Skip to main content

Sigi: Potret Desa Kalora di Kecamatan Kinovaro



Perjalanan sang pegembara sejatinya tanpa memusingkan destinasi, karena mereka tau  betul hakikatnya, tak ada tujuan kecuali pulang kembali ke rumah, kepangkuan sang ibu yang telah menunggunya di beranda. Maka untuk mengelabui sang rindu, semua tempat yang ia tuju diasumsikan sebagai rumah. Indonesia adalah mutumanikam dari rumah sang ibu pertiwi. 
***
Jl. Juanda, Kota Palu, Sulawesi Tengah
Belok kiri langsung (tertulis di trafik lalu lintas), langsung pula pandangan kita dihadapkan pada deretan pegunungan Gawalise yang berdiri kokoh menjadi dinding raksasa pelindung  kota disisi bagian barat. Mungkin bagi kebanyakan orang, ini adalah pemandangan biasa setiap hari,  bagiku tetap saja ia luar biasa.
Beberapa rumah yang tampak karena tak ada hutan penghalang saking tandusnya tanah di punggung pegunungan Gawalise bagian utara sana  membuatku penasaran untuk sekedar berkunjung, no more curious. Aku tak tahu jalannya, tapi setidaknya aku tahu arahnya. Sore ini, sepeda motorku melewati jalanan yang ditetapkan oleh instingku sendiri, dimana jalanan meninggi maka disana pasti ada tembusnya, nalarku. Pegembara yang tersesat biasanya menghasilkan dua sisi sifat cerita. Aku tidak menyebut diriku tersesat kali ini, tepatnya aku beruntung bisa mencapainya, dan banyak sekali kutemukan cerita disana.
Desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah
Desa ini dekat dari Silae, Palu barat, jadi aku awalnya tidak percaya bahwa dataran ini secara administratif masuk kedalam wilayah kabupaten Sigi. Lagian, bukannya kota Palu bagian barat (harusnyaberbatasan dengan kabupaten Donggala.  Entahlah?
Dua kilas, aku terpaksa percaya, tempat ini sangat identik dengan wilayah di Kabupaten Sigi lainnya.  Pelosok,  pagar kota, jalan aspal tua seadanya yang bolong-bolong bahkan tiada sama sekali, masyarakat pribumi dengan pola kehidupan sederhana, bertani dan bertahan hidup. Lalu jangan lupakan, Sigi merupakan dataran pedalaman yang indah, asli, menantang, serta suatu tempat dimana mata luas memandang keseluruhan isi kota dan pegunungan sisi timur hingga masuk ke wilayah kabupaten Parigi Moutong sana. 
Rute menuju Desa Kinovaro
Memasuki desa Kalora, lalu berbalik kebelakang, maka se-isi kota berada dalam tangkapan matamu. Teluk palu yang tenang menyerupai huruf U tampak jelas dengan gradiasi warna airnya yang terkontaminasi timbunan tanah reklamasi, dari cokelat ke biru lalu turqouise ke biru pekat menenggelamkan. Setidaknya, beberapa bangunan utama seperti Palu grand mall, jembatan kuning, pante barat, mall Tatura, dan bandar udara Mutiara Sis Al-jufri menjadi titik yang paling muda ditandai diantara padatnya bangunan yang terlihat seperti diorama. 
Pintu desa adalah jalanan kerikil sempit berbatu dimana debu secara aktif beterbangan, tanah disana sungguh tandus bahkan tak terlihat olehku hasil pertanian. Beberapa titik menjadi asal-muasal tanah reklamasi di pantai, di keruk dari desa ini. 
Seorang wanita desa berjalan di tepinya seakan tanpa maksud apa-apa, tanpa tujuan, dan ganjil. Diantara mereka ada yang memberikan senyuman, namun lebih sering tampang curiga. Beberapa kali aku memperlambat laju diantara punggung-punggung bukit, sekedar menikmati pemandangan teluk palu dari berbagai titik sepi.
Kuberanikan untuk memasuki desa, orang-orang  disini, mereka membangun rumah (atau dibuatkan) yang sama kecilnya, kira-kira berukuran 4x5 meter. Anak-anak mereka tampak kumal, bermain di jalan, kulit mereka hampir semua hitam legam, rambut ikal dengan bibir tak pernah lepas dari senyuman, anak-anak  mereka tak tanggung langsung menyapaku dengan ekspresi senang yang memperlihatkan deretan giginya seraya tos di tangan. Aku yang pada awalnya ragu menjadi lebih tenang, penduduk desa menatapku dengan tatapan bertanya, mungkin mereka jarang kedatangan tamu, pikir positifku.
 Di salah satu jalan yang mendaki, berdiri surau kecil  yang sangat nyaman, karena belum salat asar aku memarkir sepeda motor tepat di depannya. Pengurusnya, pria bergamis panjang berwarna putih adalah tuan yang paling ramah, meskipun di desa Kalora memiliki masalah yang sama seperti desa-desa di kaki pegunungan Gawalise lainnya, yakni sama keringnya, air sulit dan saat ini air tak mengalir, istrinya dengan cekatan mengangkatkan air untuk berwudhu dari dalam gubuk mereka.
Buru-buru si  bapak menyapu lantai surau, padahal saat itu sudah cukup bersih. Aku masuk dan tersenyum, ia menawariku untuk memakai kopiah putihnya, kutolak halus. Seusai salat, ia menyarankanku untuk beristirahat, dan jika haus di surau ini terdapat air zam-zam (Apa? air zam-zam diantara bukit syafa dan marwah bisa sampai hingga punggung pegunungan Gawalise yang tandus? disaat aku tahu betul air hujan saja susah?). ia menyadarkanku dari lamunan, menawariku meminumnya seraya berdoa dengan sebuah permohonan.

Sesudah salat aku duduk di beranda surau seperti yang ia sarankan, memandangi panorama kota dengan teluknya yang indah. Sayangnya, ini  bumi bukan surga. Diantara keindahan ada saja ketidak-indahan. Hanya tampak sekilas, aku tak lagi memedulikan panorama kota maupun teluknya yang begitu memikat. Tidak jauh dari lensa mataku, sekelabat gambaran mengenai aktivitas penduduk. Dua pemuda hitam legam berbadan kekar bertelanjang dada, salah satunya mencukur rambut temannya. Tak jauh, seorang ibu menyusui anaknya di belakang rumah mereka yang kecil. Anak kecil berlarian dengan pakaian yang mungkin lebih tua dari usia mereka. Tak kusangka kehidupan diatas sini sangat memprihatinkan, seakan-akan sudah terlalu jauh untuk diperhatikan.


Aku lalu bergerak, pamit melambaikan tangan pada pengurus surau yang ramah menuju ke desa seberang yang lebih terpencil. Jalanan menurun dan berbahaya, salah perhitungan sedikit saja bisa meleset ke jurang. Didepan sana terlihat sebuah tugu mirip nisan, aku mendekatinya penasaran. 
Tugu tersebut memang dibuat sebagai nisan atas insiden kecelakaan Pesawat baling baling Merpati jenis Fokker 27 yang jatuh di dusun Vatulemo, desa Kalora pada 18 Juni 1994. Korban meninggal berjumlah dua belas orang terdiri atas kapten pilot, copilot, mechanic, pramugara, pramugari, dan  tujuh penumpang termasuk bayi berumur empat tahun. Sayangnya, di tugu tersebut tidak ditulis penyebab dan tujuan keberangkatan pesawat.
 Aku melanjutkan perjalanan lagi, menuju dusun dengan akses yang makin susah. Orang-orang merperhatikanku dengan pandangan yang makin aneh, aku berpikir sebaliknya. Sesaat aku seakan masuk ke tempat lain yang jauh dari kota ini. 
Orang-orang disini, memiliki karakter, postur dan lekukan wajah yang sama. Rambut ikal kecoklatan, kulit hitam legam, mata bulat, aku susah membedakan satu sama lain. Aku merasa terdampar di benua lain, seperti di Afrika sana dengan tanah yang sama tandusnya. 
Di dusun terakhir, badanku lemas dibuatnya, seorang wanita tua berjalan dengan pakaian lusuh dan robek sana sini, berjalan pelan seakan setiap langkah adalah tenaga terakhir yang ia keluarkan. Anak-anak bermain di tumpukan sampah dengan tubuh yang jarang diurus. Tubuh mereka semua kurus dan tampak kering, layu, kekurangan air. Rumah-rumah mereka jauh lebih kecil, bahkan separoh lebih kecil dari teras depan indekosanku yang dibuat seadanya dari kayu rapuh, seng berkarat dan rumbiah kuyu.  Jangan tanyakan kondisi kesehatan mereka, tiada toilet umum, puskesmas tak terlihat. Mereka membuat WC untuk hajat dengan menggali lubang dan ditutupi oleh karung bekas yang dikaitkan di empat tiang.
Melihat dusun terakhir ini membuatku sadar, desa Kolora yang bahkan hanya berjarak kurang dari sepuluh kilometer dari ibukota Provinsi Sulawesi Tengah benar-benar luput dari perhatian siapa-siapa, mereka tinggal dalam komunitas slime area, tiada terlihat masa depan bagus disana, kuharap diantara anak-anak mereka lahir sebuah mimpi yang tinggi untuk mengubah desanya, kuharap beberapa diantara mereka terinspirasi setiap kali melihat cahaya kota yang berkilaudi malam hari, dibawah sana, lalu melemparkan semangatnya pada milyaran cahaya diatas sana, semoga cahaya itu menginspirasinya. Apakah ada?
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa kosong melompong—perjalanan kali ini membuatku tak bisa menjelaskan perasaan yang persis  terbersit dalam hati. Di dusun terakhir aku tak berkomunikasi kepada mereka sama sekali, hanya tersenyum manis aslinya terasa pahit di dalam hati. Hatiku ingin menangis, ini pertama kalinya aku jalan sendiri dan tak sangka menemukan tempat sesedih ini. Apa yang kulihat hari itu lebih dari yang bisa kudeskripsikan dalam cerita ini. Semoga saja, semoga jika kedua kali aku kembali, aku bisa membawa sedikit perubahan dan harapan.
Siapa tahu.
Tugu Peringatan Jatuhnya Pesawat baling baling Merpati jenis Fokker 27
Gerbang selamat datang

Kantor Kepala Desa Kinovaro

SD-SMP Satu Atap Kalora


Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi