Skip to main content

Tour de Westcoast Sulawesi - Prolog

 

Kepa, diparkir di persawahan di kecamatan Basidondo

Terkadang, keberanian muncul setelah kita dipaksa menghadapi keadaan tertentu, sesuatu yang diluar kehendak kita atau boleh jadi berlawanan dengan apa yang kita rencanakan. Keadaan yang memunculkan keberanian untuk mengatur kembali apa yang menjadi prioritas dan apa yang hanya membuang waktu belaka.

Setelah berbulan-bulan akses keluar-masuk daerah dibatasi, kita yang terjebak di perantauan melalui bulan Ramadhan dengan sepi tanpa kehangatan sanak saudara, tiada bersama melakukan jenis ibadah apapun yang biasanya dilakukan berjamaah kini harus dilakukan sendiri dari rumah atau dalam hal ini-keadaanku di indekosan, ditutup dengan ibadah sholat idul fitri terbatas yang numpang di salah satu keluarga yang berbaik hati dipagi itu. Tak kusangka kita semua bisa bertahan sejauh ini.

Didalam ruang terbatas dengan cat putih itu saya mengintip dunia melalui salah satu channel youtube kesukaanku yang bernama “Itchy boots” Nona Belanda bernama Noraly yang keliling dunia seorang diri dengan motornya membelah jalanan benua asia hingga eropa dan dilanjutkan ke Amerika Selatan. Setiap hari diantarnya saya melalui kota-kota di berbagai negara, sebuah rutinitas sebelum berbuka puasa.

Traveling tentunya hal yang sangat saya senangi dari dulu, namun karena keterbatasan waktu, gaya bertualang dengan sepeda motor tidak bisa saya lakukan dengan jarak yang terlalu jauh apalagi secara berkesinambungan, namun karena pandemi yang melanda dan penerbangan yang cukup terbatas dengan berbagai persyaratan administrasi yang ruwet, saya mendapatkan sebuah ilham.

Kenapa harus berkelana jauh melewatkan apa yang ada diantaranya, kenapa tidak kita jelajahi saja apa yang ada di‘antara itu’?

Bulan demi bulan berlalu, setelah kami diizinkan kerja dari rumah beneran bukan indekosan (Work from Homebase/ WFHb) selama dua minggu, saya memutuskan untuk pulang kerumah setelah tujuh bulan yang terasa panjang, dengan gaya solo touring, terinspirasi dari Itchy Boots, maka sore hari hujan deras itu kubuat peta perjalanan pulang kerumah sejauh kurang lebih 654 KM melewati pantai Barat Sulawesi dengan menggunakan ‘Kepa’ sepeda motor tua yang kupunyai ini, petualangan ini kuberi nama Tour de Westcoast Sulawesi. Sesuatu yang tidak berani saya lakukan sendirian dari dulu, namun pandemi yang membosankan ini membangunkanku, kalau ada kesempatan kenapa tidak dilakukan?

 

Prolog – Tour de Westcoast Sulawesi

Jujur, diantara hal-hal nekat yang kulakukan, ini adalah salah satunya. Musim hujan belum juga berlalu, beberapa rekan kerja mulai mencemaskan rencana gaya kepulanganku dengan memberi nasehat-nasehat, mengingat jalanan yang akan kulewati bisa saja sewaktu-waktu longsor. Berbagai perlengkapan telah kupersiapkan, termasuk rencana titik dimana yang akan kusinggahi serta kujelajahi. Kepa telah kurawat, segala keluhannya yang biasanya kuabaikan kini kupenuhi, mengingat ia akan bekerja keras mebawaku berkelana sejauh 654 Km dengan rute yang jarang kulalui.

Cuaca pagi berpihak padaku, untungnya, lagi pula cuaca di kota Tolitoli di pagi hari mayoritas cerah lalu diikuti hujan menjelang siang hingga sore hari. Olehnya saya putuskan untuk bergegas sedini mungkin, meninggalkan kota Tolitoli ketika ibu-ibu baru memasak sarapan untuk anaknya, matahari telah mengusir kabut pagi di desa Pangi meski dinginnya masih terasa. 

Membelah jalan di kecamatan Lampasio dengan rawa-rawa disisinya mengingatkanku akan lahan gambut yang kaya nutrisi dan tentu saja kaya ular dan biawak, sungai-sungai berair cokelat cukup menakutkan, konon tempat para buaya bersembunyi, arusnya pun lumayan deras. Suasana perkampungan yang renggang dan jalanan yang cukup sepi dari kendaraan lainnya, seperti biasa.

Rawa-rawa di Lampasio

Tiba di kilometer Empat kecamatan Dondo, kita akan diberi pilihan dua jalur dengan tujuan yang sama-Kota Palu, melewati pantai timur di Kabupaten Parigi Moutong atau meneruskan perjalanan menuju Dampal Selatan lalu memasuki pantai Barat kabupaten Donggala, saya memilih yang kedua.

Pantai Barat Donggala konon mulai ditinggalkan para musafir yang dipimpin oleh supir rental dari Tolitoli sejak akses menuju pantai timur yang membelah pegunungan Tinombala kini layak dilewati. Pantai timur dinilai hemat jarak sejauh 80 Km, jalanan lurus dan cenderung mulus serta tidak berkelok-kelok seperti pantai barat yang mengikuti lekukan alam selat makassar. Meskipun begitu, pantai barat memiliki garis pantai yang tak kalah indah dan masih jarang dikunjungi oleh orang luar, rupanya yang menarik serta jarang dilirik orang luar karena jauh terpencil menjadi magnet tersendiri buatku.

Jalanan yang kulewati selalu renggang, jauh dari kata macet. Menjelang siang hari terik matahari memaksaku untuk memarkir Kepa di dekat sebuah lapangan persis di pinggir pantai desa Tinabogan. Kunikmati cemilan yang sudah kupersiapkan sedari kemarin. Sambil menikmati angin pantai yang berhembus sepoi-sepoi, saya tersadar bahwa masih setengah perjalanan dari target 181 Km hari ini, tampaknya Kepa juga mengeluh kepanasan.

Tanpa diawali mendung hujan mulai turun, namun matahari tetap bersinar terik. Kata orangtua di kampung, hujan  saat matahari terik adalah tangisan orang yang telah meninggal, entahlah. Saya memarkir Kepa didepan sebuah gubuk kosong dan mulai memakai jas hujan, perjalanan tetap dilanjutkan. Pohon kelapa mulai mendominasi sisi kiri dan kanan jalanan menggantikan sawah dan rawa seperti di Lampasio, di kampung-kampung masyarakat mulai mengumpulkan kopra yang mereka keringkan dan asap-asap mulai mengepul ditengah perkebunan kelapa.

Kesunyian di sepanjang jalanan

Hujan di terik matahari mulai berganti menjadi hujan mendung dengan langit gelap, padahal hari siang bolong. Musim hujan nyatanya masih berlanjut dibulan Juli.  Tiba di Dampal Utara, ada beberapa danau tanpa nama yang tidak jauh dari pinggir jalanan yang akan saya sambangi berkat Google Maps, saya berniat untuk bertandang barang sebentar karena rasa penasaran, hujan turun semakin deras, ada jalanan yang tidak meyakinkan menuju danau yang sepertinya baru di buka, kuberanikan diri dan Kepa menuruti, lagi-lagi karena merasa mumpung atau kapan lagi. Danau kecil misterius itu kini terpampang di depanku, sebenarnya masih ada danau yang lebih besar lagi tidak jauh dari sini, namun karena hujan yang makin menjadi-jadi dan jalanannya yang becek dan penuh dengan kotoran sapi, maka kuputuskan untuk Kembali ke jalan utama.

Danau tanpa nama di Dampal Utara

Semakin jauh roda Kepa berputar, semakin asing perkampungan yang kumasuki. Sisa hari kulalui dengan langit mendung dan hujan, di daerah Ogotua debit hujan yang deras membuat jalanan dialiri banjir. Perutku mulai lapar dan rumah-rumah tutup karena angin kencang. Dalam hujan, basah, dan lapar kulanjutkan sisa perjalanan menuju Dampal Selatan dengan kecepatan rendah. Suara burung gagak yang terbang mengikutiku dan Alok, hei kapan terakhir kali kita berjumpa? menjadi pengganti musik dalam perjalanan yang panjang, setidaknya bagi pemula sepertiku.

Senang rasanya melihat keramaian hadir di Bangkir, setidaknya warung-warung dan penginapan buka dan hujan mulai berhenti, kusinggahi warung pecel di pinggir jalan sebelum melanjutkan perjalanan beberapa kilometer lagi melewati batas antara kabupaten Tolitoli dan Donggala.

Fuyul Sojol, Titik tertinggi Provinsi Sulawesi Tengah dari Bangkir, Dampal Selatan tampak tertutup awan

Perkebunan kelapa dan Empang, Dampal Selatan

 Saya kini berada di Desa Ogoamas, kalau dipikir-pikir betapa jauhnya desa ini dari ibukota kabupaten Donggala di Banawa sana, 317 Kilometer, untungnya secara kemandirian, fasilitas desa ini cukup lengkap dengan pemandangan alam yang indah dan pantai berpasir putih dengan beberapa pulau mengapung dilautannya.

Saya menginap di Lariste Homestay yang bersih dan nyaman, penginapan ini menghadap ke Fuyul Sojol yang gagah, titik tertinggi di Sulawesi Tengah dan salah satu puncak tersulit untuk ditapaki, bukan, saya memang tidak berniat untuk mendaki. Lariste Homestay menjadi bunga perjalanan hari ini, homestay yang keren yang kudapati kebetulan diluar rencana karena penginapan yang sudah kurencanakan tempo hari untuk menginap pemiliknya tak kunjung muncul saat kuberi salam padahal pintunya terbuka. Malah kudapati Homestay yang asri di desa antah berantah yang jauh ini.

Kugelar matras dan kukeluarkan pakaian dari dalam tas, sialnya, raincoat dari tas punggung yang kugunakan ternyata tidak bisa menghalau rembesan air masuk, pakaianku nyaris basah semua, sial oh sial, salah satu ranjang dikamar ini langsung berubah jadi tempat penjemuran pakaian darurat, sayangnya.



Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi