Kapan
lagi, keberkahan bulan Ramadhan terasa ketika berjuang bersama, tidak sekedar mencoba merasakan penderitaan saudara
yang kekurangan? Kapan lagi, kita tidak sekedar tidur ketika Ramadhan, tetapi
merasakan adanya kekuatan besar yang Tuhan berikan dengan menahan nafsu lahir
dan batin? Atau, kapan lagi kita keluar dari zona nyaman dan merasakan sesuatu
yang lebih besar dari zona nyaman yang kita buat?
Mapanget, 27 Juni 2015
Setelah
berbuka puasa dan shalat magrib berjamaah di kampus, kami yang tergabung dalam
organisasi pecinta alam berkumpul di depan markas Brimob Sulut di Jalan A.A
Maramis, Paniki dua, kecamatan Mapanget, Manado. Semua perbekalan telah rampung
sebelumnya. Kami bertujuh berangkat dengan cara hitchiking, menunggu mobil pick up atau truk dermawan yang bakal
sudi mengangkut kami melewati jalanan menuju ke tujuan, Gunung Mahawu di
Kakaskasen, Tomohon Utara.
Rute Paniki dua ke Gunung Mahawu |
Hitchiking dimalam hari cukup sulit, tidak banyak pick-up
atau truk yang percaya pada penumpang gelap. Konsekuensinya, kami terkatung-katung di
jalanan selama dua jam hingga pada pukul 22.00 ada truk yang sudi diberhentikan, senang bukan kepayang
kami bernyanyi diatas truk berdebu itu dibawah gugusan bintang yang berserakan. Kami diturunkan di jalanan tiga
arah setelah monumen Yesus Kristus Memberkati di Ringroad.
Di
mobil pick-up kedua, takdir mempertemukan kami dengan sosok gadis cantik Minahasa
pemberani sekaligus miris, ia kabur dari rumah untuk
travelling-sendiri-di-malam-hari dengan bekal seadanya, tujuannya ke gugusan
air terjun Tekaan Telu yang indah di kampung Tinoor, sulit melepaskannya
menghilang sendiri dikegelapan jalan.
Tak
terasa dengan sempit-sempitan diatas pick-up kami telah sampai di kota Tomohon, karena tidak ada mobil yang mengarah
ke desa Kakaskasen, kami turun di pertigaan dan melanjutkan dengan berjalan
kaki. Waktu saat itu menunjukkan pukul 24.00.
Kuakui
dengan berjalan kaki kami terhubung satu sama lain, jalan kaki adalah favoritku. Dengan berjalan, kaki dan hati terhubung dengan
tanah yang kami pijak. Sambil berjalan kaki kami bernyanyi dan berbicara banyak
dan lebih terbuka satu-sama lain, berjalan kaki memberi kami sejuta kebaikan alam dan suara
malam yang terdengar begitu damai, kami mencoba membaca setiap jejak yang kami
lewati.
Lebih
lagi, berjalan membuat kami mengerti satu sama lain, kapan istirahat, kapan
saling menyemangati untuk tetap berjalan, kapan saling berbagi makanan dan
minuman. Berjalan bersama membuat perjalanan berjam-jam tidak terasa
karena kehadiran teman-teman di sekeliling.
Kurang
lebihtiga jam perjalanan tracking melewati rute Bt. Kadera, kami sampai ke puncak gunung Mahawu, dengan ketinggian 1400 mdpl
(meskipun tidak terlalu tinggi untuk ukuran gunung di Indonesia) kita bisa
melihat kota Tomohon di kaki gunung Lokonnya yang menawan, gemerlap kota Manado
mendiami dataran rendah disisi kanan mata, di laut lepas Pulau Bunaken, Nain, dan juga
Siladen mengambang dengan anggun.
Setelah sahur bersama keluarga di rumah, tiada yang
lebih nikmat dari sahur di Gunung Mahawu bersama teman di perantauan, memasak mie
instan, menggoreng tempe, ditutup dengan sepanci kopi susu dan biskuit. Meskipun dengan
suhu yang dingin dan badai angin yang kencang, setelahnya kami dapat menikmati
kehangatan surya yang mucul dibalik punggung gunung Klabat.
Turun
dari gunung, kami bisa melihat bunga-bunga yang indah bermekaran di desa bunga
Kakaskasen yang semalam tak tampak, menghiasi perjalanan pulang kami dengan
sukacita.
Comments
Post a Comment