Skip to main content

Apa Kabar Taman Laut Bunaken?






Masih jelas terpatri di otakku ketika pesawat sebentar lagi mendarat di Samratulangi Internasional airport. Tahun 2014 aku baru menyelesaikan pendidikan SMA dan hari itu kutemui diriku seorang diri di sebuah bandara, di pinggir kota yang tidak kukenali sama sekali, tak seorangpun kukenali dan tak ada orang lain yang mengenaliku.
Sebelum pesawat mendarat, dari jendela pesawat terlihat nusa-nusa mengambang di laut utara, aku langsung mengenalinya. Itulah Bunaken, Siladen dan Manado tua dalam dongeng majalah travelling.
Siapa yang masih tak tahu Taman Laut Bunaken? Kepingan surga yang konon jatuh ke dalam laut Sulawesi.
Bunaken dinobatkan menjadi salah satu surga bawah laut Indonesia dengan keanekaragaman hayati yang kaya raya.
….
Suatu pagi,
Dari koar-koar para pendahulu, mereka bersorak, “Bunaken bukan lagi surga.”
“Taman Nasional Bunaken sudah tak layak dikunjungi-----Rusak! Banyak sampah! Mahal pulak,”
Mending ke A, mending ke B. Masih asri, masih alami. Pernyataan semacam ini merupakan tanda ketidakpedulian dan awal dari sinyal keserakaan.
***
[
Seseorang pernah berkata, Indonesia adalah kepingan surga yang jatuh di mayapada. Aku mengamini. Lalu, seiring berjalannya waktu banyak surga yang berubah jadi tanah kosong-air yang terkontaminasi lumpur, surga yang salah kelolah, pikirku. Seseorang lalu menimpali, Jika Indonesia adalah kepingan surga, tentulah ibukotanya senteal dari surga, namun sepertinya Jakarta adalah sebuah kesalahan—tak ada surga yang bising, tak ada surga yang membuat manusia saling berdesakan di dalam KRL.
Lalu, seorang kawan berbisik, tapi… Jakarta masih surganya dunia malam kan, Kawan. dia menatap dalam. Aku diam.
….
Indonesia bukanlah kepingan surga, seseorang berkata lain. Logikaku tetap menerimanya. Tidak ada kepingan surga yang rapuh, tidak ada surga yang bisa dirusak oleh ulah lemah manusia. Surga merupakan tempat yang kekal, statis selamanya.
Lalu aku sendiri yang mencoba berargumen dengan pemikiran yang masih berkerumun bersama pemikiran itu sendiri. Menurutku, jika surga merupakan alamat, mungkin Indonesia untuk sementara ibarat alamat surga, surga yang kali ini hadir namun tak memilih penghuninya, tak peduli apakah sang penghuni layak ahli surga atau ia salah satu dari ribuan perusak.
Parahnya lagi, ketika ‘surga rusak’ kebanyakan ia hanya ditinggalkan begitu saja.]
~




Bunaken-Sabtu, 09 Mei 2015.
Kesempatan untuk mengunjungi Taman Laut Bunaken baru kesampaian di pertengahan semester akhir, saat itu aku ikut rombongan kelas bersama salah satu dosen yang bermurah hati menfasilitasi satu kapal.
Perjalanan menuju pulau Bunaken ditempuh dari pelabuhan Marina beach, kota Manado di dekat pasar bersih hati. Dari sini kami menaiki kapal berkapasitas 10-15 orang. Dengan biaya satu juta rupiah per kapal, rombongan kami menyewa dua kapal. Perjalanan menuju pulau Bunaken di tempuh dalam waktu tiga puluh menit.
Bunaken yang begitu komersial benar-benar mencekik isi dompet, apalagi saat itu kami masih berstatus mahasiswa. Spot untuk snorkling sudah banyak yang rusak, karangnya mati, mengeras dan putih, untuk memancing ikan mendekat kami harus memberinya makanan berupa biskuit yang telah disediakan oleh guide-nya lalu ia memotret kami sebagai kenang-kenangan. Belakangan kutahu bahwa memberi makan ikan tidak diperbolehkan.
Lain halnya dengan spot Diving di Bunaken yang masih cukup lestari, tapi pada akhirnya sama saja, jika pengelolah Taman Laut Nasional Bunaken tidak bertindak tegas terhadap setiap upaya perusakan dari pihak yang hanya ingin mencari keuntungan, jika kita manusia tak peduli, jangan harap surga bawah laut tetap sebagai surga.
Ia hanya akan dikenang sebagai bekas Taman Laut.
Tidak lebih.
Banyak faktor yang menyebabkan terumbu karang rusak dengan pesat, selain perubahan iklim, aktivitas manusia belakangan ini sangat mempercepat terjadinya kematian terumbu karang. Diving dan snorkling tanpa etika dan edukasi salah satu penyebabnya, disamping pengeboman ikan yang tidak terlalu di pedulikan oleh pihak yang berwajib.
Semoga upaya konservasi terumbu karang tetap selalu berjalan.]
~
Beberapa Gambar yang menggambarkan keadaan terumbu karang saat ini :




Sumber : Google


Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi