Sebut saja dia Bulan, yang muncul
belakangan dipikiranku, entah kedatangannya disudut kepala menantang atau malah
mengganggu. Namun dia yang
kutunggu-tunggu cepat berlalu malah terasa menahun, ironi pikiran yang
menciptakan neraka di dalam surga atau surga di dalam neraka. Jika ada yang
bisa menggambarkan perasaanku saat ini, kupikir kata yang paling mendekat
adalah mati rasa.
Mati rasa dengan
pekerjaan, makanan dan candaan. Hingga kawan-kawan menegur, ”Senyumlah san.”
saya hanya bisa membalas dengan senyuman tipis sekejap. Keadaan ini diperparah
dengan cuti tahunan yang bakal hangus
atau terpakai sia-sia saja (tak bisa digunakan sesuai keinginan). Lucunya tetap
saja kupaksaan untuk mengajukan cuti, di-formulir cuti tahunan yang kuajukan itu
kutulis alamat cuti-Raha II-Pulau Muna, Sulawesi Tenggara (Sulawesi Tenggara merupakan provinsi terakhir di pulau Sulawesi yang belum pernah kukunjungi)-Urusan
keluarga (padahal tak punya kerabat seorangpun)-seminggu. Keinginan ini didorong setelah
saya melihat di instagram reels, danau kecil berwarna biru bening
dikelilingi pepohonan hijau yang sangat alami dengan pemuda setempat melompat bebas ke danau,
setelah kucek di google maps bukan hanya satu danau di lokasinya namun ada empat! What
an amazing place! Tapi balik lagi tentunya cuti saya kali ini tidak disetujui dengan
pertimbangan yang masuk akal.
Hari berganti hari. Bulan tidak sepenuhnya pergi, namun proyek besar yang membuatku tak bisa cuti keluar kota sudah hampir tuntas dan tak banyak yang harus dipusingkan. Keinginanku untuk mengunjungi pulau Muna makin mantap setelah diam-diam kuriset pulau karst ditenggara pulau Sulawesi itu.
Jadi diakhir Februari
tahun 2022 kuputuskan untuk membeli tiket pesawat pulang-pergi dari Palu menuju
Raha, kota terbesar di Pulau Muna selama
delapan hari.
***
1. TIDAK SEMUDAH ITU LA ODE.
Raha, 26 Februari 2022
Pulau Muna dan Pulau Buton |
Pulau Muna (not an hypocrite island) adalah pulau karst yang mengambang di tenggara Sulawesi,
bak saudara kembar dari pulau Buton mereka duduk bersebelahan bersama di laut
lepas. Pulau ini seumpama spons besar yang memiliki banyak rongga-rongga, di
rongga karst tersebut terkumpul sumber mata air jernih berwarna biru, bag oasis mata air
itu kini dimanfaatkan oleh beberapa desa di pulau Muna sebagai sumber mata air bersih yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Masjid Agung Al-Munajad, kota Raha berada dipinggir pantai membelakangi pulau Buton |
Pulau Muna dapat
dikunjungi dengan menggunakan pesawat ATR dari Makassar dengan jarak tempuh
selama satu jam, kita akan mendarat di Bandar udara Sugimanuru yang terletak di
Kosambi, Kabupaten Muna Barat. Bagi yang baru pertama kali mendarat di bandara
ini akan merasakan sensasi antah berantah sebab letak bandara yang berada diperkampungan
sepi dikelilingi hutan kayu jati. Jarak menuju kota Raha masih 23 Kilometer
atau tiga puluh menit perjalanan darat melewati jalanan aspal sempit. Untungnya
ada rental mobil dari bandara menuju kota Raha.
