Skip to main content

Menuntaskan Misi Lama di Tong Sanjangan


Saat melakukan perjalanan, pernah tidak kalian berada disituasi ‘tidak sempat’, entah karena waktu yang tidak memungkinkan atau karena ada hal yang mungkin lebih mendesak, sehingga dalam hati kecil kalian berkata, “Suatu saat saya akan kembali lagi.”
Tiga tahun yang lalu, di 2017, saya dan teman-teman berangkat menuju Desa Salumbia, Kec. Dondo dengan waktu tempuh sekitar tiga setengah jam perjalanan dari pusat kota Tolitoli, Baolan. Kami berangkat dalam rombangan yang cukup besar, berangkat cukup terlambat, dan mengalami berbagai kendala dijalanan mulai dari ban sepeda motor bocor hingga yang terparah, sepeda motor yang saya kendarai mengalami kecelakaan, lalu saya diantar ke puskesmas terdekat karena mengalami luka yang cukup parah di bagian lutut. Alhasil, perjalanan kali ini dinilai gagal, karena tidak sesuai dengan harapan dan perjuangan, dimana tong Sanjangan, begitu mereka menyebut tanjung yang harus ditempuh dengan kapal tersebut, sangatlah ramai, kotor, dan penuh dengan orang-orang sakit yang ingin berobat (mereka percaya udang merah yang endemik di danau pasang-surut itu bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit).
Meskipun begitu, lelahnya perjalanan tidak sesuai kenyataan, baik bagi kami yang sekedar ingin berwisata maupun mereka yang ingin berobat, saya masih dihantui rasa penasaran, banyak potensi disana yang sebenarnya terabaikan, pantai-pantai berpasir putih yang indah dan dipisahkan oleh batu karang besar, hingga goa-goa kelelawar di sekitar tanjung, lalu lubang yang menyerupai pusat laut di Donggala namun sebenarnya berbeda karena lubang itu terhubung ke goa dengan kadar air garam yang tinggi dan juga dihuni oleh kelelawar. Hal-hal menarik ini cukup terabaikan oleh orang-orang yang memang kebanyakan hanya berfokus pada danau udang merah yang akhirnya membuat mereka, yah, mendapatkan kesimpulan bahwa pengobatan itu hanyalah mitos belaka. Makanya, saya berharap suatu hari bisa kembali kesana, disaat keadaan sudah sepi.
Tiga tahun terlupakan, tiba-tiba saja di Instagram akun lokal memperlihatkan kembali goa dengan air kristal yang jernih, ditengah semak-semak yang sepi. Sudah saatnya nggak sih, sudah saatnya nggak sih, suara itu bagaikan arwah semesta yang memanggil sang pertapa keluar dari pertapaannya untuk kembali berkelana ke alam liar-- yang sudah tidak liar-liar amat.
Singkat cerita, saya berhasil mengumpulkan tim menuju ke desa Salumbia, dengan persiapan, perbekalan dan mitigasi risiko yang lebih mantap (sepertinya begitu), dan tentunya dengan rombongan yang lebih sedikit.
Sabtu pagi rombongan kami sudah berkumpul di kantor, delapan orang dengan 4 sepeda motor. Perjalanan yang seru, kami membelah kabut pagi di Lampasio, lalu singgah sarapan di suatu dermaga sepi di teluk Naima yang begitu tenang tanpa ombak dengan air yang bersih dan jernih dimana beberapa jenis ikan-ikan berkelompok seakan mematuhi rambu lalu lintas air dan sesekali saling mengejar.
Tinggal setengah perjalanan lagi, di desa Malala sedang musim durian ternyata, tapi tahan dulu, kami belum sampai. Pukul 09.45 akhirnya kami tiba di dermaga Salumbia yang dulu begitu ramai.
Tidak banyak yang berubah kecuali suasananya menjadi sangat sepi dan kapal yang berlabuh tersisa dua. Masih ada yang bertahan membuka warung disana, dan beliau bersedia mencarikan kami perahu untuk menyeberang ke Tong Sanjangan, sayangnya tidak berhasil. Kami disarankan untuk mencari perahu di dusun. Akhirnya saya dan Lek Hil berangkat sementara yang lain menunggu di dermaga.
Untungnya kami langsung saja menemukan nelayan yang bersedia mengantarkan kami ke Tong Sanjangan, meskipun harus dengan gotong royong bersama warga setempat mendorong perahunya ke laut karena air sedang surut.  Dua puluh menit kemudian kami berlabuh di dermaga Tong Sanjangan.
Dari dermaga, kami berjalan kaki menuju Goa kristal tersebut, disepanjang jalan suasananya kini berbanding 180 derajat dengan kondisi tiga tahun yang lalu saat semua orang percaya bahwa udang merah di danau payau Tong Sanjangan dapat mengobati berbagai penyakit. Kini jalanannya pun tertutup semak belukar menyisahkan jalanan setapak untuk petani kopra menuju kebun kelapanya. Nalarku masih mengingat jalanan yang sudah tersembunyi, dengan mantap kupandu teman-teman menuju mulut goa.



After 3 hours later on that trip. finally, yeah we did it 🤙 Very salty crystals clear water in the cave surrounded by jungle and white sandy beaches.
A post shared by @ whonaski on
Karena rimbunnya pepohonan membuat cahaya masuk terbatas, akhirnya muncul rasa takut, namun keberanianku lebih besar, terlebih perjuangan kesini cukup jauh, sayapun memimpin masuk berenang kedalam goa yang tembus di lubang mirip pusat laut di Donggala. Beberapa kelelawar terbang keluar masuk, disini juga terdapat spesies udang merah. Sementara itu airnya berwarna biru bercahaya begitu indah dan menyala. Ada beberapa tanaman Alga yang berwarna merah, dan benar saja air goa kristal ini jauh lebih asin dari air laut pada umumnya.
Hanya kami berempat memberanikan diri berenang hingga kedalam, sedangkan yang lain cukup bermain air di mulut goa karena merasa belum pandai berenang. 


Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan membelah semak belukar menuju danau payau habitat utama udang merah, sudah tidak ada petunjuk jalan instagramable dan lagi-lagi saya menggunakan nalar sembari mengingat memori tiga tahun yang lalu. Sesampainya disana, air sedang surut sehingga kami putuskan menuju ke pantai yang terdekat saja. Di pinggir pantai berpasir putih kami memasakan indomie untuk makan siang sembari menikmati angin sepoi, ada yang tidur-tiduran dan lanjut berenang di pantai. Tidak terasa waktu berlalu terasa begitu cepat, hingga nelayan yang mengantar kami, yang sedari tadi hanya berdiam diri di dermaga, ikut mencari kami ke dalam saking asyiknya, akhirnya kami berlayar pulang sekitar pukul 15.00 menuju ke dusun.
Diperjalanan pulang kami singgah di rumah makan di desa Malala, sang pemilik warung bertanya kami darimana.
“Dari Sanjangan buk, udang merah.”
“Hah? Emang masih ada ya orang kesana ya, hahaha.”
Kami hanya tersenyum. Perjalanan pulang kami lalui dengan mulus walau hari telah berganti malam dan kami tiba di kantor pukul 19.00.



Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi