Skip to main content

THUG(ISLAND)LIFE BAGIAN 1 : Survival berdua di Pulau tak berpenghuni




Saya sudah memutuskan untuk libur akhir pekan yang panjang (liburnya 3 hari) akan menginap di pulau. Keinginan ini sebenarnya sudah jauh-jauh terencana beberapa menit sebelum mendarat di Bandara Lalos pertama kali saat penempatan. Pulau-pulau yang tampak dari pesawat ini sebenarnya salah satu penyemangatku untuk menerima keputusan yang ditetapkan pemerintah, begitu saya menyebutnya ‘keputusan yang ditetapkan pemerintah’.
Keputusan menginap di pulau lumayan berat, karena jika tidak ada teman jalan, saya tetap berlayar. Berbekal pertanyaan kecil yang sering kutanyakan pada tetangga kosan, orang kantor, orang-orang di sosial media, di warung makan dan banyak lagi, terkumpul lah informasi besar mengenai cara mencapai pulau-pulau di depan sana.
Namun, jangan bilang saya menyerah mencari teman jalan. Saya masih mengajak-paling tidak teman angkatanku untuk ke pulau. Hasilnya, hanya Hoga yang menanggapi. Dengin pesimistis, mengingat ia anak yang sering berubah pikiran akhir-akhir ini (saya berusaha untuk tidak mendiskripsikannya berlebihan), segera kupersiapkan matang-matang peralatan dan persediaan makanan. Kubeli panci kecil, air galon, gas butana, mie gelas, dan lain-lain untuk melengkapi kekurangan yang tersisa. Kupersiapkan dua hari sebelum akhir pekan. 

Sementara Hoga punya kompor portable yang menjadi kebutuhan pokok. Saya sudah bilang boleh saja ia berubah pikiran, asalkan kompor portablenya tetap ikut bersamaku. 
Hoga nampaknya serius kali ini, ia juga melengkapi perbekalannya, bahkan jadi volunteer untuk membawa tenda, jadi saya tak perlu.
Sehari menjelang akhir pekan, tepatnya Jumat sore, saya ke Tanjung Batu sekali lagi untuk memantapkan pertanyaan pada nelayan disana. kebetulan nelayan yang kutanya adalah penduduk salah satu pulau-pulau tersebut, ia sedang menunggu ombak besar dan angin kencang sampai reda agar bisa kembali ke rumahnya. Dari percakapan yang kurang dari lima belas menit, saya merasa makin mantap berlayar besok.
Pagi-pagi sekali saya sudah bangun dan menuntaskan isi bagpack-ku. Seperti biasa Hoga yang harus dibangunkan membuat kami terlambat sedikit, kapal tujuan pulau Kabetan yang tersisa berangkat lagi pukul 10.00, kami memutuskan untuk kembali ke kantor.
Mendekati pukul 10.00 cuaca mendadak berubah drastis, yang tadinya cerah langsung mendung tebal disertai angin kencang, Pak Willy (kepala Seksi Ekstensifikasi) kemarin juga mengingatkan kami kalau cuaca Desember tidak cocok untuk melaut. Apakah harus batal lagi?
Pak Nurdin, nahkoda kapal yang kuhubungi memutuskan untuk menunda keberangkatan sampai cuaca kembali cerah. Dengan lemas, saya tidur di pos satpam kantor sembari melihat ke jendela, berdoa agar cuaca segera membaik. 
Untungnya setengah jam kemudian, cuaca berubah cerah total. Pak Nurdin menyuruhku untuk segera merapat. Akhirnya, kami berangkat pukul 10.55
Perjalanan ditempuh kurang lebih 45 menit, didalam bahtera kecil itu terdapat sepuluh orang, empat diantaranya wanita, salah satunya gadis yang  kembali pulang ke Pulau seusai sekolah. Wah semangat sekali ia bersekolah, pikirku. Setiap hari harus bolak balik dengan kapal (yang sangat bising) untuk dapat meningkatkan pengetahuannya, yah sayang sekali di pulau Kabetan memang tidak ada Sekolah Menengah Atas, pulau yang berpasir putih panjang itu terdiri dari dua kampung yang sepi penduduk.
Hal yang kami lakukan ketika turun dari kapal adalah menurunkan semua barang (ya tentulah), lalu membayar sebesar Rp. 50.000 untuk dua orang, dan mendirikan tenda untuk memasukkan ransel dan peralatan lainnya.
Setelah itu waktu seakan diperlambat, kapal yang kami tumpangi sudah berada di pulau seberang. Saya serasa berada ditempat yang sangat jauh : tenang dan tanpa tekanan, inilah yang CPNS perlukan. 

Hari ini saya dan Hoga sepakat untuk melakukan aktivitas sekehendak hati tanpa harus saling mengatur. Hoga, dengan mudah ditebak akan memilih tidur siang, dan berencana snorkling setelahnya. Sementara jadwalku seperti ini :
1.    Mengelilingi Pulau Buol (untuk memecahkan rekorku sendiri yang tidak pernah keliling pulau) dan membuat video timelapse.
2.   Membersihkan pantai (di sekitar tenda) disisi barat dari sampah plastik, dan juga kayu-kayu yang mengganggu pemandangan.
3.    Berenang/snorkling di sore hari.
 

(kamu bisa lihat videonya disini)

Rencana mengelilingi pulau segera kulaksanakan sambil membuat video timelapse, sisi selatan pulau banyak mendapat sampah kiriman entah dari mana? (ya dari ulah manusia pastinya. Males bahasnya). Sisi utara yang menghadap ke laut lepas sulawesi merupakan benteng penghalang ombak yang senantiasa terkikis dari waktu ke waktu. Saya membuat jalan sendiri, melewati semak belukar yang gatal dan bodohnya saya hanya menggunakan kolor lalu memanjat tebing, setibanya dititik awal saya istirahat sebentar. Berhasil.
Saat matahari berteduh di gerombolan awan, saya menjalankan misi kedua. Membersihkan pantai dari sampah plastik terutama, paling banyak plastik botol minuman. Kayu-kayu kukumpulkan untuk dijadikan pagar dari halaman tenda juga kayu bakar, serta papan-papan kujadikan kursi santai di depan tenda, setelah itu misi selanjutnya berhasil kulaksanakan meskipun tidak menemukan spot yang bagus sebab air sedang pasang dan saya tidak berani berenang lebih dalam sebab airnya juga berarus.
Waktu berlalu.
Menunggu sunset sambil merenungi masa lalu mengenai,-misalnya, apa yang telah kita perbuat sejauh kehidupan menjadi waktu yang sangat langkah dan berkualitas untuk mengenal kembali diri sendiri dan mengingat lagi mimpi-mimpi apa saja yang mulai hilang digiring rutinitas. Keadaan ini membuatku berpikir kembali, manfaat apa yang telah saya berikan untuk lingkungan sekitar atau lupa saya berikan. 
Ini semacam jeda, dan semua orang akan mendapatkannya. Dimana waktu yang biasa kita lalui dengan begitu cepat dan monoton, lalu tiba waktu yang lebih lambat dan berbeda dari nuansa hari biasa.

Oh (maaf jika tulisan ini meleber kemana-mana), bahkan saya tak sepenuhnya sadar bahwa sambil menunggu sunset dengan pikiran penuh nostalgia, saya berhasil membuat patung mirip jalangkung yang lebih tinggi daripadaku.
Sore ini, ada kapal kecil beberapa kaki saja dari tepi pulau Buol yang sepi (sejauh yang kulihat setelah berkeliling pulau ini dihuni empat ekor kucing). Sebenarnya sudah berjam-jam ia berlabuh disana, namun tak kunjung merapat dan tak ada yang peduli.
Saya kini sadar sepenuhnya dari lamunan dan mereka rupanya sudah berlabuh, koloni mereka cukup banyak. Beberapa diantaranya mengumpulkan kayu bakar untuk memanggang ikan. Saya dan Hoga memberanikan diri menyapa, siapa tau dapat bonus ikan.
Mereka berasal dari salah satu gereja di Ogomoli yang akan memanah ikan diantara pulau Kabetan dan Buol untuk pesta natal, rencana mereka balik besok subuh dan menawarkan untuk memberi tumpangan pulang, namun terlalu subuh sehingga kami menolak.
“Nanti malam jangan lupa bakar api, banyak ‘sengit’, serangga yang keluar kalau malam.” Kata bapaknya seraya memberi kami bensin. Mereka pamit dan mulai bersiap berburu ikan di malam hari.
Saya dan Hoga menunggu sunset sambil bersantai di depan tenda, memasak mie gelas sambil mengabadikan momentum dengan membuat video timelapse. Sembari menunggu air mendidih kami bercerita apa saja, dari masa kecil hingga topik tentang pembangunan Indonesia yang tidak merata.
Harus kuakui, sunset sore ini adalah yang paling tenang dan indah sepanjang tahun 2016, meskipun langit berawan, namun spectrum cahaya yang mewarnainya begitu indah dan bervariasi, tak berhentinya kami bersyukur atas sore yang indah ini. Sebentar saja, namun disitulah seninya. Saya kini paham kenapa backpacker dari belahan utara sana rela menempuh jarak beribu kilometer untuk menginap tiga hari di pulau tropis dengan misi utama dua puluh menit menikmati sunset yang tenang.

Gelap datang sedikit terlambat, memberi kami waktu lebih untuk mengucap kata syukur kepada Sang Pencipta. Kayu yang kami kumpulkan tadi sore sudah siap dibakar, mudah saja, berkat bensin pemberian nelayan Ogomoli.
Malam tiba dan cuaca cerah, bulan siap menerangi malam dan bintang semakin larut semakin bertabur, memanggil bintang lain untuk ikut meramaikan malam. Saya tak mau ketinggalan, setelah puas bercerita apa saja dengan Hoga di depan bara api, saya memutuskan begadang bersama bulan dan ribuan bintang. Saya tidur diluar, Hoga di dalam tenda.
Pertama dan terakhir kalinya saya  tidur di pantai beratapkan langit yaitu saat perpisahan sebelum yudisium bersama komunitas tercinta di pantai paling utara Pulisan, Likupang, Sulawesi Utara.
Malam ini memori itu muncul sekelabat dan saya merenung begitu banyak. Hingga dosa-dosa yang telah kulakukan juga menggantung setinggi bintang.

Bersambung. 

Comments

  1. Nice san.. Ditunggu lah lanjutannya. Suka dengan gaya tulisanmu, tapi yg ini nampaknya belepotan. Ngalir gitu aja tanpa di rapikan ulang ya? Hahaa

    ReplyDelete
  2. Iya kak, ini belepotan banget. Ga di edit2

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi