Pinjan memang dikenal jauh, memiliki pantai-pantai asli nan eksotik, dan salah satu tempat habitan asli burung maleo
yang menjadi ikon Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Burung Maleo berstatus langkah
dan terancam punah di dalam IUCN Red List yang berarti jika kamu jalan-jalan ke
Sulawesi Tengah maka hampir tak ada kemungkinan dirimu akan bertemu burung
maleo saat berkendara sepeda motor di jalan-jalan kampung, yang ada kamu hanya
bertemu sapi, kambing, dan sesekali biawak.
Libur panjang disaat pandemi berarti menghabiskan waktu di tanah rantau, terutama bagi rekan yang memiliki kampung halaman di
tanah Jawa atau Sumatera, kami yang tetap tinggal di Tolitoli memilih menghabiskan
waktu itu untuk menjelajahi bagian Tolitoli yang masih kurang dijelajah.
Burung Maleo adalah salah satu satwa
yang paling ingin kujumpai langsung di alam, imajinasiku bertemu di alam liar
akan menjadi kenyataan setelah kami mengunjungi Suaka Margasatwa Tanjung Matop
yang ada di Pinjan. Tak kusia-siakan libur panjang selama empat hari bersama
rekan kantorku, Josua dan Ikrar.
Setelah perlengkapan dan logistik
telah lengkap, kami berangkat dari indekosanku di jalan Malatuang menuju utara
Tolitoli selama tiga jam, eh lebih deh, karena kami harus putar balik mengitari
jalan di puncak Ogomoli disebabkan adanya sweeping oleh pihak kepolisian
di jalan utama dan STNK motorku masih tersimpan dikampung halaman.
Kami yang berangkat siang, harus
memelankan laju kendaraan karena hujan yang turun di Dako Pamean dan jalanan
yang kami lewati memang berliku-liku, terutama di bagian Teluk jaya yang meliuk seperti
ular tanpa ujung. Tak mengapa, memang sejatinya perjalanan ini harus kami
nikmati prosesnya.
Mereka menamainya Warung Puncak,
karena berada di puncak bukit jalanan pembelokan tanpa sinyal dan persis ditengah
hutan, warung ini penyambung hidup bagi para musafir yang lalu lalang dari
kota Tolitoli menuju Buol atau
sebaliknya, desa Pinjan sudah dekat, hari sudah sore dan angin terasa sejuk, kami memutuskan untuk
singgah di warung puncak makan mie instan dengan sebutir telur, selow.
Tiba di Desa Pinjan, kami langsung mengisi galon yang kosong dan mencari rumah kepala desa untuk mendapatkan informasi lebih lanjut menuju Suaka Margasatwa Tanjung Matop. Dirumah kepala desa, kami bertemu istri beliau lalu mengarahkan kami ke rumah pak Kiplan yang mengelolah Suaka Margasatwa Tanjung Matop. Rumah panggung sederhana itu berdiri diatas daerah pasang surut air rob laut. Singkat cerita, kami mendapatkan sekilas informasi tentang burung Maleo, tahun ini pihak suaka margasatwa berhasil menetaskan 907 butir telur burung Maleo, sebuah kabar baik dari dunia konservasi.
Kami berangkat menuju Tanjung Matop
dengan menggunakan perahu katinting, hari kini sudah mulai gelap. Matahari terbenam
menyisahkan noda merah dilangit bersama pulau pinjan sebagai latar belakang dan
perahu nelayan yang sedang mencari ikan sebagai lukisan utamanya. Menuju ke
Tanjung Matop hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki menyisir pantai
berpasir putih yang eksotik ketika air surut atau menggunakan perahu ketinting
seperti kami saat ini selama dua puluh menit .
Kami baru tiba di Tanjung Matop saat hari sudah benar-benar gelap. Ombak cukup besar dan saya harus berjalan menuju rumah konservasi sambil mengangkat galon yang masih penuh. Selain kami bertiga, malam ini pak Kiplan, pak Mansyur, dan Irfan dari resort Suaka Margasatwa Tanjung Matop turut menemani kami.
Nama lengkapnya Mansyur Yasong, ia
tak ingat persis tahun berapa ia lahir. Namanya sudah saya kenal sejak mencari
informasi tentang Suaka Margasatwa Tanjung Matop yang terbatas, ia disebutkan
disalah satu situs berita lingkungan atas dedikasinya dalam pelestarian burung
Maleo. Hampir seluruh hidupnya tercurahkan
untuk melindungi satwa endemik Sulawesi ini. Pak Kiplan, putranya yang kini meneruskan tugas mulia ini mengingat usia Pak Mansyur terbilang sudah uzur,
walaupun begitu ia masih banyak belajar dari ayahnya.
“Burung Maleo yang telah dilepaskan
masih jinak sama pak Mansyur, setiap kali beliau ke Tanjung Matop selalu
menggunakan baju yang sama dan tidak dicuci, aromanya akan dikenali oleh Maleo.”
Cerita pak Kiplan.
Malam ini mereka semangat bercerita—dari
topik yang paling dekat : burung Maleo dan penyu, hingga ke politik, sosial,
dan ekonomi. Lagi pula hanya itu yang bisa dilakukan, tidak ada listrik, pondok
yang dibangun cukup baru dan tidak memiliki sumber energi seperti panel surya, tidak
ada jaringan internet, namun itulah sebenarnya yang kami butuhkan. Menjernihkan
pikiran dari seluruh arus informasi yang begitu cepat.
Yang paling mengherankan dari semua
itu adalah : TIDAK ADA NYAMUK. Saya hanya mengenakan celana pendek dan tak
satupun nyamuk menggingit, padahal kami berada persis di tengah hutan lebat, di
pinggir pantai yang jauh dari pemukiman penduduk. Tak ada si vampire menyebalkan, entahlah, untungnya.
Kami membuat mie instan, sosis dan minuman teh tarik, sementara pak Kiplan
menanak nasi dengan menggunakan kayu bakar, sejujurnya persediaan air tawar
untuk mencuci piring terbatas. Sehabis makan kami mendirikan tenda dipinggir
pantai, walaupun sebenarnya tidur di pondok sangat memungkinkan dan lebih nyaman,
namun tidak sesuai imajinasi kami dari awal.
Lewat dini hari, ombak di pantai terdengar
begitu dekat dan menakutkan, ditambah rintik-rintik dan paling mengerikan
adalah suara petir, namun bukan itu yang kucemaskan, jika besok hujan bagaimana
caranya mengamati burung Maleo yang bertelur di alam, lagi pula kata pak Mansyur musim
bertelurnya sudah lewat, mereka ke pinggir pantai hanya untuk bertelur, namun siapa
tahu masih ada, semoga beruntung.
Pukul 03.00 dini hari kucoba
mengintip diluar, sebuah pemandangan yang tak kutemui ditempat lain terpampang
di lautan, ada banyak cahaya bergerak kesana kemari di dalam air, apa itu?
Rupanya, remaja-remaja di Pinjan dan Salumpaga ahli dalam memanah ikan dan hal
itu mereka lakukan di malam hari. Kami terbangun lagi sekitar pukul lima karena
angin kencang yang nyaris menerbangkan tenda.
“Ada satu yang menetas.” Sahutku
melihat kandang penetasan semi alami yang semalam kosong kini dihuni oleh seekor
burung Maleo yang berhasil keluar dari dalam pasir yang hangat, telur mereka dipindahkan
dari dalam pasir pinggir pantai ke kandang penetasan semi alami yang memiliki
atap untuk menghindari dari predator seperti biawak dan tikus.
Anakan Maleo yang sudah dilepasliarkan
sejatinya mandiri : sudah bisa terbang dan mencari makan sendiri, namun mereka
masih sering beterbangan dan menghampiri pondok dan sekitaran kandang penetasan
semi alami mereka, menunggu pak Mansyur memberi makan. Anak Maleo diberi makan
kemiri dan kelapa.
“Ini lihat, satu anak Maleo mati dimangsa
tikus, kandangnya ternyata ada yang bocor, seandainya kami diberi dana lebih untuk memperbaiki.”
Sahut pak Mansyur memperlihatkan kepadaku anak maleo yang telah tercabik-cabik,
ia memerintahkan Irfan untuk menguburnya di pasir.
Dari sorot mata dan caranya berbicara,
juga dari apa yang saya saksikan, Suaka Margasatwa Tanjung Matop memang masih minim
fasilitas dan perhatian dari pihak yang terkait, padahal dari segi
keberhasilan, Populasi burung Maleo di Tanjung Matop terus bertambah dan paling
berhasil di habitat aslinya (in situ). Gaji yang terbilang kecil, bahkan pengeluaran makanan berupa kelapa
dan kemiri bisa saja lebih besar. Jika bukan karena cinta, tentu pak Mansyur akan
berpaling ke profesi yang lain.
Meski begitu, ada kebanggaan tersirat dari
kisah hidupnya, pada 5 Juni 2004, saat Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Mansur
Yasong menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden RI saat itu, Megawati
Soekarno Putri di Jakarta, itulah kali pertama pak Mansyur naik pesawat dan pergi
jauh.
***
“Itu, bisa terlihat di kamera?”
“Iya, bisa. Ada empat ekor.” Untung saja
Jalu meminjamkan kamera mirrorless-nya dengan lensa jarak jauh yang cukup mumpuni. Hampir setengah jam saya
menunduk mengamati mereka dan memainkan kamera yang sejujurnya kutak ahli juga
cara mengaturnya, terasa seperti kameramen National Geograpic, saya harus
berbaring, merayap dan berdiam. Namun sensasinya begitu memuaskan, akhirnya saya
bisa bertemu dengan ikon Sulawesi Tengah di alam, selain ia langka, kejadian
ini juga langka untukku.
Kembali ke pondok saya dengan semangat melaporkan ke pak Mansyur bahwa kami bertemu dengan Maleo yang bertelur di pasir, beruntung kan? Ikrar dan Josua sudah bangun, pak Mansyur mengajak kami untuk bersama-sama melepas anak Maleo kealam liar di pantai, masing-masing memegang satu ekor.
Setelah itu Ikrar yang memang hobi memasak
dan Josua yang hobi memprotes makanannya membuat sarapan dan teh panas. Setelah
kami kenyang –eh tidak juga deh, kami meminta Irfan untuk memandu kedalam hutan
suaka margasatwa untuk melihat jejak Anoa atau Babirusa. Kami menemukan kubangan
entah jejak babi hutan atau babirusa, tapi kami bertemu dengan jejak itu.
Keluar dari hutan, tampak pak Mansyur
telah menggali lubang tempat Maleo bertelur dan berhasil menemukan dua butir
telur, ukuran telurnya tidak terlalu besar –namun tetap saja jauh lebih besar
dari telur ayam, tiga atau empat kali lipat. Kami menyentuhnya dengan hati-hati.
Selanjutnya telur itu kami bawa kekandang penetasan semi permanen, pak Mansyur
menggali lubang sedalam 60-70 cm dan saya memasukkan telurnya, semoga 60 hari
dia akan menetas,
“Beri dia nama Naski,” ucapku ke pak
Mansyur, dibalas senyum olehnya yang memperlihatkan sisa gigi yang tak seberapa.
Perjalanan menuju Tanjung Matop menjadi penutup kisah petualanganku di Kabupaten Tolitoli, sebuah tempat yang selalu di hati, walau suatu hari ia akan terus berubah, kisah kami akan tetap abadi di ingatan.
Comments
Post a Comment