Skip to main content

Resolusi di Malam Super blue blood moon, 14.


Kata bijak tertulis di salah satu blog, jika ingin berkecukupan, “Inginkan apa yang engkau miliki, bukan miliki apa yang engkau inginkan.”
Sesuai dengan kata bijak tersebut, pada Januari 2018 terakhir hari ini, (seharusnya resolusi saya sudah mantap tepat di malam tahun baru masehi, 1/ walau saya pernah membaca secara random bahwa kebanyakan orang yang membuat resolusi gagal memenuhinya, namun saya tidak percaya pada kebanyakan). Maka malam ini, setelah belajar papan luncur dibawah cahaya bulan yang agak kabur, merah gerhana. Saya kembali merevisi apa yang sebenarnya baik buat saya, bukan hasrat-apa yang belum saya miliki.
Suatu pencapaian yang tidak muluk-muluk, tapi butuh tekad untuk menentukan (yang hingga kini saya masih kebingunan menentukan), memulai hari, dan menjalaninya.

3 Niat saya secara singkat,
Hidup minimalis : makan, pakaian, dan gaya hidup yang sederhana (membeli karena butuh).
Hidup sehat : seimbang pekerjaan dengan aktifitas fisik, tubuh fit, pola makan sehat.
Hidup semangat : Passion tetap bermetabolisme dalam darah, bertualang.

Akan sia-sia membangun kastil jika tanah tempat batu pondasi berpijak masih rapuh.

Maka tahun ini saya juluki sebagai tahun mengenal diri sendiri.

Saat ini saya mencoba untuk tetap bertahan dengan nilai yang saya tentukan, dalam kondisi apapun dan dimanapun. Dan, ini tidak se-mudah ketika harus dihadapkan dengan tempat yang berbeda dan dengan orang yang berbeda. Januari telah kulalui dengan berpindah-pindah dari ujung-ketengah-keujung pulau besar Sulawesi.

Pertengahan bulan,
pagi hari di Manado, hujan telah mengguyur kota dari semalam meninggalkan bau aspal basah, kawasan boulevard sepi di bawah atmosfer dilapisi awan kelabu tebal, ombak besar dan tinggi menghantam batu hitam penghalang reklamasi, dua wisatawan dari asia daratan, RRC kupikir bergantian memotret diri di dekat ombak terpecah dan berhembus.
Saya berusaha berlari walaupun cuaca tidak bersahabat, lari tanpa banyak pikir. Cuaca kota Manado begitu tidak bersahabat hampir seminggu dan rekonsiliasi laporan keuangan semester ini cukup berbelit.
Tempat berbeda membuat motivasi dan situasi berbeda, lain kota lain cerita. Entah mengapa setiap kali saya pulang ke rumah, di Mamuju Utara, niat untuk menjalani –pola hidup sehat- buyar oleh pagi yang begitu dingin. 
Lalu, kota Palu kini membuatku merasa sepi walau kota ini semakin ramai, ia hanya sekedar tempat singgah padahal banyak cerita lama, dan juga kawan, kawan lama?

----
Ah, malam ini saya cukup bersyukur ternyata sejalan dengan kehidupan, saya telah melihat dua kebesaran, bulan menghalangi sinar matahari penuh di pagi hari (gerhana matahari total, Palu, 19-3-2016), dan malam super blue blood moon (Tolitoli, 31-1-2018).

Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi