Ketika
saya masih kecil, orangtua kerap mengajakku ke kebun seusai jam sekolah dasar. Keluarga
kami dan juga orang didusun memiliki kebun kakao terletak didusun seberang yang
nyaris tak berpenghuni, jaraknya kira-kira lima kilometer ke arah timur. Saat
itu, masih banyak lahan hutan berseberangan dengan kebun, bahkan beberapa warga
baru saja membuka lahan hutan untuk perkebunan mereka.
Saat
hendak kembali kerumah di sore hari, sering dari balik hutan terlihat kera Dare
Sulawesi (Macaca maura) berkelompok di dahan pohon beringin dan burung
Alok (Hornbill) yang terbang menuju timur lalu hilang di balik hutan
belantara, menimbulkan pertanyaan dibenakku yang ikut terbang bersamanya, ada
apa dibalik pengunungan yang berlapis-lapis? Adakah misteri dibalik sana?
Entah
suatu kebetulan saja, jika ditarik garis lurus kearah timur dari desaku, maka
sejauh 99 Kilometer yang sayangnya tidak ada jalan, maka kita akan dibawah kesuatu
tempat bernama Lembah Besoa di kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso. Sebuah
lembah yang diyakini menjadi peradaban tertua manusia di Pulau yang jauh
sebelum jaman prasejarah telah mengapung sendiri dilautan, Pulau itu bernama Sulawesi.
Pertanyaan-pertanyaan
semasa kecil seakan memanggil untuk dijejaki, dilihat langsung dan akhirnya kesanalah
saya, dimasa transisi karantina wilayah dan saat instansi kami telah
memperbolehkan mengambil cuti, tidak kusia-siakan kesempatan itu. Pilihan yang
cukup bijak karena saya tidak perlu bepergian dengan pesawat melainkan hanya
menyebarang kabupaten, dari kota Palu membelah belantara hutan di Sigi hingga
tiba di Poso pedalaman. Perjalanan dari kota Palu ke lembah Besoa dengan
menggunakan sepeda motor memakan waktu enam jam tanpa istirahat, sebuah
perjalanan panjang yang ‘tidak dua kali’.
Ketika
memasuki lembah Napu di Poso setelah berjam-jam menempuh jalanan berliku, kita
seakan dibawah ke padang rumput dan hutan pinus yang begitu luas. Seperti bukan
di Sulawesi, sahutku dalam hati yang mengaku orang Sulawesi sejak lahir. Di
Padang Napu, terdapat situs megalitik Watunongko, situs itu berupa batu raksasa
berbentuk cawan yang disebut Kalamba, ini merupakan situs pertama yang kami
sambangi. Entah siapa yang membuatnya ditempat terpencil seperti ini?
Misteri Pitarah
[nenek moyang] orang Sulawesi di Lembah Besoa membuat Taman Nasional Lore Lindu
istimewa karena tidak hanya menjadi cagar biosfer sebagai paru-paru bumi
dijantung Sulawesi, tetapi juga menjadi cagar budaya karena ditemukan Situs
Megalitik yang diyakini salah satu tertua di Indonesia berdasarkan tulang
belulang rangka manusia yang ditemukan di dalam kuburan tempayan batu (kalamba)
di Situs Wineki, yaitu tahun 2351-1416 SM yang kemungkinan punah pada
sekitar1452-1527 M.
Berdasarkan
data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi Tengah saat ini terdapat 432
objek situs megalit di Sulawesi Tengah. Semakin kepedalaman semakin banyak situs
bertebaran, namun semakin sedikit penduduk yang bermukim. Penduduk asli, Suku
Lore dan Bada pun tidak mengetahui persis siapa yang membuat Patung-patung ini,
nenek moyang mereka mengatakan jika patung-patung itu sudah ada dari dulu.
Hingga kini belum diketahui pasti siapa pembuat kalamba, arca, dan berbagai
penanggalan yang bertaburan di Lembah Besoa.
“Ada
sejarah yang terputus disini.” Kata sang pemandu di situs Tadulako.
Kami
baru tiba di situs Megalitik Pokekea pukul 16.00 dan langsung siap-siap
mendirikan tenda, Situs ini terletak diketinggian 1220 mdpl di jantung pulau
Sulawesi, cukup sejuk dan dingin di malam hari. Kompleks Situs Pokekea cukup lengkap
bila dibandingkan dengan situs yang lain, disini terdapat belasan kalamba,
beberapa arca, serta batu-batu yang dilubang-lubang yang menurut penelitian
merupakan penanggalan untuk hari-hari baik serta hari-hari penting untuk
melakukan persembahan kepada leluhur.
Keesokan
harinya, kami berencana mengunjungi berbagai situs megalitikum yang berada di
lembah Besoa, Petualangan resmi dimulai. Jujur saja, mencari situs megalitik
bagaiakan bermain Pokemon Go, situs ini tersebar dari punggung bukit hingga persawahan,
dari belakang rumah warga hingga di kebun warga, terkadang kami menemukannya, terkadang
harus menyeberangi sungai, terkadang pula harus menyerah.
Di situs
Tadulako, sedang diadakan pemugaran oleh Balai Pelestarian Cagar budaya
Gorontalo, Arca dan Kalamba dibersihkan dengan minyak sereh lalu dibungkus
dengan plastik dan diikat, hal ini paling efektif untuk melindungi batu dari
lumut dan sinar matahari.
“Diatas
sana masih banyak Kalamba, naiklah keatas bukit.” Kata salah seorang dari Balai
Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, “Masih banyak sebenarnya Kalamba dan Arca
yang belum ditemukan bersemayam di hutan belantara Lore. Biasanya ditemukan
oleh warga setempat.” Lanjutnya.
Pulang
dari Lembah Besoa malah kutemui diriku dipenuhi berbagai pertanyaan, Masyarakat
seperti apa nenek moyang orang Sulawesi? Kenapa peradaban sang Pitarah bisa
punah dan ditinggalkan? Bagaimana mereka memindahkan batu-batu raksasa dan
bagaimana ia bisa tersebar begitu luas di Jantung Sulawesi? Ah, Kayanya
Indonesiaku.
Terus semangat kak.. dan jangan lupa untuk menginspirasi semua orang
ReplyDelete