Menuju Jantung Sulawesi Bagian 2 : Balada Patung Megalitik di Lembah Bada

 

Membelah Jalan Aspal Tertinggi di Pulau Sulawesi

Konon mata manusia hanya dapat melihat maksimal 200 derajat, penglihatan kitapun hanya terbatas terhadap apa yang terbentang dihadapan, ia hanya bisa menatap gelombang air laut atau ufuk horison paling jauh yang memperkuat teori bumi berbentuk lingkaran. Itu mengapa, menyambangi setiap sudut dan inti pulau Sulawesi membuka mata dan kenanganku betapa bumi yang terbentang adalah buku besar, dan pengalaman menjelajahinya tak pernah sia-sia dan sebatas perkara menghabiskan uang.

I have to move! Didukung cuaca mendung di Tentena, resepsionis cottage memperingatiku kalau mau ke Bada jangan sampai terlambat.

”Bukan hanya dua jam, bisa empat jam lebih. Apalagi musim hujan begini, jalanan sering longsor.”

”Tapi jalanan aspal kan?”

”Hanya sedikit.” Opini ini berlawanan dengan fakta yang kudapati dari hasil riset yang menyebutkan jalanannya sudah 90% aspal, bahkan bus Damri rute Poso kota-Bada bisa lewat.

”Kapan terakhir kesana.”

”Hmmm… sudah tidak ingat.” Bisa kusimpulkan dia tak terlalu tahu-menahu.

Meskipun begitu ada baiknya segera bergegas meninggalkan Tentena. Tepat pukul dua sepeda motor saya melaju membelakangi kota Tentena dalam cuaca mendung namun untungnya tak hujan. Pemandangan danau Poso, tenang dan dalam berada disisi kiriku pada awal perjalanan. Saya makin menjauh dari danau, menaiki bukit-bukit meninggalkan panorama indah birunya danau dan hijaunya hutan hujan dibelakang sana.

Menuju lembah Bada merupakan definisi absolut dari membelah pegunungan di balik pegunungan, hutan hujan yang saya lewati lambat laun berganti dengan hutan lumut dan udara yang dingin menusuk, vegetasi makin keatas makin kerdil, kabut sesekali lewat tanpa permisi menghalau jalan, kubuka kompas di handphoneku ketinggian menunjukkan 1880 meter diatas permukaan laut, wow,  Jalan Tentena-Bada ini kuklaim sebagai jalan aspal tertinggi seantero pulau Sulawesi.

Lembah Bada bag nukleus (inti atom) dan pegunungan berlapis pegunungan adalah kulit atomnya. Pertanyaan dua tahun lalu ketika saya mengunjungi Lembah Besoa di Lore Tengah mencuat kembali di permukaan, kenapa ada manusia yang ingin tinggal di perkampungan jauh dikelilingi hutan? 

Saya sering berhenti diperjalanan, entah memotret pohon-lumut yang unik, jerat yang dipasang disepanjang jalan dan menyaksikan sungai Malei yang jernih namun berwarna cokelat bag minuman cola, disinilah salah satu titik hulu sungai Lariang, sungai terpanjang di pulau Sulawesi.

Ditengah perjalanan seorang petugas PLN memberhentikanku untuk ikut nebeng beberapa kilometer kedepan, saya tidak keberatan.

”Mau ke Rampi bang?” Tanyanya.

”Nggak cuma ke Bada.”

”Ke Padang Sepe?” Belakangan saya tahu kalau padang Sepe adalah nama situs tempat patung Palindo, arca terbesar di kawasan Taman Nasional Lore Lindu berada.

”Yah, ke situs-situs Megalitik itu mas.” Sahutku.

”Tidak jauh lagi lembah Bada, kira-kira setengah jam.” Tutupnya memberi informasi.

Setengah jam terakhir jalanan yang kulewati tampak menurun menandakan lembah sudah tak terlalu jauh. Tepat saat matahari sudah condong ke arah barat, saya bisa menyaksikan lembah luas dibawah sana, di kelilingi persawahan hijau, asap dari lumbung yang dibakar menjulang, sungai Lariang membelah dua bagian lembah Bada menjadi Kecamatan Lore Selatan disisi kiri dan Lore Barat disisi kanan.

Desa Bomba, desa pertama yang saya lewati, kabarnya hanya ada penginapan disini dan di desa paling ujung, Gintu. Saya memutuskan menuju Gintu dan mendapatkan kamar dari sebuah penginapan kecil milik Ci Meri.