Saya tiba di kota Raha
pukul 11.30 dan menginap di hotel Alia (lebih cocok disebut penginapan melati),
suhu kota Raha kurang lebih sama dengan Palu di siang hari -panas menyengat,
saat itu kamarnya belum siap dan menunggu untuk dibersihkan. Sembari menunggu
kamar siap, saya berinisiatif mencari sepeda motor yang bisa disewa. Kupikir
mudah saja, pasti banyak tukang ojek yang mau motornya disewa (berdasarkan
pengalaman solo traveling sebelumnya).
Ojek motor merupakan moda transportasi umum di kota Raha,
kita cukup berdiri bego di pinggir jalan tak lama mereka akan mendekat. Benar
saja, kurang dari tiga menit tukang ojek menghampiriku dan menanyakan hendak kemana, lalu
secara singkat dan mungkin 'kurang jelas' tapi intinya kukatakan jika saya ingin ke
pangkalan ojek untuk memberi kabar baik kepada mereka kalau
sepeda motornya ingin kusewa selama seminggu dan om-nya cukup tidur manis saja
dirumah, tentunya mereka pasti berebutan namun yang punya motor terbaiklah yang akan jadi pemenangnya.
Tukang ojek bersamaku bukanlah yang terbaik, motornya
sudah tua pikirku. Diantarnya saya ke Rumah Sakit, loh kok pak, ternyata disana ada beberapa
tukang ojek mangkal dan sayangnya mereka tak ada yang bersedia menyewakan sepeda motor. Mari kita ketempat
mangkal yang lebih ramai.
Pangkalan ojek selanjutnya berada dipertigaan dekat
SMP, disana sudah mangkal empat tukang ojek menunggu calon penumpang, kedatanganku
harusnya membawa kabar gembira, mereka tidak perlu jadi tukang ojek untuk
seminggu kedepan dan mungkin bisa roleplay jadi bapak-bapak senja yang duduk di teras rumah sambil menghirup aroma kopi. Dihadapan
mereka berempat kujelaskan kembali maksud dan tujuanku, namun raut wajahnya tak
kunjung menunjukkan ketertarikan. Ojek 1 beralasan ia memiliki anak yang
bersekolah dan harus diantar setiap hari ke sekolah, masuk akal. Ojek 2 memilik langganan
tetap yang tak mungkin ia hianati, takutnya berpaling, hmmm masuk akal. Ojek 3 masih berpikir panjang namun ujung-ujungnya
tak berani, kuyakinkan ia dengan menunjukkan segala identitas yang ada di
dompetku termasuk ID Card pegawai hingga foto dan e-tiket pesawat. Ojek
4 mulai berpikir-pikir, kunaikkan tarif sewanya, dia akhirnya tergiur.
Oke tukang ojek 4 setuju, namun ia harus memberitahu
istrinya terlebih dahulu. Diboncengnya lah saya menuju ke rumahnya yang berjarak sekitar 5 km di
sebuah desa di pinggiran kota Raha, di rumah panggung tua dan sederhana duduk kakak, istri,
bapak dan ibunya membentuk lingkaran. Ojek 4 menjelaskan maksud dan tujuanku dibawah kerumah
mereka. Saya memasang mode anak polos duduk bersilah, mereka satu per satu menanyaiku mulai dari
asal muasal, pekerjaan, hingga melakukan konfirmasi maksud dan tujuanku, dari
raut wajah mereka sepertinya tidak menaruh kepercayaan kepadaku, demi
meyakinkan mereka saya rela STNK Sepeda motorku di dompet dan ID Card pegawai mereka tahan. Namun setelah mereka berdiskusi alot
dalam bahasa lokal Muna, diputuskan secara kekeluargaan : TIDAK.
Bagai disambar gledek saya keluar dari rumah kayu itu, Ojek 4 yang merasa tidak enak kepadaku berjanji akan mencoba mencarikan
sepeda motor yang bisa disewa, dibawah terik sinar matahari kami berkeliling
menanyai tukang ojek satu per satu namun mereka semuanya kompak tidak tertarik,
usahaku selanjutnya dengan mendatangi tempat rental mobil namun tak ada sepeda
motor yang bisa mereka rentalkan. Siang yang panas menyengat membuatku memutuskan
untuk kembali ke penginapan, dan sialnya kamarku belum juga siap padahal sudah
pukul 14.30.
Sembari menunggu kuceritakan kepada salah satu petugas
kebersihan bernama Erni yang kebetulan sedang mengepel di lobi (ini lebih ke curcol) betapa susahnya mencari sepeda motor yang bisa dirental
di pulau ini, dia setuju dengan pernyataanku dan entah mengapa dia menawarkan
sepeda motornya, satria pink, yang diparkir tak jauh dari lobi penginapan, motornya masih sangat mulus, kutawarkan harga terbaik.
“Tapi nanti sore ya mas saya kabari lagi,” katanya
diakhir pembicaraan. Tentu saya sangat menaruh harap pada tawaran satu-satunya,
kamar saya kini sudah siap dan kuputuskan untuk beristirahat.
Hari beranjak sore saat saya terbangun. Kutagih janji Erni, ku-whatsapp-tapi tidak
dibalas, kutelpon tapi tak diangkat. Perasaanku mulai tidak enak, saya beranjak
keluar kamar dan mencarinya, ketemu di dapur, dia tersenyum seraya
berkata. “Maaf Mas e, yang punya motor
sudah datang besok pagi, jadi tidak bisa,” HAH-Jadi dia ternyata ingin
menyewakan motor pinjamannya.
Bisa kupastikan kalau Itenirary di hari pertama gagal total, rencana menyewa sepeda motor yang menjadi syarat utama menjelejahi pulau Muna masih terpantau suram.
Saat solo traveling seperti ini otak kita dipaksa untuk
berpikir cepat mencari opsi lain, masih ada waktu tersisa sebelum hari gelap, kuputar akal dengan
meminjam sebentar motor satria si Erni dengan pilihan terakhir yang sedikit
memalukan, meminjam sepeda motor di KP2KP Raha (masih satu naungan instansi) yang tak kukenal pegawainya satupun, namun lagi, keberuntungan masih belum
berpihak kepadaku, ketika berada disana kantornya sedang kosong karena hari libur. Aduh betapa jauhnya
kenyataan dari rencana, apakah ini bagian dari perjalanan yang harus kuterima
dan kunikmati prosesnya dengan apa adanya?
Sungguh saya hanya bisa pasrah seraya berdoa, besok yang
tak pasti kuserahkan takdirnya pada Tuhan, meski tak bisa membayangkan betapa kacaunya rencana liburan yang telah kupersiapkan jauh hari jika terperangkap di kota kecil ini.
Matahari sudah berada diatas horison ufuk barat, saat
kembali ke penginapan entah mengapa saya ingin mencoba sekali lagi menanyakan
ketempat rental mobil yang siang tadi tutup kini buka.
“Disini adanya rental mobil saja dek,”
“Oh begitu e, makasih,” tutupku tidak bersemangat. “Eh
tapi adik saya biasa minjamin motornya untuk di sewa orang luar [pulau], tunggu
saya telpon dulu,”
Singkat cerita akhirnya kami bertemu dibundaran depan usaha rental mobil itu dan berdiskusi, sepeda motornya sebenarnya tergolong butut dan tua, namun saya tak punya pilihan lain. Meskipun begitu kelihatannya dia juga tak begitu bersemangat untuk menyewakan sepeda motornya.
Kenapa orang Muna sulit mempercayai orang luar[pulau]? Usut punya usut ternyata pencurian sepeda motor marak disini – diperparah pernah ada kasus orang luar [pulau] melakukan penipuan ingin menyewa sepeda motor malah dibawah kabur keluar pulau, orang Muna (atau lebih dikenal dengan sebutan To Wuna) tak semudah itu percaya dengan orang baru yang belum dikenal datang kepulau mereka, "Tidak semudah itu ya La Ode," celetuk seorang ibu yang tiba-tiba ikut nimbrung dipembicaraan kami. Ngomong-ngomong, akhirnya dia sepakat untuk menyewakan motor bututnya yang kuberi nama si Kupor yang akan diantarkan ke penginapanku pagi-pagi sekali.
Hotel Alia (lebih cocok disebut penginapan) |
***
2. MENUJU DANAU UBUR-UBUR LOHIA DAN GOA LIANGKOBORI
Setelah diserahkannya kunci si Kupor dan helm nelangsanya
di pagi hari, akhirnya petualangan mengelilingi pulau Muna resmi dimulai.
Tujuan saya pertama yaitu mengunjungi Pantai Napabale dan danau ubur-ubur
lohia. Danau berair jernih berwarna biru toska ini terbilang sepi di akhir
pekan, padahal danau Napabale menjadi ikon parawisata Kabupaten Muna yang kaya
akan sumber mata air, yah sepertinya parawisata belum sepenuhnya pulih dari pandemi.
Tujuan utama saya hari ini adalah mengunjungi danau ubur-ubur Lohia yang hanya bisa ditempuh dengan naik katinting [perahu kayu] melewati terowongan karang yang menghubungkan danau Napabale dengan laut lepas, namun saya masih menunggu barangkali ada pengunjung lain yang hendak kesana untuk menghemat biaya. Namun sepertinya tidak ada, daripada buang-buang waktu saya memutuskan untuk menuju destinasi lain disekitar Napabale, untungnya, ketika berada di tempat parkir baru tiba sekelompok traveler dari Jakarta [yang sebetulnya saya sudah notice di bandara] hendak ke danau ubur-ubur Lohia, dengan percaya diri saya meminta ikut dirombongan mereka dan tak ada yang keberatan.
Danau ubur-ubur Lohia |
Kami menaiki katinting
dan berusaha melewati terowongan gelap, namun karena air masih pasang dan
katintingnya mentok dengan karang (padahal kami semua sudah dalam kondisi merayap) sehingga
harus mundur pelan-pelan dan mencoba opsi kedua, yaitu dengan cara berlabuh
diseberang danau dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju ke pantai
disebelahnya dan dilanjutkan lagi dengan menaiki kano kayu tua yang ajaibnya bisa menampung
kami berenam walaupun kalau goyang sedikit bisa jungkir balik.
Setelah kano menepi
perjalanan dilanjutkan dengan mendaki empat undukan bukit karang yang lumayan tajam serta ditutupi oleh hutan yang tinggi kurus, kami menghabiskan waktu sekitar 45
menit berjalan sebelum tiba di danau ubur-ubur Lohia, tak menunggu lama kami berenang
untuk bertemu dengan ubur-ubur yang tak menyengat itu, namun sayangnya entah
karena hari sudah kesiangan sehingga ubur-ubur bersembunyi di dasar danau
ataukah memang belum musimnya, kami hanya bertemu dengan beberapa saja.
Dari danau ubur-ubur Lohia perjalanan kulanjutkan ke Goa Motonuno yang merupakan sumber air dari danau Motonuno yang bening berwarna biru, ini adalah Underwater Cave pertamaku di Pulau Muna, pulau yang dijuluki negeri 1000 Underwater cave, berarti masih ada 999 lagi hehe.
Danau Motonuno menjadi
tempat mencuci masyarakat sekitarnya, saat saya tiba disana ibu-ibu dan
anak-anak lagi mencuci pakaian beramai-ramai. Untuk mencapai goa Motonuno kita
hanya perlu berjalan sedikit kebagian atas, karena pepohonan disekitarnya
dibiarkan tumbuh lebat maka cahaya yang masuk sangat terbatas memberi kesan
angker terhadap Goa [ditambah hanya diriku seorang] yang memiliki lorong-lorong
dibawah tanah dan airnya begitu dingin berwarna biru tua, uniknya pepohonan
yang berada diatap goa memanjangkan akar tunggangnya yang begitu besar hingga
kesumber air.
Dari Goa Motonuno, masih bersama si Kupor, motor butut yang rangkanya bunyi-bunyi di aspal, perjalanan kulanjutkan menuju Goa yang menyimpan sejarah dan diyakini sebagai asal mula manusia pertama penghuni pulau Muna. Terletak di pedalaman bukit karst di desa tenun Masalili, komplek Goa Liangkobori [berarti goa tulis] menyimpan lukisan prasejarah yang cukup kompleks dan informatif. Gambar-gambar pada dinding goa bercerita tentang jalan hidup manusia dimasa silam, mulai dari zaman berburu hingga bercocok tanam. Goa ini ternyata masih digunakan sebagai sumber air bagi beberapa rumah yang terletak didekat kompleks, sebab air tanah sulit maka tetesan dari atap goa yang tak ada henti-hentinya dikumpulkan untuk digunakan mandi dan mencuci.
Diantara banyaknya lukisan yang bercerita tentang perburuan hewan, yang paling terkenal adalah lukisan sederhana yang menunjukkan seseorang bermain layang-layang yang diprediksi dari 4000 tahun lalu dan bisa jadi bukti kalau layang-layang tertua berasal dari Pulau Muna, sayangnya lukisan.
Kagathi (layang-layang
tradisional) dari pulau Muna masih bisa dijumpai hingga saat ini, layang-layang
ini terbilang unik karena kertas
layangan yang biasanya kita gunakan terbuat dari kertas minyak namun di pulau Muna
menggunakan daun kolope yang telah dikeringkan dan dijahit dengan serat
tumbuhan. Beruntung sekembalinya saya dari Goa Liangkobori dan memutuskan untuk
mencari penginapan lain, di hostel Permatasari tempat saya menginap terdapat pajangan
Kagathi di ruang tamu.
***
3. BIRU SEBENING KACA, DANAU MOKO!
Setelah mencari sarapan yang belum pas di lidah, saya
meneruskan perjalanan 68 Kilometer
menuju ke danau Moko, jaraknya tidak terlalu jauh namun kondisi Kupor didukung
dengan jalanan yang berlubang-lubang membuat rangka plastiknya berbunyi berisik
seakan meminta untuk dilepaskan saja.
Setelah berada di desa Wakuru kita dipandu oleh Google maps belok kiri menuju jalanan offroad yang sebenarnya begitu mengasyikkan dengan dikelilingi hutan jati dan semak belukar yang hijau serta bergelombang, namun sayangnya tidak untuk Kupor yang sudah uzur. Suhu hari ini begitu panas menyengat, sebentar lagi saya sampai di danau Moko namun jalannya makin parah dan batu-batunya makin besar sehingga harus pelan-pelan.
Akhirnya Danau Moko II (Urutan ke-2 di google maps, btw
sinyal disini masih aman) terpampang di depan mata, bagaikan iris mata berwarna biru terang dikelilingi hutan
belantara tanpa seorang pengunjung kecuali saya seorang. Tak sabar saya turun
dari Kupor yang sudah mengeluh untuk istirahat, namun, kok, kuncinya copot,
saya kebingungan untuk mematikan, untungnya kunci sepeda motor saya bawa dan
ternyata bisa digunakan di si tua Kupor. Waktunya menikmati danau Moko II
seorang diri. Air danau Moko yang jernih terasa payau namun begitu dingin, di
danau ini juga hidup berbagai jenis Ikan laut yang terperangkap, dan kalau
beruntung ada penyu juga, namun saat itu saya belum bertemu.
Danau Moko merupakan tempat yang begitu istimewa, di pulau karang yang berlubang-lubang ini danau Moko merupakan salah satu dari bagian sistem underwater cave yang terhubung ke laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut. Danau biru jernih yang belum banyak dikenal ini bukan hanya satu tapi ada empat titik (belakangan kutau kalau ada 5 titik ditambah 1 goa berdasarkan pengamatan di google maps), Qué lugar tan increíble, verdad. Saat ini, saya menjelajahi danau Moko I dan Moko II seorang diri (danau ke-tiga dan ke-empat dipenuhi semak belukar dan tak tahu jalan, sehingga saat itu saya rasa cukup mengingat hari yang panas dan perjalanan masih jauh).
Tidak jauh dari danau Moko, terdapat pantai Walengkabola
dengan pasir putih dan pantai yang tenang, langit tanpa awan dan siang ini
terasa begitu menyengat hingga kita bisa memandangi pulau Buton diseberang
sana, saya sudah tak tahan lagi, kuputuskan untuk singgah di gazebo pinggir
pantai untuk tidur sejenak menghindari panas siang yang membakar, Kupor kuparkir
dibawah pohon kelapa. Sambil tidur-tiduran dengan wajah kututupi kain bagai
ninja, saya kembali memikirkan perjalanan gila dengan si tua Kupor, walau
kurang layak tapi hanya dialah yang bersedia menemani petualanganku seorang
diri tanpa kenalan dan kerabat di Pulau Muna.
Peta persebaran danau Moko |
Setelah kurasa cukup, perjalanan kulanjutkan menuju
Lombe, kecamatan Gu di kabupaten Buton Tengah. Bangke-nya, jalanan yang
direkomendasikan google maps adalah jalanan lama yang sebenarnya sudah tidak
layak dan jarang dilewati. Jalannya berlubang, berlumpur dan sudah ditumbuhi
semak belukar tanpa ada pemukiman walaupun secara jarak lebih dekat namun
memakan banyak waktu dan tenaga. Jarak 16 Km kutempuh dengan waktu satu jam.
Tiba di Lombe, Gu saya langsung mencari makan siang dan beristirahat.
***
4. BUTON TENGAH
NEGERI SERIBU UNDERWATER CAVE!
Hari ke-empat kuhabiskan dengan mengeksplore beberapa goa
yang berada di sisi selatan kecamatan Gu, tepatnya di desa Wadiabero. Goa yang
paling terkenal adalah goa Bidadari, goa ini berada ditengah karst tandus
dipenuhi semak belukar yang kering dan cukup jauh dari perkampungan warga, dan
karena ini weekday maka tidak ada pengunjung yang lain selain diriku.
Sejujurnya, untuk explore goa lumayan mengerikan jika tak ada orang yang menemani,
namun kali ini kuberanikan diri memasuki goa bidadari. Masuk seorang diri kedalam
goa yang tak terlalu dalam, terdapat lubang diatasnya sehingga jika waktunya
tepat akan masuk cahaya kedalam goa, didalamnya juga terdapat kolam berair
jernih yang terhubung kedalam underwater cave atau sungai bawah tanah, airnya
berwarna biru, sangat jernih, tawar dan dingin. Sekali lagi, kucoba untuk
memberanikan diri berenang ke dalam airnya yang sepi, dengan bermodalkan senter
ditangan saya tidak berani berlama-lama di dalam air.
Setalah puas berada di Goa Bidadari saya kembali ke
perkampungan dan menyempatkan singgah di Permandian La Humbe, Permandian ini
juga bagian dari underwater cave dan kini dimanfaatkan bagi warga untuk mencuci
baju yang sayangnya walaupun airnya jernih tapi banyak sampah plastik. Dari
permandian La Humbe saya diberitahu nenek yang lagi mencuci kalau ada lagi
permandian satu lagi di Wadiabero, letaknya hanya beberapa gang dari La Humbe.
Namanya Permandian
Kadai Ula, permandian ini berada di dalam tanah milik warga sehingga pemiliknya
mengelolah langsung, wah… serasa punya kolam pribadi. Selain itu permandian ini
juga tampak lebih bersih, saat saya sedang asyik berenang beberapa remaja dan
anak-anak ikut berenang di Kadai Ula. Kelas mereka hari ini sudah selesai,
waktunya berenang di air yang dingin. Salah satu dari mereka juga jago
freediving, selam bebas kebawah dengan kedalaman 7 meter. Beberapa menggunakan
kacamata renang tradisional yang rangkanya terbuat dari kayu, karena penasaran
saya langsung bertanya kepada mereka siapa yang membuatkan kacamatanya.
Ternyata tak jauh dari Kadai Ula, ada penjual kacamata tradisional, harganya
hanya 15rb per kacamata, kita bisa langsung ukur langsung.
Dengan penuh penasaran dan antusias kuminta anak-anak ini
untuk mengantarkanku ke tempat pembuatan kacamata renang tradisional, dan
akhirnya saya bisa langsung melihat proses pembuatan kacamata renang kayu
tradisional. Rangka kacamatanya terbuat dari kayu kakalekale, tali kacamatanya
dari bekas karet ban dalam sepeda motor, kacamata ini ternyata aslinya dibuat
dan dijual ke pengepul yang menggantarkannya ke Bau-bau, di Wadiabero pemuda
ini adalah satu-satunya pengrajin kacamata renang tradisional, kusempatkan
untuk membeli 2 kacamata tradisional ini setelah mengukur-ukur. Setelah
mendapatkan kacamata yang pas, saya beristirahat di masjid dan makan siang di
warung yang ternyata hidden gem, menunya enak sekali, baru kali ini ada
makanan yang bukan hanya pas tapi enak di lidahku.
***
5. SIAPA SANGKA DI MAWASANGKA!
Hari ke-lima, saya memutuskan untuk beristirahat sejenak di penginapan dari pagi hingga siang hari. Solo traveling selama empat hari cukup melelahkan, terutama jika harus butuh ekstra keberanian untuk menjelajahi tempat baru dan ekstra sabar dengan Kupor yang tak bisa melaju di jalan aspal mulus sekalipun, oh iya, jalanan di Buton tengah lebih mulus daripada Kabupaten Muna.
Setengah dari pulau sudah kujelajahi. Pulau Muna meliputi tiga kabupaten yaitu kabupaten Muna, Kabupaten Muna Barat (hasil pemekaran kab. Muna) dan kabupaten Buton Tengah. Setelah cukup beristirahat, perjalanan kulanjutkan menuju bagian barat pulau tepatnya di Kecamatan Mawasangka, kab. Buton Tengah. Di perjalanan saya menyempatkan singgah dan berenang di Pantai dan Goa Maobu, air goanya berwarna biru pepsi dan begitu transparan.
Baju basah, bungkus, lanjut. Tak terhitung setiap hari
saya harus menjemur pakaian di penginapan. Ada satu destinasi yang tak boleh
dilewatkan, yaitu Wisata Geopark Goa Koo, goa ini cukup besar dan kita harus
berjalan menuju kebawah melewati tangga yang terjal, didalamnya terdapat mata
air yang terlihat dari atas seperti paru-paru manusia, goa Koo ini bagaikan
oasis bagi masyarakat sekitar karena menjadi sumber air bersih yang dialirkan
kerumah warga melalui mesin sehingga pengunjung yang datang tidak boleh
berenang, mandi dan mencuci di goa Koo. Dari atas goa menetes air yang membuat
goa Koo seperti gerimis abadi.
Saya menghabiskan dua hari di Mawasangka, menginap di
penginapan sederhana yang pemiliknya membuka Warmindo yang kuklaim terenak
se-Pulau Muna, dua hari itu juga asupan giziku dibentuk dari micin.
Hari Jumat pagi-pagi sekali saya kembali ke kota Raha,
mencari tempat antigen agar bisa terbang kembali keluar dari Pulau Muna, What
an amazing sponge island with thousands of underwater cave.
Comments
Post a Comment