Tour de Westcoast Sulawesi - Epilog

Salah satu rumah makan keren di Banawa tengah

Hari ke-3

Entah lebih baik menginap di surau atau di kamar yang pengap dan bau rokok ini. Jika kubuka pintu, maka nyamuk-nyamuk pengisap darah siap memangsa tubuhku yang masih lapar. Semalam, saya nyaris saja tertidur dalam keadaan perut keroncongan, warung makan penginapan ini hampir memberiku harapan dan makanan palsu, mereka terlalu sibuk melayani rombongan tamu penting yang datang dari kota dan melupakan pesananku, sehingga saya harus mencari tempat makan lain yang juga lama ditunggu datang makanannya.

Saat bepergian seorang diri seperti ini, saya selalu memperhatikan intuasi dan bahasa tubuh lebih dari biasanya. Misal kakiku yang masih terasa perih akibat menginjak bekas kerang kemarin di danau yang sepertinya akan menimbulkan demam kecil atau suara hujan turun dan mati lampu di subuh hari langsung membangunkanku, ruangan terasa sesak dan pengap Ketika kipas angin terhenti. Penderitaan dalam perjalanan memang dibutuhkan sebagai bumbu sekaligus obat dalam perjalanan itu sendiri. Lagi pula ini tidaklah seberapa.

Dering ponselku berbunyi, mama dari rumah – tujuan akhir perjalanan ini mulai mencium niat lainku yang tak murni selain pulang, ia mencemaskan diriku yang bisa saja terinfeksi virus covid-19 di penginapan atau tempat-tempat yang kusinggahi. Kuyakinkan beliau bahwa saya tak berinteraksi dengan keramaian, hanya sedikit berinteraksi dengan orang desa, lebih banyak menemui rosa (rombongan sapi) dibanding manusia di perjalanan. Namun mama yang telah diracuni begitu banyak berita menakutkan tetap menganggap perjalananku kali ini sangat berbahaya.

“Seandainya tidak ada virus ini… kalau terkena kau! tidak bisa kita bertemu, meninggalpun tak bisa kulihat, begitu, pulanglah cepat. Hah? Apa? Dasar keras kepala! Usahakan saja sampai keperbatasan, tidak usah lagi singgah, terutama di Palu. Lihat di berita ini itu bla bla. Seandainya saja, bla bla” tutup mama ditelepon.

Sebenarnya bisa saja kututup sisa 300 kilometer perjalanan hari ini, mengingat jalur yang akan kulalui cukup familiar, namun entah mengapa fisikku terasa lemah dan setiap hari kilometer semakin berkurang dan sesuai rencana saya akan menginap di Palu semalam, seperti itu rencana aslinya. Saya masih akan singgah dibeberapa tempat termasuk mengunjungi Heated pool Mapane di Tambu, lagi pula hujan masih deras diluar.

Baru jam sembilan pagi hujan reda, saya memesan indomie telur di warung penginapan lalu bergegas mengisi bahan bakar dan menuju Heated pool Mapane yang tak begitu jauh.

Heated Pool Mapane

Heated Pool Mapane merupakan kolam air panas yang menjadi salah satu bukti keberadaa sesar Palu-Koro (yang menyebabkan gempa 7.4 SR 28 September 2018 silam), mata air panas ini tidak jauh dari episentrum gempa maupun bibir pantai. Berbeda dengan sumber air panas lainnya, Heated Pool Mapane cukup unik karena berair payau dan membentuk kolam mendidih dengan dasar kolam yang tidak terlihat menuju ke perut bumi, barangkali.

Hari semakin panas, saya melanjutkan perjalanan menuju kota Palu, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya sisa perjalanan ini bukan lagi hal misterius. Usai memasuki kecamatan Sirenja, puing-puing bekas gempa mulai terlihat kembali, belum ada perubahan bahkan masih berdiri tenda pengungsian bantuan luar negeri sudah tidak berpenghuni. Di desa Tompe yang mengalami penurunan tanah pasca gempa, setiap kali air laut pasang maka ia akan membanjiri jalanan (biasanya terjadi di sore hari), dampaknya pepohonan yang tak tahan air dengan kandungan garam tinggi mengalami kematian, namun yang paling menyedihkan rumah-rumah warga yang terdampak sudah tidak layak digunakan namun sebagian masih mereka tinggali.