Lembah Bada berada diketinggian kurang lebih 800 mdpl, sehingga tak perlu tambahan AC dimalam hari, apalagi lembah ini dikelilingi pegunungan primer Sulawesi yang sebagian besar belum terjamah. Dengan menggunakan jaket tebal saya keluar mencari makan malam, hanya ada dua warung halal disini, salah satunya milik keluarga yang pindah dari Masamba, Luwu Timur pasca musibah banjir bandang yang melanda. Ayam goreng dengan kuah indomie terasa begitu nikmat setelah melalui perjalanan membelah pegunungan yang berkelok dan berangin.

Mengejar Sunrise di Padang Sape

Pukul 05.45 kubangunkan Aleki yang tertidur didepan pintu, kami membelah jalanan yang sepi berbatu dan belum di aspal. Dingin khas pegunungan masih menyelimuti, diatas jembatan saya berhenti memandangi sungai Lariang yang berarus deras, Aleki saya parkir seenaknya ditengah jembatan. Persisnya setelah jembatan kami memasuki kecamatan Lore Barat yang relatif sepi. Cahaya keemasan sayup-sayup keluar dibalik sisi timur pegunungan, menyentuh kabut dingin yang malas pergi. Kupercepat Aleki, kami harus sampai tepat ketika matahari terbit.

Bag bayi raksasa baru bangun tidur, arca Palindo berdiri miring setinggi 4,5 meter dengan penis yang masih ereksi. Dibaliknya matahari bersinar keemasan menambah rasa takjubku terhadap pemandangan di Padang Sape, Palindo membelakangi cahaya. Didepannya terpampang gagah barisan pegunungan sebelah barat, tak jauh dari tempat ini terdapat Oxbow lake, danau tapal kuda yang terbentuk dari potongan sungai lariang.

Kami (anggap saja saya dan aleki partner jalan) pindah ke situs selanjutnya. Situs Megalitik Suso tak jauh dari Padang Sape, namun karena musim hujan, jalanan berlumpur dan terdapat pohon tumbang yang membuat Aleki harus parkir ditengah jalan. Selanjutnya saya berjalan kaki mencari situs tersebut.

Berburu situs megalitik baik di Lembah Bada maupun di Besoa merupakan pengalaman unik dan menyenangkan. Meskipun sudah ada petunjuk dimuka jalan, tapi mencarinya masih di area abu-abu, saya harus bisa menerka-nerka posisinya atau kalau mentok, menggunakan advanced maps, bertanya ke warga. Berburu batu megalitik ini bag bermain pokemon go. Dari kejauhan terdapat beberapa batu besar ditengah sawah, ah, mungkin itu batu megalitik Suso pikirku. Dengan berhati-hati saya melewati pematang sawah yang cukup licin dan gundul, setibaku di batu itu ternyata hanya batu biasa.

Saya putar balik menuju rumah panggung seorang warga ditepi sawah, namun berkali-kali kuketuk pintunya, nampaknya rumah tersebut kosong. Saya memutuskan untuk berjalan menuju rumah warga berikutnya, untungnya pemilik rumah sedang melakukan rutinitasnya di depan rumah, beliau menunjukkan jalan menuju kompleks megalitik Suso sekitar 300 meter di balik  rerimbunan pohon. Di kompleks Megalitik Suso terdapat beberapa arca dan kalamba. Arca paling menonjol adalah Maturu yang artinya ’dalam posisi tertidur’, arca berjenis kelamin laki-laki dengan kepala lonjong ini melintang sepanjang 380 cm.  setidaknya ada 3 arca dan 7 kalamba di situs ini. Kulirik jam tanganku, ternyata saya sudah berjalan lebih dari 5000 langkah pagi ini, luar biasa!

Lepas Megalitik Suso, saya berkendara ke arah barat mengikuti jalan yang bersebelahan dengan sungai Lariang menuju dua situs megalitik yang tak kuketahui letaknya dimana, bahkan wargapun tak tahu keberadaan situs yang hanya tertulis dipenunjuk kecil di pertigaan jalan. Saya tiba diujung kampung desa Lengkeka, didepan yang tersisa jalanan sempit menuju kebun warga, saya putuskan putar balik dan menyempatkan untuk singgah di Tambi adato Bada, rumah adat orang Bada yang sering disebut Wanua. Rumah adat ini terdiri dari tiga bangunan, yang tiga-tiganya memiliki fungsi yang berbeda namun vital. Bangunan pertama berfungsi sebagai rumah tempat tinggal orang Bada tempo dulu, sedangkan yang kedua (berada ditengah) dengan ukuran lebih kecil berfungsi sebagai tempat lumbung padi. Bangunan yang paling besar menjadi aula, tempat pertemuan adat untuk acara musyawarah atau memecahkan berbagai persoalan adat yang masih berfungsi sampai kini.

Cerita Tentang Lembah dari Warung Makan

Saya kembali ke Gintu untuk mencari sarapan sebagai pondasi pagi menjelang siang ini. Namanya Warung Barokah, warung pertama sekaligus warung muslim pertama yang buka di lembah yang indah ini. Ibu Robiul asal Kudus senang bercerita, maklum di lembah yang sepi ini, berkenalan dan bercerita dengan orang luar  akan turut meramaikan dan menghangatkan suasana yang sunyi dan dingin. Saya memesan ayam goreng dengan segelas air hangat. Ibu Robiul ada disini karena mengikuti suaminya, seorang tentara asal Muna, Sulawesi Tenggara yang di tempatkan di lembah jauh nan terpencil, beliau sekaligus imam Masjid Al-Ikhlas, masjid satu-satunya di lembah ini.

Ibu Robiul bercerita kalau awalnya ia merasa cukup kesepian berada di lembah Bada, selain semua keadaan yang telah disebutkan diatas, dulu jaringan telekomunikasi tidak ada sama sekali, jalan aspal yang ada sekarang jadi suatu kesyukuran buat warga Bada, dulu mereka harus menggunakan kuda ke Tentena yang bisa memakan waktu seharian. Manfaat pajak sudah terasa hingga di salah satu aspal pedalaman di pulau ini, pikirku.

”Kalau saya tidak buka warung dan pabrik tempe, mungkin saya nggak bakal kerasan disini mas.” Ucap bu Robiul sembari menghidangkan makanan saya.

Selagi saya menikmati ayam goreng, bu Robiul memotong bawang merah sembari melanjutkan ceritanya.

”Disini juga banyak hal-hal mistis.

Lembah Bada telah disumpah. Lembah ini memilih siapa yang datang dan siapa yang tidak boleh tinggal. Masyarakat adat disini masih mempercayai berbagai hal supranatural terhadap alam sekitar dan masih sering mengadakan ritual adat, bagaimanapun kami sebagai pendatang harus menghormati. Baru tiga tetua yang datang makan di warung ini, mereka semua secara kebetulan memberitahukan kalau rejeki kami baik di tanah ini. Bagaimanapun, diajaran islam memang kalau kita merantau bisa memperbaiki nasib, dari usaha pabrik tempe dan warung ini saya bisa membeli dua mobil.

Benaran mas, disini kalau nggak punya kerja gak boleh tinggal lama, jadi yang buka prakter ditempat Ci Meri itu dokter Nusantara Sehat, disampingnya perempuan juga itu.. kalau nggak salah ya, dari Tolitoli ada usaha budidaya nilam, semua punya kerja.” Lanjut bu Robiul menjelaskan tetangga tempat kamarku menginap. Setelah percakapan ini, saya sudah dianggap seperti kerabat sendiri.

Setelah kenyang, saya kembali ke Penginapan Meri untuk mandi, kaki dan betisku terasa gatal setelah melewati pematang dan semak mencari situs Suso. Setelah merasa cukup segar, petualangan resmi dilanjutkan. Tak jauh dari penginapan ini ada arca Tararoe. Menurut petunjuk yang tertera di jalan hanya beberapa meter saja. Namun meski begitu, saya tetap harus bertanya lagi. Di dekat arca terdapat pusat kesenian dan oleh-oleh Lembah Bada bernama Tambi Kalide, karena penasaran saya singgah dan melihat isi Lobo tersebut, di dalamnya terdapat berbagai gelang, gantungan kunci dan tas yang dibuat dengan menggunakan bahan alam.

Selanjutnya saya tancap gas menuju Arca Tantaduwo yang terletak ditengah-tengah persawahan warga di desa Runde. Lagi, meskipun ada petunjuk arah namun tanpa bertanya kepada warga sulit menemukan letak persis arca tersebut, apalagi saat ini padi sedang meninggi dan menguning, dari kejauhan tak terlihat tanda-tanda keberadaan arca tersebut. Matahari persis diatas ubun-ubun, meski begitu saya tetap berjalan di pematang sawah dan harus berhati-hati karena pematang terhalang padi, jalanan sempit dan licin pula, belum juga terlihat batang hidung arca tantaduwo. Namun dari percakapan dengan seorang petani, saya percaya titik yang dimaksud di dekat pondok kecil beratap seng.

Arca Tantaduwo berbentuk kerbau, kerbau yang sedang berkubang di genangan lumpur. Entah siapa yang mengutuknya menjadi batu? Saya tak tahu persis. Namun menurut cerita rakyat, ia adalah kerbau yang cerdas, setiap kali hendak disembeli untuk acara adat, si kerbau selalu kabur dan bersembunyi, hingga beberapa kali tak ditemukan, kerbau menghilang dan didapati telah menjadi batu.

Ada beberapa arca lagi yang bisa saya kunjungi. Saya memutuskan untuk melakukan rute memutar menyusuri desa Bulili dibagian selatan hingga kembali ke penginapan di Gintu. Siang hari dataran tinggi ini terasa cukup panas, langit bersinar cerah tanpa awan, saya memutuskan untuk tidur siang.

LOGA, Longing for Love

Batara bayu mengirimkan pesannya kepada raja penghibur, Palindo yang sedang duduk diteras lobo melalui angin sepoi di tengah belantara, jauh, jauh ke dalam pengunungan, bayangkan saja ia melewati Sagara membawa pesan sang Baruna, meliuk-liuk diantara ranting melewati debu perbukitan beratus kilometer, pesannya dibajak roh jahat namun berhasil disaring kembali oleh hutan lumut yang dingin.

Dingin hingga menusuk-nusuk ketulangku, saya begitu sulit bernapas, entah mengapa pemandangan yang terhampar berubah menjadi warna biru gelap, saya tenggelam di dasar danau Poso, angin silir semilir berganti kencang dan air hujannya deras tempias ke permukaan air. Tengkorak yang kemarin kudatangi di situs Latea kini terbenam menyelimuti dasar danau, ribuan tengkorak, saya berusaha berenang keatas, dan…..

Saya terbangun menatap nanar dinding polos. Mimpi buruk ini mengagetkanku, jam tangan menunjukkan pukul 15.00, setelah menenangkan pikiran, saya akan melanjutkan petualangan menuju salah satu arca di desa Bomba.

Loga, begitu ia diberi nama. Berdiri dengan tatapan kosong, menatap lembah dan padang ilalang yang indah namun siapa yang sangka hatinya terkikis rindu, rindu akan cinta dari sang kekasi yang telah tiada, ia si patah hati. Kurangkul Loga dari samping, untuk berbagi, kami sama-sama kesepian, namun dengan rasa yang berbeda, sepi yang malu kuakui telah kunikmati sementara ia dilanda sepi yang masih sama dengan dahulu, sepi menyayat hati. Kubisikkan ke Loga, berdamailah dengan keadaan.

Dari semua arca Loga menjadi favoritku, letaknya yang menatap ke padang ilalang yang berbukit-bukit, dan bentuk kepalanya yang paling normal diantara yang lainnya membuatnya terlihat bag seorang seniman kesepian.

Dari arca Loga, saya menuju ke SMPN 1 Lore Selatan yang tak jauh dari penginapan, mencoba memasuki salah satu sudut masa kini lembah bada, walau hari nampak sore beberapa orang nongkrong di teras lorong kelas, di Lembah Bada sinyal telpon sudah bisa kita nikmati, namun untuk mendapatkan akses internet, terdapat beberapa titik yang menyediakan Wifi dengan membeli voucher, harganya cukup terjangkau, lima ribu kita sudah bisa menikmati selama tiga jam dengan batas waktu dua hari. Bolehlah untuk membuka whatsApp bahkan melihat gambar di instagram. Inilah wajah masa kini lembah bada yang menyimpan misteri dan budaya megalitik ribuan tahun silam, entah masa mana yang lebih ramai, dulu atau kini atau mungkin tak jauh beda, yang pasti sinyal Wifi baru-baru saja bisa dinikmati dari salah satu titik paling tengah pulau Sulawesi.

Batara bayu kembali meniupkan angin dingin dari berbagai penjuru arah, angin yang dijaga baik oleh hutan belantara. Besok pagi saya akan meninggalkan lembah yang indah ini, kembali membela pegunungan dengan jalan aspal tertinggi di pulau ini, masih banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya. Diantara kesunyian Lembah dan peta yang terpampang, kebudayaan macam apa yang berlangsung di masa lalu, sebab letaknya persis di inti atom dibalik pegunungan berlapis pegunungan, dipeluk hutan belantara Sulawesi.

Nomor penginapan di Bada :

Desa Gintu

1.  Penginapan Meri        : 0823-3137-0888

2.  Losmen Immanuel       : 0813-4071-2682 / 0811-4606-267

Desa Bomba

1.     Ningsi Homestay                   : -

Comments