Skip to main content

Our (E)filing Stories


Seperti berada di dua menit terakhir serial film battle atau bergenre thriller, kami {diantaranya : saya, Srikandi, Januar} adalah sosok superhero yang berhasil melawan walker, musuh, atau wabah penyakit endemik terbaru yang berakhir mengharukan di suatu pagi luar biasa dengan efek sunshine yang nyaris sempurna dibalik celah ranting, dimana burung-burung tropis berkicau, invisibility.
‘Perang’ tinggal hari ini.” Diumumkan kepada seluruh karyawan/karyawati kantor pelayanan pajak pratama, jadi tak apalah berdarah-darah.
Hari itu kantor kami (dan semua Kantor Pelayanan Pajak di seluruh indonesia) untuk pertama kalinya ditahun 2016 buka pada hari sabtu, 30 April demi melayani pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Badan dan Efiling Wajib Pajak Orang Pribadi. Selanjutnya, untuk mengakhiri hari-hari yang ekstra sibuk dua bulan terakhir, kepala Kantor dengan hormat turut mengundang kami bertiga makan malam.
Secara teknis, kami berhasil. Target Efiling terlampaui, hingga 170 persen dari target 25.000 pegawai. Artinya, selama dua bulan ini kami berhasil turut serta ‘menyeret’ banyak PNS dan separoh pegawai swasta untuk melaporkan SPT Tahunannya secara online. Terbayar semua kepenatan, emosi, tawa, momen-momen menegangkan dan lucu. Juga jangan lupakan kawan, ada berapa banyak makian mereka terhadap trio ojeters.
Statistik kasarku menyatakan bahwa setiap hari rata-rata kami melayani 300 Pegawai dari berbagai instansi dengan tuntutan tepat waktu, mengingat betapa mudahnya mereka mencari-cari kesalahan tiga orang pegawai magang garda depan yang belum mengecap imbalan apa-apa.
Ketika jam pulang, sering kudapati diriku terbaring lelah semberaut di indekosan dan baru tersadar ketika perut keroncongan mulai membangunkanku, keluar nocturnal mencari makan.
Bulan Maret dan April memberi banyak sekali pelajaran hidup dan pembelajaran di dunia kerja. Opus of the live. Bagaimana menghadapi banyak karakter, bagaimana melayani orang banyak, bagaimana menilai, kapan bicara, dan kapan harus diam. Satu lagi yang penting, bagaimana mengelolah energi sehingga tubuh tidak down.
Dari sekian enam puluh hari peperangan, ada dua cerita yang melekat dipikranku keesokan harinya ketika battle telah selesai. (Kuingat lagi pertama kali ditanggal 2 saat ritme sudah pelan, menikmati bau kertas yang keluar dari printer yang sama nikmatnya dengan roti lapis pagi dari mesin panggang).
Pertama, kisah ini datang dari seorang ibu Guru di Kotapulu, kabupaten Sigi. Nyatanya, sebagian besar wilayah kabupaten Sigi sangat sulit bahkan tidak ada akses  Internet, termasuk Kotapulu. Perkara ini membuat Efiling tidak mudah, tidak cepat dan tidak nyaman. Tadi pagi ia menempuh satu jam perjalanan ke kantor kami untuk meminta Aktivasi Efin, namun saya tak sempat mengingatnya diantara dua ratus antrian yang dilayani.
Sore ini, saat keadaan sudah sepi ia kembali datang. Duduk tepat disampingku meminta tolong untuk dibantu Efiling, ia telah mencoba mengakses namun di Kotapulu internet sulit dijangkau. Efiling merupakan kewajiban Wajib Pajak sendiri, namun tegakah saya menolak atau merekomendasikan orangtua ini ke warung internet saat ia sudah menyadari dengan jelas bahwa ini memang kewajibannya? Bagiku itu sudah cukup. Lagipula, Efiling (kalau tidak error) tidak sampai lima menit dibanding perjalanannya ke kantor enam puluh menit.
Dengan senang hati, kubantu ibu tersebut. Menanyakan apa yang perlu ditanyakan hingga semua proses Efilingnya selesai. Setelah itu, saya permisi untuk menunaikan shalat, lagi ia meminta tolong untuk seorang temannya yang tidak saya sadari sudah berdiri tepat disampingnya untuk di-Efiling-kan juga. Berhubung Srikandi sedang tidak melayani Wajib Pajak, kuminta ia membantu ibu tersebut.
Setelah shalat, kembali ke meja Efin, saya tak melihat Srikandi. Palingan lagi sholat juga, pikirku. Beberapa menit berlalu tak kusadari ternyata ada yang aneh, sampai Sri kembali dan menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
Sewaktu saya sholat dan Srikandi telah selesai membantu meng-efiling-kan ibu yang satunya, ia tak menduga secara tiba-tiba disodorkan uang terimakasih sebesar lima puluh ribu secara terang-terangan diatas meja. Tidak besar namun baru kali ini, bag kutukan kilat, ia nge-freeze pucat pasi memegangnya dan segera berusaha mengembalikan kepada ibunya, namun ibu tersebut tidak mau menerima kembali.
Ia, menurut ceritanya, segera masuk ke back office dan menceritakan kepada senior-senior apa yang baru saja ia alami dan berharap mendapat semacam pencerahan,  tidak ada solusi. Ia kembali keluar dan menemui kedua ibu tersebut yang kebetulan belum beranjak dari kantor, sekali lagi berusaha meyakininya bahwa ia ikhlas membantu, namun ibu itu balas juga ikhlas memberi.
“Boleh minta tolong?” potong ibu tersebut.
“Ini titip ya nak, buat teman laki-laki yang tadi so bantu saya.” Lalu mereka beranjak pergi, meninggalkan Srikandi yang mematung dengan dua lembar kertas biru ditangannya.
Saya yang mendengar cerita ini tertawa terbahak-bahak, namun karena ia tampak serius, kucoba meredam tawa dan menutup rapat rapat mulutku. Ini kali pertama kami menerima gratifikasi dari Wajib Pajak dan bingung mau diapakan. Kalau mau dihalalkan, sebagai anak kos-kosan yang belum menerima satu rupiah 'sendok teh' gaji dan tunjangan pun, uang biru itu lumayan buat mengisi perut sehari. Namun, serendah itu kah diriku atas apa yang  telah di amanahkan negara? Dengan tegas dan (saat itu kuyakini) penuh integritas sebagai pegawai yang sangat baru, saya menolak. Solusi langsung muncul begitu saja dibenakku, uang itu baiknya dimasukkan di celengan masjid.
Maka sore itu juga tanpa menunda-nunda waktu lagi kami berdua berjalan kaki menuju masjid terdekat dari kantor, mengendap-endap masuk seperti dua bocah pencuri celengan jumatan, dan memasukkan uang gratifikasi itu kedalam celengen, tak lupa mendokumentasikan dengan kamera ponselku, kali saja suatu hari di tahun-tahun yang akan datang ada yang melaporkan.
~
[Setelah kejadian itu setiap ada Wajib Pajak yang ingin memberikan uang terimakasih selalu kutolak dengan mengatakan bahwa uang saya sudah cukup, sebaiknya disumbangkan di rumah ibadah saja, lebih berguna.] semoga cerita ini selalu menjadi pengingat terhadap diriku sendiri agar selalu berintegritas dan menolak setiap jenis gratifikasi yang walaupun setitik namun bisa merusak susu sebelanga.

Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi