Skip to main content

Men(y)epi di Ubud



Saya menaiki tangga indekosan dengan payah. Ulak, begitu ia disebut, meminta tolong agar saya menekan saklar untuk menyalakan lampu parkiran halaman.
Dikantor hari ini sibuk, saya harus mengisi gudang kebutuhan kantor untuk beberapa bulan kedepannya, belum lagi tumpukan daftar permintaan dan keluhan pegawai yang harus segera di proses di daerah yang fasilitasnya serba terbatas.
Saya langsung menutup pintu kamar, menanggalkan seluruh pakaian dan berbaring di kasur tanpa sehelai kain menutupi, kuharap segala penat hari ini menguap ke langit-langit kamar dan lenyap. Kupejamkan mataku perlahan, terdiam dan mulai merenung.
Setiap kita butuh berhenti sejenak dari rutinitas. Seperti regenarasi sel yang malah dilakukan tubuh ketika pemiliknya tidur, kita butuh berhenti dari kosakata ‘hidup senantiasa bergerak’. Berhenti untuk ‘bersiap’ menjadi lebih baik lagi. Kadang saya bertanya, apakah hidup yang saya pilih saat ini sudah sesuai dengan cita-cita masa kecil saya. Oh, tentunya tidak persis, tapi saya rasa, saya bisa menebus dosa karena telah ‘terlalu sibuk’ hingga melalaikan mimpi-mimpi itu terlalu lama.
Mataku masih terpejam, kubayangkan diri ini pergi menjauh, menepi disuatu desa yang tenang, disebuah beranda kayu yang nyaman dan kamar yang hangat dimana buah kedamaian dan makanan tersedia, namun ia berada ditengah hutan.
Malam itu angin sepi berhembus, dan detik selanjutnya kubuka mata, saya berbisik lirih dalam hati, KENAPA TIDAK?

Saya lantas membuka ponsel, memesan paket tiket pesawat dan hotel di Traveloka. Pandangan saya kemudian berpindah di sebuah pemukiman indah di pedalaman Bali.
Ubud, kota kecil ini sudah terkenal sebagai salah satu tempat untuk pemulihan jiwa, rumah untuk menenangkan diri, dan melahirkan inspirasi baru.

Sejujurnya, seminggu sebelum cuti panjangku ke Ubud, Bali. Saya sudah tidak fokus bekerja, untungnya cutiku segera disetujui atasan sebelum beliau berangkat haji ke Mekkah dan juga tidak ada pekerjaan yang mendesak. Ini pertama kalinya saya solo traveling ke tempat yang cukup jauh.
Singkat cerita, setelah tiga bulan berlalu, hari yang ditunggu telah tiba. Pagi itu saya berangkat menuju bandara terdekat. Perjalanan ini cukup panjang namun menyenangkan, saya harus bermalam di Palu dulu dan melanjutkan penerbangan keesokan harinya dengan transit di Makassar sebelum tiba di Bali sore hari.
Seperti di Jakarta, di bandara Ngurah Rai status taksi online yang menjemput penumpang di bandara adalah ilegal, memesannya susah-susah gampang, supirnya pun minta harga dua kali lipat dari yang aplikasi tawarkan, ini masih lebih murah jika memesan taksi bandara.
Setelah membandingkan harga, akhirnya saya memilih taksi online menuju ke hotel 100 sunset. Antrian panjang keluar bandara memakan waktu sejam, saya baru tiba di hotel sesaat setelah adzan magrib berkumandang.
Sunset road tak ubahnya jalanan biasa di kota besar, lalu lintas ramai lancar. Malam ini saya habiskan di kamar hote saja, hanya keluar sebentar untuk membeli ayam presto bakar diseberang jalan (untuk pertama kali dan rasanya enak), selebihnya saya gunakan untuk istirahat sebelum memulai petualangan esok hari.
Sebelum check out, saya mencari alternatif menuju ubud. Taksi online kupikir menjadi pilihan yang tepat sebab saya tak tahu jalan. Namun, karena driver-nya minta harga dua kali lipat, maka segera kutolak. Saya lantas berfikir cepat lalu memutuskan untuk merental sepeda motor di Kuta, dan akhirnya saya sadari ini merupakan satu-satunya pilihan untuk eksplore Bali paling murah, efektif dan efisien.
Untuk menuju ke vila yang telah kupesan jauh hari di Ubud, saya mengandalkan google maps saja. Tidak susah menuju ke Ubud, petunjuk jalan sudah jelas, saya hanya lurus saja melewati jalan By Pass Ngurah Rai hingga memasuki kabupaten Gianyar, selanjutnya mengikuti plang jalan ke arah Ubud dan sesekali singgah mengecek lokasi di maps. Akhirnya setelah ban pecah dan harus menggantinya, lalu bocor lagi dan harus ditambal, sampailah saya di DD Ubud Junggle Villa di desa Kedisan pukul 15.00, perjalannya yang harusnya hanya satu setengah jam, jadi dua setengah jam.

Saya langsung di sambut bli-bli resepsionis, mereka, seperti kebanyakan orang Bali begitu ramah dan hangat seakan sudah menanti kedatanganku, salah satu dari mereka mengantarku ke vila yang dinamai Bintang. Bau kayu eboni begitu melekat di ingitanku, nuansa tradisional Bali yang  nyaman begitu terasa, dan yang paling spesial dari vila ini adalah kamar mandi dan toilet outdoor yang indah.
DD Ubud junggle Villa memiliki tujuh vila yang berada di punggung jurang dengan view hutan, kicau dan bunyi hewan terdengar begitu membawa ketenangan, kita seperti dibawah ke istana dalam rimba. Persis dibawah vilaku terdapat satu kolam renang yang bisa digunakan bersama. Diteras saya melamun, merasa dejavu dalam imajinasi masa kecil tanpa batas.

Saya tersadar dari lamunan ketika seorang pelayan membawa welcome drink berupa lemon tea hangat yang pas dengan mood saya. Sore itu merupakan salah satu sore terdamai dalam hidupku. Hampir sejam saya diam dalam damai di depan teras, satu  per satu lamunan masa kecil yang telah lama pergi kini datang kembali menemani, berebutan duduk dikursi sebelah yang kosong sambil menebar senyum.
Setelah puas menikmati pemandangan, saya putuskan untuk berenang di kolam yang jernih, yang sedari tadi menggoda untuk dilompati. Setelah berenang, saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Tegallalang Rice Terrace, hanya sepuluh menit dari vila. Wisatawan asing memadati tempat ini,namun tetap legang karena teras sawah ini cukup luas, saya mencoba tracking menuju ke bawah, karena hari mulai gelap, saya kembali lagi keatas.
Sebelum kembali ke vila, saya mencari makan malam dulu. Lumayan susah mencari makanan halal di Ubud, tidak banyak pilihan.
DD Ubud Jungle Villa, dikelilingi hutan, jarak ke pemukiman terdekat sekitar satu kilometer di desa Kedisan, jalan menuju vilanya pun melewati sawah dan hutan berkelok-kelok tanpa penerangan jalan, suasana hutan benar-benar terasa. Bagi yang tak terbiasa mungkin akan takut pulang malam ke vila, namun kata staff vila, jalanan tetap aman.
Sampai di vila saya langsung disambut suara tokek dan hewan-hewan malam,desa Kedisan dimalam hari dingin dan berkabut, tak perlu menyalakan AC. Malam itu tiba-tiba saya teringat dengan orang dirumah, percakapan ditelepon cukup menghangatkan malam itu.
Keesokan harinya, saya siap bertualang seusai breakfast dengan pemandangan hutan yang menenangkan dan suara aliran sungai nan damai, sekitar pukul setengah sembilan saya menuju destinasi yang telah saya tentukan jauh hari. Pertama, Pura Gunungkawi tampaksiring yang tak jauh dari vila, untuk menuju ke pura utama saya harus menuruni tangga dulu sekitar sepuluh menit, diperjalanan tampak pemandangan teras sawah dan beberapa cafe, pura ini cukup terkenal karena di pahat pada batu alam dan menyatu dengan kontur alamnya, selain itu reliefnya menyerupai candi prambanan.

Tidak puas menikmati pura Gunungkawi, saya harus terburu-buru kembali menaiki tangga menuju parkiran, kunci sepeda motor saya rupanya ketinggalan. Dengan ngos-ngosan saya sampai di tempat parkir, untunglah kuncinya masih berada disana. Sebelum meninggalkan pura, saya sempatkan membeli sarung untuk masuk ke pura selanjutnya, kata Bli penjual sarung yang sempat melihat saya ngos-ngosan karena lari, di hampir semua Pura di Bali relatif aman, bahkan ponsel yang tertinggal dimotor pun sejauh ini takkan hilang. Beliau menambahkan bahwa saya merupakan pembeli pertama pagi itu, uang yang saya beri menjadi pelaris dagangannya, uang tersebut disapu-sapu ke sarung lainnya untuk mendatangkan keberuntungan, sungguh pemandangan yang lazim saya temui.
Meskipun cuaca agak mendung, saya melanjutkan perjalanan menuju ke Pura Tirta Empul, dimana terdapat mata air suci yang dipercayai mampu membersihkan individu yang penuh dosa. Kompleks pura Tirta Empul lumayan luas, dimana terdapat kolam ikan yang jernih dan ikannya besar-besar, beberapa pura, dan tentunya mata air suci yang bening.
Saya menitipkan barang-barang diloker sebelum mandi di mata air sucinya, airnya begitu bening dan dingin, beberapa kali saya kelelep dan menelan airnya. Setengah jam kemudian, setelah mandi, wisatawan dan bus-bus parawisata memadati kawasan pura Tirta Empul, antrian begitu panjang, saya merasa beruntung datang pagi-pagi.
Selanjutnya, perjalanan saya lanjutkan ke pusat kota Ubud, rencanya mencari makan di sekitar ubud market,saya melewati kompleks goa gajah yang rencananya akan saya kunjungi usai makan siang.
Ubud market begitu dipadati oleh wisatawan asing, parkir motor memanjang disepanjang jalan. Disekitaran ubud market terdapat berbagai kafe bertaraf internasional, sayangnya sangat susah mencari makanan halal disini. Tak jauh dari Ubud market, terdapat Istana Raja Ubud (Ubud Royal Palace) yang ramai dikunjungi. Saya mengelilingi Ubud market untuk mencari pernak-pernik kerajinan tangan, harus pintar-pintar menawar, selain itu saya juga harus bisa menunjukkan bahwa saya wisatawan lokal bukan asing.
Kembali ke tujuan awal saya ke Ubud Market untuk makan siang rupanya tidak mudah, saya harus kembali ke arah goa gajah untuk singgah makan di warung padang yang kebetulan saya sempat lihat sebelumnya.
Setelah makan dan numpang sholat duhur, saya memutuskan menuju Goa Gajah (Elephant cave). Gajah merupakan makhluk yang dianggap suci dalam kepercayaan hindu, Ganesha digambarkan sebagai sosok dewa berkepala gajah, namun karena di Bali tidak ada gajah pada saat itu sehingga dibuatlah situs Goa Gajah, situs ini juga mewakili akulturasi antara kebudayaan hindu dan budha di Bali.
Setelah puas mengelilingi Goa Gajah saya putuskan menuju ke Blanco Renaissance Museum, museum yang wajib dikunjungi ketika berada di Ubud. Saya melihat mesuem ini pertama kalinya melalui video Expedia yang meliput Bali. Museum ini tampak megah dengan lukisan yang menggambarkan keindahan wanita Bali.
Hari sudah hampir gelap, saya putuskan untuk kembali ke Vila.

Pagi kembali sama, dingin dan berkabut. Udara segar dan burung-burung pagi sudah mulai berkicau di dahan paku pohon. Pagi ini akan saya habiskan dengan bersantai diberanda, mendengarkan kicauan burung dan nyanyian alam berupa hembusan angin pada dedauan dan aliran sungai. Entah mengapa tiba-tiba kepala saya ingin menciptakan puisi :
Ubud,
Dijantung pulau Dewata saya merasa pulang kerimba alam, dimana manusia seharusnya bersarang.
Apakah kedamaian dan kesenian diciptakan bersamaan disini?
Ah, kicauan burung di paku pohon membuatku terdiam dan tak ingin menemukan jawabannya.
Kabut dingin di pagi hari dan air panas dari pancuran membuatku bergairah.
Biarlah burung-burung di dahan pohon mengintipku mandi telanjang.
Kedisan,
Kutemukan suatu tempat dimana manusia diam dan alam lebih banyak bersuara,
Burung-burung tak berhenti berkicau, hembusan angin permisi, dan aliran sungai berdesir, airnya bersentak berlari kehilir.

Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi