Skip to main content

Filosofi berenang di alam


Beberapa orang mencari resep berkhasiat yang dapat menyenangkan dan mengenyangkan jiwa dan raga. Sepertinya saya mulai menemukan resep itu,  yaitu dengan menekuni beberapa olahraga.
Beberapa tahun terakhir saya mulai mencoba olahraga lari, kemudian akhir-akhir ini saya mulai tertarik dengan berenang, maksudnya kalian tentu sudah sering melihat saya snorkeling, atau belum? sebenarnya bermain air adalah kesenangan saya sejak kecil, bermain di pantai bersama kawan yang harus mengantongi izin dulu dari ibu lengkap dengan stempelnya.
Sekedar bermain air saja tentunya tanpa berpikir untuk bisa berenang secara profesional. Perjalanan bisa berenang, menikmatinya, menjelajahi lebih jauh bagaikan perjalanan seekor penyu yang mencoba melepaskan diri dari dapur restoran mahal di China dan kembali ke perairan tropis yang hangat. Saya sungguh takut dengan kedalaman. Maka berenang ditempat terbuka bagiku bukan hanya tentang olahraga, tapi melawan rasa takut itu sendiri.
Tanjung Babia, Pasangkayu menjadi kenangan kala pertama kali saya rasa bisa berenang, saat itu saya beranikan untuk melepas genggaman dari kayu dermaga, lalu mencoba bergabung dengan kakak kelas di SMA yang begitu gagahnya bermain air tanpa menyentuh dasar pasir.
Karena di desa kami tak punya kacamata renang, mata kami selalu diatas permukaan atau menutupnya ketika berlomba menahan napas. Saya tak pernah benar-benar tahu apa yang ada di dalam air, mungkin ini juga yang membuat saya takut.
Laut yang dalam identik dengan hiu nan beringas dalam imajinasiku, mereka adalah penguasa dan saya tak lebih dari sekedar umpan saja. Banyak cerita mantan nelayan (kusebut begitu karena mereka tidak lagi melaut dan memutuskan untuk menghabiskan masa hidupnya untuk berkebun) yang trauma karena bertemu ikan-ikan raksasa.
Perjalanan hidup membawaku ke sebuah pulau dan disanalah pertama kali kulihat keindahan bawah laut. Jika suara-suara binatang dibalik tetumbuhan dalam hutan membuatku begitu penasaran, sama halnya dengan keindahan bawah laut, berbagai warna dan binatang yang membentuk karang begitu menakjubkan.
Dari sinilah ketemui hobi snorklingku, yang menuntutku untuk bisa berenang.
Takdirku berada jauh disini juga mengantarkanku pada sungai yang mengalir jernih membelah hutan tropis yang indah, berenang disana tidak hanya menguatkan fisikku, tapi kutemui kedamaian.
Perlahan dan perlahan kupelajari teknik yang benar dalam berenang, perlahan demi perlahan rasa takut akan kedalaman itu berkurang. Berenang bukan hanya sekedar olahraga, tapi juga meditasi. Bagaimana kita mengatur pikiran kita untuk tetap tenang dan tidak mudah panik, bagaimana kita mengatur tenaga, bagaimana kita membaca petunjuk arus.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi