Skip to main content

Gunung Klabat: Kaki dan langit Sulawesi Utara





Gunung klabat dari Lintasan Atletik Pacuan Kuda Paniki, Manado jl. Manado Dimembe

Mendengar cerita sebelumnya, Klabat adalah suatu pencapaian bagi mereka yang telah menapakkan kaki di puncaknya, dari berita yang tersebar luas di internet beberapa bulan yang lalu masih terasa hembusan angin tidak enak, kasus penjambretan terhadap Mahasiswa lokal Unklab saat melakukan tracking
 padahal kampus mereka berkedudukan di kaki gunung ini, kota Airmadidi, membuat nama baik gunung klabat sedikit ternodai. 

Menurut mereka yang pernah mencapai puncaknya, Klabat lebih menakjubkan dari Soputan dan tanjakan helikopternya membuat anda akan sedikit frustasi, meskipun gunung klabat puncak tertinggi Sulawesi Utara, gunung ini termasuk yang tidak terlalu tinggi dibandingkan gunung yang ada dibagian selatan-tengah pulau Sulawesi, apalagi yang ada di Jawa apalagi dibandingkan gunung di Papua dan jangan sekali kali bandingkan dengan yang ada di Nepal, hehehe, yakni 1995 mdpl, namun trackingnya lumayan menantang, not high but not easy dan lagipula anda jangan pernah meremehkan sebuah gunung. 
 Pagi ini kami akan memulai perjalanan itu, liburan semester juga masih panjang. Ber-tujuh  kami mantapkan niat, diantaranya ada dua teman perempuan, Nursyifa alias Enci dan Risma Yuliandini alias Peyeum, kami sekelas dan anak Stapala pula, jadi tidak perlu terlalu dicemaskan. Ini akan menjadi pendakian pertamaku yang mungkin tidak berbau aturan sebagaimana saat menjadi siswa baru beberapa minggu yang lalu, namun disini realnya pengalaman saat diklat Stapala benar-benar digunakan dan bermanfaat.

 Matahari masih malu-malu di ufuk timur, Paradise-nya Coldplay menggema didalam mobil merah, Fahrul mengantarkan kami menuju titik star, kaki dian, sebuah kaki dimana ujungnya konon merupakan menorah Yahudi terbesar di dunia. Sesuai tradisi yang ada, turun dari mobil kami pemanasan sedikit, sebelum tracking kecil menuju titik start gunung klabat. Karena kami mayoritas belum sarapan, justru perjalanan ketitik start ini yang sangat melelahkan.
Setiba dititik start, kami bergegas mengeluarkan makanan untuk mensuplai tenaga, seorang warga melintasi didepan kami dan menyapa dengan ramah. Awali mendaki dengan senyuman, tapi yang ada kami malah malas gerak setelah sarapan, udah senyumin aja. Akhirnya Arsan, yang menjadi tour guide gadungan kami mengambil inisiatif memimpin tracking. Perjalanan dari titik start ke pos satu sudah dekat, hanya butuh waktu 10 menit, dan perjalanan ke pos dua menurut cerita adalah yang tepanjang dari semua perjalanan. Entah mengapa itu tidak sepenuhnya benar, mungkin juga karena imajinasiku terlalu berlebihan, disini kami istirahat sejenak dan mengobrol ngawur  ngiwur satu sama lain. 
Aku dan Arsan jalan paling depan, perjalanan ke pos tiga tidak terlalu jauh dan ke pos empat juga begitu, kami mulai cemas, karena sebenarnya tidak membawa tenda, rencananya tenda yang dibawa oleh rombongan mas Bram diatas akan di estafet ke kami namun nyatanya sudah jam segini dan disini, kami belum bertemu juga. Kekawatiran itu menjadi kenyataan saat pesan singkat Iban masuk ke handphone Akmal. Mereka lewat jalur lay-kit yang tembus di Dimembe, damn, tapi merasa tertantang juga  untuk jadi survivor. Itulah sialnya kami kawan, perjalanan dilanjutkan menuju pos lima yang lumayan menanjak dan menguras tenaga, sehingga ini yang lebih panjang dan tak sampai-sampai, akhirnya kami berhenti untuk menunaikan shalat duhur di jamak takhdim solat asar di pos bayangan sebelum pos lima. Istirahat kami lumayan panjang, selain karena sholat, ngemil, namun alasannya lebih karena diatas terdengar teriakan semberaut, dan sepertinya orang pribumi yang predikisi kami, mereka mabuk, apa mereka bagate? Atau mereka pasukan pencuri seperti tempo kemarin yang tersebar di media online? Semua prasangka buruk tiba-tiba muncul menyebar bagaikan tinta hitam menetes dibeningnya air ake asli dari puncak klabat, apalagi teriakan mereka makin tak karuan, yang menggambarkan betapa kacaunya mereka, atau ada yang jatuh? kawan yang hilang? entahlah.

Namun teriakan itu nyatanya telah kami salah artikan, ketika mereka melewati kami, mereka menyapa dengan ramah dan santun, maafkan kami yang berburuk sangka, mungkin teriakan itu cara mereka melepas penat. Lepas berpasasan dengan pendaki yang turun tersebut, kami melanjutkan perjalanan, misi kecil kami adalah menikmati sunset di puncak Klabat, dan semoga tercapai.
Setelah tiba di pos lima, kami mengisi persediaan air untuk masak di basecamp/pos enam nanti yang merupakan pos terakhir, perjalanan ke pos enam yang melewati tanjakan helikopter benar-benar terasa, jalanan yang menanjak hingga bisa mencapai 45 derajat membuat tendon tegang maksimal, ditambah jalanan berbatu besar, suhu makin terasa dingin, menjadi penyeimbang tubuh kami yang berkeringat sedikit, namun dingin tetap lebih mendominasi. Aku berjalan sendiri di depan, perjalanan dari awal telah berlangsung hampir tujuh jam, dan akhirnya sekitar pukul 13.00 telah menginjakkan basecamp di pos enam.
Beberapa pendaki bersiap untuk tracking turun gunung, dengan niat baik mereka memberi minyak kelapa kepadaku. Setelah yang lain sampai dibasecamp, kami membuat bivak dari empat buah ponco yang kami bawa, untunglah semua membawa matras, setelah bivak seadanya telah berdiri walau tak kokoh, kami memasak makanan yaitu mie dan nasi, waktu begitu cepat berlalu, saatnya tracking ke puncak untuk melihat sunset.
Kalau ada yang kurang, mungkin keberadaan bendera merah putih, sebagai simbol kebanggaan kami atas tanah yang dilimpahkan ini. Lima belas menit kemudian kami telah berada dipuncak tertinggi sulawesi utara, rasa syukur dan bangga membuatku tidak bisa berucap apa-apa, dari puncak ini dua sisi laut terlihat, laut Sulawesi di utara yang merupakan bagian dari samudera pasifik dan teluk Tomini di bagian selatan, diatas gunung pandangan kita jauh tak terbatas, menatap luas, ke gunung Manado tua, ke pulau Lembeh, ke kota Manado, ke rumahku (hahaha, berharap) yang jauh disana. Betapa kecilnya kita dan betapa besarnya Tuhan yang menciptakan semua ini, dan betapa Maha-Indahnya Dia, selalu dan selamanya.
Dari puncak ini kita bisa melihat bekas kawah dari gunung Klabat, yang sudah lama tidur dan mati. Danaunya hitam dan berselimut misteri, tertutup gelap dan disamarkan oleh hijaunya belantara, pepohonan berbatang sangar, namun disinilah sumber air aqua dan ake area Sulawesi Utara.

 
Beyond the sunset, oh blissful morning,
When with our savior, heaven is begun
Earth’s toiling ended, oh glory dawning
Beyond the sunset when day is gone.


Sunset kini tiba,
Beyond the sunset-nya Hank William bergema, musik, awan yang sejajar, laut, bintang-bintang lampu jalanan bermunculan di kaki gunung, perasaan, pikiran, Manado tua, semua ini, semua ini……hanya bisa diungkapkan dengan random.
Sunset yang sempurna, bagai pasir emas disinari cahaya semesta, really golden sunset. Aku tak bergeming hingga lautan benar-benar melahap matahari, dan langit mulai merah dan menghilang. 
Kami lalu berjalan di gelapnya malam dan beberapa detik berhenti refleks, mata ini masih saja dimanjakan, dari sudut dimana kami terpaku, mata ini lapang memandang kota, perkampungan, pedesaan, jalur kendaraan, bagaikan pantulan bintang yang dekat dengan kami, ada yang terang benderang ada yang hanya sekumpulan titik redup. 
Tapi bukan itu kawan yang membuatku berhenti,
nun jauh disana, Gunung soputan memuntahkan lava-nya. Merah menyala, bagaikan naga merayap, semua ini sesuatu yang sangat langka, kami tutup hari ini dengan salat maghrib berjamaah di puncak gunung, Subhanallah. Selanjutnya kami melewati malam yang terasa panjang karena dingin yang begitu menusuk hingga ke-sum-sum tulang. Lagi-lagi harus hidup berbau siswa :)

Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi