Skip to main content

Berlayar ke Teluk Tomini, Berkeliling di Taman Nasional Kepulauan Togean

Senin libur Waisak! Kata salah satu teman kantor di meja kerja kami yang panjang menghadap ke ufuk timur, sinar matahari masih menembus dari sela-sela jendela dan pintu kaca kantor yang lebar sebelum kami hendak membuka loket pelayanan hari ini. Betapa istimewanya ini bulan, banyak libur dan cuti bersama! Gumamku dalam hati, ditambah pemerintah berbaik hati telah membiarkan warga negaranya mudik dan merayakan lebaran di kampung halaman.

              Kutatap kearah jalanan, dibalik rumah-rumah, pasar dan jalanan kurasakan hembusan angin teluk tomini yang tenang, kututup kedua bola mataku lalu membayangkan airnya yang hangat dan terumbu karangnya yang tersohor indah, jauh dibalik ufuk horison terhampar sekitar 60 pulau yang disebut Taman Nasional Kepulauan Togean. Sudah waktunya, bisik spirit yang menghuni salah satu pulaunya!

              Togean dan saya sebetulnya tidak berjodoh sejak beberapa tahun terakhir, dimulai dari 2017 saat saya mulai melakukan riset menuju pulau-pulau di Togean, dari Wakai, Kadidiri hingga pulau Papan. Dua kali open trip saya gagal karena kekurangan peserta, diakhir tahun 2020 rekan kantor mengajak berlibur ke Togean namun posisi saya sudah cuti dirumah dan tak direstui orang tua untuk kembali, terakhir di akhir tahun 2021 saya kembali diajak salah satu rekan yang akan membagikan sedekah di Pulau Papan, saya langsung menyetujuinya dan dengan gercep mengajukan cuti keatasan dan disetujui, namun beberapa hari sebelum keberangkatan, salah satu leader trip malah keracunan makanan, what a random accident!

              Iseng saja saya mencari info open trip di Instagram dan pas, @togeanjourney lagi buka open trip tanggal 14-16 Mei 2022. Kupastikan dulu ini bukan penipuan, setelah yakin saya menanyakan rencana perjalanan hingga penginapan, sengaja saya menunda-nunda membayar DP karena agak trauma dengan open trip sebelumnya yang batal karena kekurangan peserta. Kali ini pesertanya hanya tiga orang termasuk saya, lagi kupastikan mereka bukan suami-istri atau pasangan, jangan sampai petualangan ke togean malah menjadi obat nyamuk atau remeh-remeh rengginang diantara dua sejoli yang kasmaran.

"Nggak mas, dua-duanya perempuan." Gumam mas Helmi, yang punya trip. GAS! Jawabku.

Bau-bau semesta mendukungku sudah tercium, hari kamis dari info seorang teman dengan mudah kuhubungi agen travel mobil menuju Ampana. Saya tiba di kota Ampana, Kabupaten Tojo Una-Una pukul 04.00 dini hari setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 6 jam. Pelabuhan masih gelap dan tidak ada siapa-siapa disana, untungnya sejam kemudian seorang petugas yang hendak sholat subuh membukakan pintu ruang tunggu sehingga saya bisa memanfaatkan untuk ibadah, bersih-bersih, bahkan berbaring meluruskan badan dikursi tunggu.

Beberapa masyarakat lokal mulai berdatangan untuk menaruh barang dagangannya yang hendak dijual di pulau seberang. Konon kabarnya loket tiket Speedboad Hercules buka pukul 08.00, masih dua jam lagi. Saya kembali tidur-tiduran, hingga seorang wanita paruh baya duduk dibelakang dengan backpacknya sembari merokok, ah bisa kupastikan dia peloncong. Kuberanikan diri bertanya,  benar saja dia juga hendak liburan ke Togean selama musim libur waisak.

Kami sama-sama menunggu loket Hercules buka, karena dengar-dengar hanya bisa memuat 20 orang saja jadi harus cepat-cepatan. Ketika seorang karyawan memasuki loketnya buru-buru saya adalah orang pertama merapat, "Maaf kapal sudah di charter!" sahutnya acuh tak acuh. Sontak saya merasa panik, sebab tak kuketahui angkutan cadangan menuju pulau Wakai. Kuhubungi mas Helmi namun tidak terhubung, mungkin dia sudah berada di pulau Kadidiri.

Menurut informasi kapal selanjutnya yang berangkat dari Ampana menuju Wakai adalah Mamburabura, waktu tempuh perjalanan sekitar 3-4 jam dan berangkat pukul 11.00 WITA. Kapal Mamburabura tidak hanya mengangkut manusia, namun barang-barang dagangan hingga sepeda motor.

Setelah tiba di pelabuhan Wakai cuaca mendadak mendung, anak-anak berebutan menawarkan makanan dibungkus mika di jalan-jalan dermaga dan ibu-ibu duduk dipinggir menjual durian lokal togean. Buah durian pulau Wakai relatif kecil jika dibandingkan dengan durian lokal di daratan utama pulau Sulawesi. Kuucapkan perpisahan dengan Nadya, dia dijemput tour guidenya semantara saya mencari om Sainal yang akan mengantarkanku ke pulau Kadidiri.

”Mana barang yang tidak boleh basah?” Tanya om Sainal saat saya menaiki speedboatnya, hanya kami berdua, kuberikan tas pakaianku.

              Benar saja, belum berapa lama speedboat melaju, hembusan ombak, hujan deras, kabut dan angin kencam berkolaborasi menghantam kapal kami hingga seluruh badan saya basah kuyup, ombak yang tinggi membuatku merasa takut, ”Pelan-pelan saja om.” ucapku pucat. Namun om Sainal tersenyum memberi sinyal aman sembari terus melaju.

              Akhirnya saya bisa merasa tenang setelah dua puluh menit perjalanan kami merapat ke dermaga Paradise resort. Hujan masih deras disertai semburan kilat. Kami menunggu di dive center-nya. ”Itu tadi masih level menengah.” Kata om Sainal tanpa rasa bersalah telah membuatku berdoa seraya mengingat dosa-dosa yang masih menumpuk.

              Setelah hujan agak reda, saya berjalan menuju Black Marlin resort dengan menenteng tas dan bertelanjang dada dibawah gerimis. Disana saya bertemu mas Helmi yang sedang tertidur menungguku. Waktu menunjukkan pukul 14.10 saya segera bilas dan setelahnya makan siang. Karena hujan masih juga belum reda, sepertinya itenirary hari ini adalah tidur sore.

              Saya terbangun ketika hari sudah gelap total. Keluar dari kamar, saya melihat mas Helmi berkumpul dengan dua peserta open tripnya, yang setelah berkenalan bernama Rara dan Arina. Saya juga berkenalan dengan Fahri atau yang lebih akrab disapa Ai, seorang dive instructor yang bekerja di Black Marlin resort. Ada satu rombongan dari Gorontalo yang juga menginap di Black Marlin resort, setelah berkenalan di meja makan, mereka adalah Dedy, Rian dan Diah. Suasana malam tanpa sinyal internet membuat kami berkumpul di meja panjang saling bertukar cerita dan pengetahuan, tidak lama kami sudah seperti orang yang kenal lama. Bahkan ketika lampu telah dipadamkan pukul 23.00, kami masih berkumpul ditemani sinar lampu handphone seadanya, bercerita tentang biota laur sampai cerita lucu tante yang menjadi joki perjalanan Rian menuju Kadadiri yang kami juluki tante bajak laut. waktu berlalu, satu per satu kami pamit undur diri menuju kamar masing-masing, besok petualangan akan dimulai.

              Saya terbangun oleh suara Tokke dan serangga-serangga dibelakang tebing resort, yang lain mungkin masih tertidur. Saat matahari mulai muncul, saya sempatkan jalan-jalan keliling Black Marlin dan ke dermaga Paradise resort disebelah, meskipun beda pemilik, tapi pengunjung bebas saja berkunjung di dua tempat ini, sepertinya pemiliknya sudah bersahabat di pulau yang sepi tanpa signal. Dari dermaga paradise terlihat air yang begitu jernih hingga terumbu karang dan ikan-ikan beranekaragam bermain kejar-kejaran, kuakui keanekaragaman hayati di Kepulauan Togean tercermin dari pantai resort ini yang begitu kaya.

              Dari kejauhan speedboat mendekat, mereka melambaikan tangan. Mbak Rara ditemani Ai dan nahkodanya kembali dari sunrise diving dan terlihat sumringah bertemu dengan hiu. Wah, dari sini niatku untuk mengambil lisensi diving jadi berapi-rapi, setelah mendengar cerita dari Mbak Rara betapa serunya sunrise diving dan betapa bagusnya visibility air laut togean dipagi hari.

              Setelah sarapan, perjalanan kami resmi dimulai. Destinasi pertama pulau Papan. Perjalanan dari Kadidiri memakan waktu dua setengah jam, diperjalanan kami bertemu dengan nelayan tradisional yang sedang memancing ikan, uniknya kepala mereka masuk mengintip kedalam air sehingga membuat perahu kayunya miring. Yah, mereka tidak menggunakan alat sensor modern, mengambil secukupnya sehingga keberlangsungan ekosistem tetap melimpah.

              Pulau papan dihuni mayoritas suku Bajo, pulau gersang berbatu ini bag jangkar bagi rumah-rumah penduduk yang berdiri diatas air, ada jembatan panjang sekitar 1 km yang menghubungkan pulau Papan dengan pulau utama--Malenge, sayangnya karena dimakan waktu dan cuaca jembatannya kini terputus dibeberapa titik,  setelah menuju puncak pulau yang tak seberapa tinggi ditemani anak-anak pulau yang senang dengan kedatangan pengunjung, kami lalu menuju jembatan panjang. Sebagian teman-teman asyik berfoto-foto diatas jembatan, namun karena tak tahan melihat terumbu karang berbentuk kipas berwarna-warni dibeningnya air dibawah jembatan, saya segera cemplung kebawah jembatan. Benar saja keindahan Gorgoniidae, genus dari soft coral ini bag cemara kipas berwarna warni menempel pada tiang jembatan.

              ”Hati-hati kena kulit, bisa perih.” Sahut om Sainal dari atas kapal yang melihatku antusias berenang diantaranya. Dedi dan Rian juga ikut berenang.

              Perjalanan kami lanjutkan ke pantai Sera yang berada disisi utara pulau Malenge sembari menyantap makan siang yang begitu lezat dan tentu saja dengan hidangan penutup durian lokal togean! Puas menjajali pasir putih pantai Sera, perjalanan kami lanjutkan menuju California reef. Dari kejauhan tampak sebuah pondok yang berdiri kokoh diatas lautan, yah! Itu penanda California reef sekaligus tempat kapal mengikat jangkarnya.

              Kami kembali bersnorkling ria di California reef, selama satu jam kami habiskan menikmati keindahan bawah laut Taman Nasional Kepulau Togean, lalu tibalah saatnya kapal menuju destinasi terakhir hari ini, danau ubur-ubur.


Danau Ubur-ubur Mariona yang diberi nama lokal Dagat Malino. Setibanya kami di dermaga, ternyata lokasinya tak jauh dari bibir pantai dan juga bersebelahan dengan Karina beach. Karena visibility sore hari kurang baik, kupikir susah juga menemukan stingless jellyfish dan tak berharap banyak, namun makin ketengah danau makin banyak pulak! Akhirnya rasa penasaran di danau ubur-ubur Lohia pulau Muna bisa terobati disini.

             

Hari sebentar lagi gelap, kami harus segera kembali ke Black Marlin resort dan memindahkan barang ke Kadadiri Paradise. Sore ini sunsetnya begitu indah, Matahari sayup-sayup menghilang dibalik pulau Una-una. Makan malam di Paradise sungguh nikmat, ikan bakar dengan porsi besar menutup hari yang lelah namun begitu menyenangkan. Malamnya kami berkumpul lagi di gazebo sembari menghabiskan durian togean yang tersisa, pembicaraan semakin intens namun ada rasa sedih karena pertemanan singkat kami segera berakhir, atau baru dimulai?https://drive.google.com/uc?export=view&id=1RVheckdLK-tprmMUokjeNSYkeR12BuqU

              Saya terbangun pukul 03.00 karena merasa kepanasan mengingat listrik yang telah padam sedari pukul 23.00, diluar ternyata terang bulan. Saya berjalan kaki keluar menuju dermaga, beberapa pemuda yang semalam asyik bernyanyi hingga larut tampak tidur di pondok dermaga. Karena tak ada nyamuk dan lebih adem kuputuskan untuk tidur disalah satu ayunannya.

              Sebelum kembali ke Wakai, pagi ini kusempatkan lagi melihat keindahan terumbu karang dan ikan-ikan batu yang ada di bawah dermaga bersama Dedy dan Diah. Di Wakai saya kembali bertemu Nadia, dengan wajah sumringah namun bersaing gelap dengan kulitku dia bercerita pengalamannya selama dua hari ini, di perjalanan pulang dari Wakai menuju Ampana saya kembali mengingat bagaimana memori tentang Taman Nasional Kepulauan Togean terbentuk, dulu waktu saya masih SMP (2009) Kutemukan buku diperpustakaan sekolah yang bercerita tentang Togean yang berada ditengah coral triangle, buku ini menceritakan tentang keindahan bawah laut di teluk tomini dan pulau-pulau yang ada disekitarnya. Buku itu menjadi favoriteku selama berminggu-minggu kuamati keindahan pulau dan bawah lautnya, saya selalu membayangkan suatu hari saya berada disana, dan seperti menembus dinding waktu, terasa kembali memasuki lembaran buku tua itu.



Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi