Siapa aja porsenilnya? : Tesid (ketua tim), Goroho, Astra, Bodas, Minion, Jentik, Peyeum, Pikolo, Hulek, Hoga
dan Licen.
1. Persiapan
Kamis, 21 Mei 2015
kami sepakat untuk mengumpulkan semua persiapan, terutama carrier ke kosan kapten Tesid (Handi
Setiawan), yang berarti segala keperluan, baik perbekalan maupun peralatan dan
lain-lain yang menyangkut perjalanan besok telah siap satu hari sebelum kami
berangkat. Hari ini dan besok masih berlangsung ujian tengah semester di
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Balai Diklat Keuangan Manado.
2. Keberangkatan
Jumat, 22 Mei 2015
sekitar pukul 02.30 atau setelah sholat Jumat dan makan siang. Kami berangkat
dari Perumnas Paniki II, membawa carrier masing-masing ke pinggir jalan Manado-Dimembe,
kami berangkat dengan cara Hitchhiking
atau lebih kami istilahkan dengan sebutan ngegembel
atau orang Manado bilang ba Teko, jangan lupa jempol di
goyang-goyangkan ke arah jalan dimana tujuan perjalananmu.
a.
Tumpangan pertama : mobil bak menuju
Tamansari, hanya kurang lebih dua kilometer dari titik awal.
b.
Kedua : mobil bak dari Tamansari sampai di SPBU menuju arah
Bitung.
c.
Ketiga : mobil bak dari SPBU arah Bitung sampai ke pertigaan
Bitung-Ringroad, disini kami mulai bertemu dengan sesama backpacker.
d.
Keempat : mobil bak ber-plat merah kami hentikan, awalnya kami
mengira beliau tak akan mau berhenti tapi ternyata beliau sudi mengangkut kami,
dari Pertigaan Bitung-Ringroad, melewati Ringroad sampai ke Kecamatan Pineleng.
e.
Kelima : mobil bak yang
mengantarkan dari desa Pineleng dan menurunkan kami ditanjakan sebelum
memasuki desa Tinoor diakibatkan swiping oleh Polisi. Diperjalanan kami bertemu
dengan banyak backpacker dan kapten Tesid memberitahukan bahwa “Kode etik ngengembel adalah saling menyapa sesama
‘gembel’ jika bertemu dijalan dengan
cara mengangkat tangan dan berkata, yoooman!”
Entah apa artinya itu.
f.
Keenam : pukul 15.30, setelah menunggu mobil bak, akhirnya ada yang
mengantarkan dari tanjakan sebelum desa Tinoor sampai ke Universitas
Kristen Tomohon.
Kami menghabiskan waktu yang cukup lama disini, disebabkan ketidaktahuan
dan kurang beruntung juga sih. Sempat
istirahat, si Astra belanja ini itu, lalu kami memutuskan untuk longmarch,
alasan mobil bak tidak mau mengangkut kami karena tidak memakai helm, cek and
ricek dari backpacker lain, kami harus jalan sejauh dua kilometer sampai ke
bundaran patung yang dikelilingi bunga-bunga ituloh. Beberapa saudara kami yang belum
menjamak sholatnya bergegas ke masjid raya Tomohon untuk sholat ashar, tak lama
kemudian kami mendapat tumpangan.
g.
Ketujuh : hari sudah mulai gelap, mereka pecinta sunset merapat
di ufuk barat, sementara kami menikmati pergantian angin darat dan angin laut
diatas bak, perjalanan kami di mobil bak yang satu ini cukup panjang,
diperjalanan kami bernyanyi puluhan lagu yang tak satu lagu
pun tuntas dinyanyikan. Sampai supirnya menuju arah lain kami turun dan hari
sudah gelap sepenuhnya.
Kami sepakat untuk memakai pakaian hangat karena angin perjalanan malam
tidak baik untuk kesehatan. Alhamdulillah kami mendapat tumpangan yang
terakhir yang langsung membawa kami ke desa pendakian gunung Soputan.
h.
Kedelapan : mobil bak yang satu ini sebuah keberuntungan, karena
rutenya tepat didesa terakhir untuk tracking ke gunung Sopitan, kami turun di
desa Tore.
Namun ini
merupakan jalur yang berbeda, kami sempat berdiskusi ke warga sekitar mengenai
jalur ini, menurut beliau jalur dihadapan kami saat itu lebih cepat namun lebih
menanjak, jalur yang kemudian kami ketahui namanya, patah hati. Tapi, karena
berbagai pertimbangan, antara lain kami tracking malam dan membawa tiga
perempuan serta belum pernah melewati jalur tersebut, maka kami putuskan untuk
mendaki melalui jalur djarot saja seperti pendakian umum Desember silam, yaitu
melalui samping gereja Bukit Moria di desa Townswere.
Perjalanan ke Bukit Moria melewati persawahan tanpa penerangan disatu titik pun, cuaca
malam ini sangat cerah, baru saja lewat jam tujuh sedikit bintang-bintang di
langit bertaburan yang memukai mata, the sky full of stars-nya
Coldplay bergema di headsetku, bintang-bintang itu menjadi bonus terindah
perjalanan malam ini.
Kami putuskan untuk memasak dan sholat di tengah jalur djarot yang belum
terlalu jauh dari Bukit Moria, tepatnya masih di area perkebunan warga, disini
ada sumber air yang mengalir dari pipa, meskipun dekat dengan perkuburan
kristen. Kami menghabiskan waktu hampir satu jam.
3. Tracking ke
basecamp
Tracking malam ini kami
bertemu beberapa pendaki, perjalanan mulus dan cuaca tidak berubah, tetap
cerah. Beberapa kali kami istirahat, perjalanan ini temponya sedang saja,
mengingat kami tidak mempunyai target harus sampai jam ‘segini’ dan tidak pula
mengejar sunrise di puncak esok paginya. Salah satu tempat peristirahatan ternyaman,
di sebuah warung yang bagaikan restoran mewah dibawah ribuan bintang di tengah
perjalanan ini, jumlah warung tersebut sampai ke pos satu-“welcome to gunung
Soputan” sebanyak empat. Tiba di pos satu-“welcome to gunung Soputan” kami
istirahat barang sepuluh menit dan melanjutkan tracking yang bisa dianggap
datar melewati sungai-sungai kecil, namun lumayan jauh, kami sampai di basecamp
gunung Soputan sekitar pukul 00 lewat sedikit, mendirikan tenda, mengumpulkan
bekal di satu tempat, dan tidur.
Keesokan harinya…
Sabtu, 23 Mei 2015
Kami bangun dalam
dinginnya jam 06.00, segera sholat subuh di tenda, karena diluar sedang hujan
rintik-rintik, tenda kami yang hanya menggunakan flysheet, karena ada masalah teknis semalam, dan kami harus
sempit-sempitan. Hujan lumayan lama reda, hari ini kami tidak akan kemana-mana,
hanya disini, yeaaah, disini, hari ini kami lalui dengan makan pagi, selfie di
hutan pinus, bermain poker, makan cemilan, bermain poker, tidur siang, bangun,
ambil air, sholat, bermain poker, makan cemilan, bersih basecamp soputan, makan
malam, foto bintang, sholat, tidur malam.
Inti dari
perjalanan kami adalah bersih-bersih basecamp Soputan, kami memungut sampah di
sudut-sudut tenda pendaki lain, malah sebagian mereka memberi sampahnya ke
kami, yah banyak yang mengaku sebagai pecinta alam, nyatanya penikmat alam tok’,
entahlah, mungkin aku, kamu, atau dia (sudah seperti lirik lagu). Ada juga yang
mengaspirasi aksi kami dengan senyuman, dan
ada yang meminta trashbag untuk sampahnya sendiri, Alhamdulillah.
Keesokan harinya……
Minggu, 24 Mei
2015
Pukul 03.15 kami
bersiap-siap untuk tracking ke puncak. Saat pendaki lain masih tertidur pulas,
kelompok kami memulai tracking, sepertinya tidak ada yang tracking sedini kami
untuk melihat sunrise, ketika berada di area kawah belerang, kami sempat tak
tahu jalan, sekitar setengah jam kami bolak-balik dan berhenti pada tempat yang
sama, kami tidak kesasar melainkan tak menemukan jalur yang benar, dan akhirnya
Alhamdulillah, bang Bodas menemukan jalur yang membawa kami ke pos pemantauan
gunung Soputan. Selanjutnya perjalanan menuju puncak berjalan lancar, meskipun
tidak mendapatkan sunrise untuk kedua kalinya, tapi kami semua sampai dengan
selamat dan cuaca yang cerah.
Kabut perlahan
berganti sesi, bagaikan sinema yang diputar kini menampilkan seluloid deretan
perbukitan, dengan timelipse yang menkontraskan hijau buram menjadi terang, dan
laut kini memancarkan aura birunya, ada yang berubah dengan puncak ‘mama’
Soputan, hari ini ia berasap, lebih mencekam, sepertinya telah terjadi
peperangan antara dua raja setan dipuncaknya, dan mencabik isi perutnya, disatu
sisi ia merona merah, menanggalkan kemarahan yang baru saja reda. Kami berpose
untuk stapala tercinta, dan tiba-tiba, ia bergetar dan mengusir kami.
4. Perjalanan Pulang
Hari ini juga kami melakukan perjalanan pulang, namun
cuaca berubah sealur dengan pemikiran yang tak bisa ditebak, akibatnya kami
terjebak bagaikan induk ayam mengeram dibawa dan hanya bisa menatap
hujan. Ketika hujan reda sedikit, kami memutuskan untuk tracking pulang, kami
membawa sampah sampai ke pos satu, buruknya, hujan semakin deras, namun tak
mematahkan semangat kami.
Ketika sampai ke warung bertabur bintang kemarin,
pendaki dermawan mengajak kami makan tinutuan yang masih hangat dan lezat bergizi,
makanan termewahku selama di gunung, ditemani pisang goroho dan air hangat, dan
momen ini, semuanya, penjual, pendaki lain, kami bagaikan teman yang baru
bertemu lagi, kata-kata mereka bagaikan perapian ditengah badai salju,
menghangatkan dan menyelamatkan, dan ini bisa mengisi kekosongan perut hingga
malam tiba.
Kami tiba di bukit Moria ketika adzan magrib tak
mungkin terdengar disini. Malam ini kami menunggu mobil bak-bak dermawan
dibawah hujan rintik-rintik, beberapa kali kami berdiskusi bahkan melibatkan
pendapat warga agar menemukan jalan terbaik untuk pulang.
Alhamdulillah malam ini tidak terlalu banyak kami
turun naik berganti mobil bak, antara lain :
1. Mobil bak pertama
kami dapatkan ketika berjalan kaki hujan-hujanan dan hanya headlamp sebagai
penerang di desa townswere yang langsung mengantarkan kami ke kota Kawangkoan,
masih banyak backpacker dijalanan.
2. Mobil bak kedua
membawa kami dari Kota kecil Kawangkoan ke Kiawa, sebuah desa sebelum
Lahendong.
3. Mobil bak ketiga
adalah yang paling berkesan, tumpangan dari sesama backpacker yang tidak kami
duga berhenti dan menawarkan kami untuk ikut di baknya, awalnya kami menolak
halus, karena mengingat kapasitas yang tidak cukup, namun karena sepertinya
mereka meminta dengan sangat, kami luluh dan sempit-sempitan, kemudian kami
berkenalan, mereka pemuda berkulit putih asli Minahasa dan seseorang dari Poso,
karena sudah lelah tak ada satupun yang kuingat namanya, mereka sangat ramah,
saking ramahnya mereka menawarkan berbagai hal, dari bagate sampai makan malam, mereka membawa gitar dan mengajak kami
bernyanyi, rute kami sangat panjang, dari Kiawa sampai pertigaan Pineleng-Pusat
kota-Ringroad.
4. Mobil bak keempat,
kami berjalan diketeraturan jalan ringroad, melewati monumen Yesus memberkati,
dan menunggu mobil bak di seberang Alfamart Citraland, mobil bak yang lewat
dengan kecepatan tinggi, mobil bak kami ini awalnya menolak, namun kemungkinan
karena beliau muslim, didukung oleh minion dan peyeum yang berhijab, maka ia
berpikir lagi untuk mengangkut kami, sampai di pertigaan Bitung-Ringroad.
5.
Mobil bak terakhir, namun si Hoga dan Astra tidak
ikut, diakibatkan karena ia ketinggalan hape, ceritanya sederhana, tapi intinya
dia tak ikut di perjalanan terakhir kami dan tiba bersama di Mapanget tercinta.
Perjalanan yang berkesan dengan saudara yang survivor, punya prinsip yang sama, menikmati alam dengan mencintainya sepenuh sehati.
Perjalanan yang berkesan dengan saudara yang survivor, punya prinsip yang sama, menikmati alam dengan mencintainya sepenuh sehati.
Comments
Post a Comment