini. Tidak juga menunggu perahumu berlabuh, sebab kini saya berada di dermaga yang berbeda, batas antara menikmati dan membuang-buang waktu tidak lagi penting untuk diperdebatkan disini, duh.

Mari kita bahas isi belantara Fuyul Sojol di timur sana, konon titik tertinggi ditingkat provinsi se-Sulawesi Tengah itu dihuni oleh salah satu suku pedalaman yang tidak ingin ditemui, setidaknya begitu. Suku Lauje, sebagian telah memilih hidup di desa, namun sebagian yang tersisa masih menghuni belantara Sulawesi dan tak mau disentuh oleh kemajuan zaman yang mungkin bagi mereka sarat akan hal tabu dan kepalsuan. Mungkin bagi kita menilai pilihan hidup mereka sebagai suatu ketertinggalan/kuno, jalan hidup yang sulit, atau inikah pilihan merdeka yang sesungguhnya? Memilih untuk tidak ikut-ikutan dan menyerah menjalani kehidupan yang diwariskan oleh leluhur mereka. Tak bisa kubayangkan diriku tersesat seorang diri saat mendaki dan bertemu dengan salah seorang yang tiba-tiba muncul dibalik tetumbuhan.

 Lamunanku buyar saat seorang kakek mendatangiku di dermaga itu, sedikit basa-basi, tanpa berkenalan ia mulai bercerita tentang masa-masa dimana ia harus mengasingkan diri akibat gerakan-gerakan separatis pasca kemerdekaan Indonesia, lalu berlanjut, ceritanya berpindah tentang dirinya yang telah berkelana sejauh Sojol Utara ini dan tidak pernah tahu nasib ayahnya kini yang berada diseberang pulau, yang kami berdua sama-sama setuju beliau mungkin telah tiada- telah menyatu dengan tanah.

Perihal waktu, sepertinya perlu dipertimbangkan Kembali. Perjalanan masih panjang dan saya harus pamit kepada kakek ini, sebelum ia mengajak ke pondoknya, menghidangkan teh dan mengajak sarapan barangkali. Ada baiknya saya kembali ke Lariste, menikmati makanan yang telah mereka sajikan dan melanjutkan perjalanan ke arah selatan yang harusnya makin mendekati arah rumahku.

Pemilik Lariste sudah menyajikan nasi kuning yang sebenarnya bisa saya bungkus sisanya untuk makan siang dijalan, namun tidak kulakukan. Hujan rintik-rintik turun ketika saya sudah siap meninggalkan homestay ini. Ketika hujan berhenti sedikit saja, langsung kugas Kepa meninggalkan Ogoamas.

Terlepas dari pantai yang alim tak terjamah, berpasir putih dan memiliki pulau-pulau nan indah, jalan poros di Sojol Utara mengingatkanku akan jalanan menuju desa Pinjan di Tolitoli Utara yang berbatasan dengan Kabupaten Buol. Beauty in the beast, pemandangan indah dengan jalan yang menyeramkan. Untunglah cuaca diperjalanan cerah, jalanan yang menanjak dengan jurang menganga disamping kanan yang langsung menghadap keluasnya lautan. Beberapa alat berat membersihkan jalanan bekas longsor semalam, cukup ngeri karena longsor terjadi dibeberapa tanjakan dan cukup berbahaya apabila hujan masih sedang berlangsung. Dijalanan yang ngeri ini, tak ada satupun rumah singgah atau semacamnya. Hanya hutan, kebun, jurang, dan garis pantai yang panjang namun tak tersentuh.

Di desa Bou, saya tak tahan untuk tak singgah menikmati indahnya panorama dari atas jalanan sekaligus tebing yang menghadap kelaut lepas, seekor elang terbang rendah diatas nyiur, berputar kesana kemari memantau seakan memberikan isyarat, lihatlah diriku, seperti imajinasi dimasa kecilmu, bukan? atau andai saja kamu bisa terbang, melihat dengan mata elangku?  Hmmm,  tak akan kulupa perjalanan hari ini, belum selesai, namun bisa kupastikan dari sensasinya, ia juara umum.

Perjalanan kuteruskan, sudah dimana ini? Sojol Utara? Sojol? Ah, dua kecamatan ini terlalu luas dan berliku-liku, rasa lelah yang hadir untungnya cukup sebanding dengan panorama yang ia tampilkan.

Setelah memasuki kecamatan Dampelas yang khas akan perkebunan kelapanya yang menjulang tinggi dan berbaris rapi disepanjang jalan, saya singgah untuk mengisi bahan bakar eceran di kios penduduk setempat. Ritual mengisi bahan bakar kuakui cukup ribet, karena harus membongkar muatan dibelakang yang sudah kuikat kuat untuk membuka sadel sepeda motor, dan sialnya lagi saat itu penutup tangki terjatuh masuk kedalam rangka yang menyebabkan saya dan si penjual bensin mencari cara untuk menusuk-nusuk dan mengeluarkannya. Seandainya saja Kepa adalah makhluk hidup, sudah menjerit jerit kesakitan ia kutusuk pakai bambu.

Perjalanan kulanjutkan hingga sampai di Bambarano, disini ada pantai yang cukup tersohor, katanya sih harus mampir. Saya melipir masuk kejalan kampung. Terik  matahari dan angin sepoi-sepoi pas untuk sejenak beristirahat dan makan siang, maksudnya makan cemilan. Entah kenapa pantai ini bagiku biasa saja, beberapa pengunjung rela berpanas-panasan untuk berswafoto, namun yang sebenarnya cukup mengusik adalah sampah berserakan dimana-mana yang membuatku tidak ingin berlama-lama.

Tidak jauh dari pantai Bambarano, ada Danau Talaga yang akan kusambangi. Danau yang tak terlalu luas ini menjadi tempat penduduk sekitarnya menggantungkan hidup, ikan air tawar dan kerang yang mereka sebut tinki cukup berlimpah, masyarakat juga mencuci dan mandi di tepi sungai. Anginya tak kalah syahdu dengan angin laut, disana ada beberapa dermaga dengan pondok yang dicat putih untuk duduk atau sekedar beristirahat.

Beberapa anak kampung sini bersepeda ke kedermaga, kuajak mereka bicara.

“Disini amankah berenang?”

“Aman.”

“Tidak ada buaya?”

“Buaya ada disebelah sana. Tidak mendekat.”

Heh, gila saja. Namun entah mengapa kuberanikan diri juga untuk berenang, tepatnya karena bocah-bocah ini berani berenang. Dasarnya dipenuhi tinki alias kerang laknat yang menusuk kakiku habis-habisan, nyerinya terasa hingga malam hari. Anak-anak disini, seperti ditempat lain masih dalam masa libur panjang akibat pandemi Covid-19, tidak ingin berlama-lama berenang di danau yang konon ada buayanya, saya kembali ke pondok, mengganti pakaian, bercerita lagi dengan bocah-bocah pemberani ini, lalu melanjutkan perjalanan. 

If you ever ever ever need a break

I got a house on the lake

We could get out get out get away

I got a house in a little town

On the lake

Lagu The Lake dari Galantis dan Wrabel mengalun lembut ditelingaku, menemani sepanjang sisa perjalanan hari ini, Danau Talaga cukup meramaikan hariku yang sebelumnya kontras dengan sepi.

Warna-warni perjalanan hari ini ternyata cukup menguras tenaga, singkat cerita tibalah saya di Penginapan Sukma di desa tambu, Balaesang. Penginapan yang tampak indah dari luar tidak menjamin isinya yang suram di dalam-'namun sudah sesuai hargalah'.

Satu jam terakhir kutemani matahari terbenam, setelah berhari-hari awan bersekongkol dengan langit menghalau sinarnya, kini ia bersinar lagi. 

we hope everyone out there can find a ‘lake’ of their own. Stay safe. Galantis. Rangkaian perjalanan hari ini adalah air yang mengisi ‘danau’ kedamaianku.

Damai, namun tiba-tiba, mati lampu.

Comments