Cuaca perjalanan hari ini juga tak menentu, hujan turun ditengah-tengah perjalanan lalu panas terik muncul, lalu berganti desa, berganti hujan pula. Sebelum memasuki kota Palu, saya menyempatkan diri untuk berswafoto Bersama Kepa di Pantai Enu Donggala persis dipinggir jalan, yang saat itu-kebetulan hari minggu ramai dikunjungi.

singgah berswafoto di pantai Enu

Pemukiman penduduk makin padat dan jalanan tinggal lurus-lurus saja. Di Tawaeli, Palu Utara akhirnya untuk pertama kali saya bersinggungan dengan pos pemeriksaan Covid-19, kami dperiksa suhu tubuh, disuruh cuci tangan sebelum bebas melanjutkan perjalanan. Hah? Begitu saja, padahal saya sudah membawa kertas hasil rapid test. Saya dengan sukarela mengaku sebagai pelaku perjalanan jarak jauh-dari Tolitoli dan akhirnya dicatat oleh satgas penanganan covid setempat.

Karena lebih dari enam bulan tidak melakukan perjalanan, saya baru pertama kali melihat beberapa sisi kota Palu yang mengalami perubahan akibat pembangunan, misal flyover di Pantoloan yang baru jadi beberapa bulan yang lalu dan tugu nol kilometer yang telah diperbaharui. Saya tiba di penginapan di siang bolong, matahari Palu memang lebih panas dari yang lain, seperti biasa. Untuk pertama kalinya dalam seri perjalanan ini akhirnya saya tidur siang.

***

Hari ke-4


Hari ini adalah penutup seri perjalanan tour de westcoast Sulawesi, saya meninggalkan kota Palu dan akhirnya pulang kerumah setelah masa lockdown yang terasa begitu panjang (sebenarnya bulan-bulan itu terasa Panjang di pikiran karena kebanyakan waktu habis ‘menyendiri’, beberapa bulan dilanda rasa cemas, dan menghadapi kenyataan tidak bisa berkumpul dihari idul fitri yang hanya ada setahun sekali, yeah hukum relativitas einstein berlaku). Perjalanan ini terasa sangat kaku, saya tidak banyak merasakan hal selain berfokus pada rumah dan rindu terhadap orangtua.

Di pos perbatasan saya ketemu beberapa orang yang cukup familiar, petugas Kesehatan yang berjaga merupakan adik kelas saya waktu SMA yang sudah lama tidak bertemu, dan sahabat saya ‘Aswar’ yang berhasil  menjadi anggota kepolisian kini tampil didepanku dengan seragamnya yang gagah (untuk pertama kalinya tampil didepanku secara langsung) dan tentunya dengan penuh perjuangan yang panjang, betapa turut senangnya terlebih kami pernah se-kosan se-penderitaan di Palu.

Pak Polisi di Perbatasan Sulawesi Tengah - Sulawesi Barat

Rumahku masih sejam lagi, tak sabar rasanya bertemu dengan ibuku, oh iya, kakakku juga telah melahirkan beberapa bulan yang lalu, Keponakan cantik hadir membawa nuansa baru di rumah.

Ibuku memelukku erat Ketika tiba di teras rumah, melupakan rencana prosedur karantinaku yang telah ia rancang melebihi satgas covid-19 saking rindunya. Air matanya berlinang. Bapak hanya bisa tertawa, untunglah diriku sehat-sehat saja Ketika tiba dirumah, dan yang penting mereka masih terus sehat walau kerutan dan uban makin terlihat seiring bertambahnya usia. Disisi lain, akhirnya impian dan keberanian untuk solo touring bisa terlaksana, lucunya terjadi dimasa pandemi seperti ini. Keberanian kadang datang di masa-masa yang sulit, bagi mereka yang berani menyalakan pelita dan terus berjalan menghadang kegelapan hingga cahaya pagi tiba. 

Terima kasih Tuhan karena telah merestui rencana perjalanan ini bisa terjadi.

Comments