Skip to main content

Menuju Jantung Sulawesi Bagian 1: Tentena, Orang Pamona dan Gua Tengkorak

 

Hukum ketertarikan kembali bekerja dalam diriku, dari berjuta-juta sel yang berbeda mereka kompak menggiring pemikiranku ke wacana yang lama kubiarkan tergeletak disudut tak terawat di dalam pikiran, kini muncul kepermukaan.

Wacana yang hanya sebuah garis di peta memperlihatkan rute yang belum kesampaian, bagaimanapun, mereka ternyata saling terhubung. Wacana adalah awal, dan jika Tuhan mengaminkan, harus dilaksanakan dengan sebuah realisasi.

Menilik kebelakang, sejujurnya garis di peta itu kubuat diantara rasa frustasi akan tekanan kerja yang kurasakan begitu menyiksa. Dan, entah mengapa keputusanku untuk dipindahkan ditempat yang mungkin bagi sebagian orang tak diinginkan, jauh dan sepi, namun membukakan jalan untuk petualangan baru di dalam hidupku.

Petualangan selanjutnya bahkan datang lebih cepat setelah perjalananku kembali dari Taman Nasional Kepulauan Togean. Dua minggu kemudian, sisi paling Selatan Taman Nasional Lore Lindu, yup, tepatnya Lore Selatan segera memanggil untuk dijejaki.

Dari Parigi saya tentukan peristirahatan hari pertama di Tentena, sebuah kota kecil dipinggir danau Poso.

Melewati Kampung Bali disepanjang jalan Trans Sulawesi Parigi-Poso, Balinggi-Torue-Sausu merupakan kawasan transmigrasi terbesar orang Bali di wilayah Indonesia Tengah dan Timur. Padi menguning, bau dupa, serta pura yang cantik nan asri membuat saya merasa berada di pulau Dewata Bali. Inilah Bali van Celebes, pikirku.

 Bersama Aleki, motor kesayanganku, kami tiba di Poso pukul 12.00. Hawa panas menggiringku ke sebuah kedai kopi ber-AC, untuk mendinginkan badan sekaligus menghilangkan rasa kantuk yang kerap hadir disepanjang hembusan angin perjalanan. Dari Poso menuju Tentena hanya membutuhkan waktu 45 menit hingga 1 jam, jalan yang dilewati salah satu favoritku, kami membelah perbukitan menuju kedalam jantung sulawesi, hawa panas dari laut diperjalanan berganti angin sejuk khas pegunungan, bahkan sebelum memasuki Tentena, saya sudah diguyur hujan.




Tiba di Tentena saya langsung menuju ke salah satu cottage yang telah kutandai tak jauh dari Jembatan danau Poso, meski cuaca mendung, sore itu saya sempatkan melihat-lihat kota Tentena. Ini adalah kedua kalinya saya ke Tentena, jembatan Pamona atau yang dikenal dengan nama Yondo Pamona kini telah selesai direnovasi, jembatan yang semula berangka kayu kini diganti baja namun tetap mirip dengan aslinya. Air dari danau Poso mengalir deras melalui sungai Poso menuju ke Poso Pesisir, warnanya hijau dan bersih, salah satu warga yang memiliki rumah diatas aliran sungai di dekat jembatan tampak asyik memancing ikan.



Keesokan paginya saya sempatkan untuk jogging dipinggir danau Poso dengan total tempuh 5 KM, meskipun hari jumat dan lagi, hari agak mendung, saya akan mengeksplore dua Gua yang ada di kota Tentena.

Gua pertama adalah Tangkaboba, tak jauh dari jalan utama kota Tentena. Jalanan dan petunjuk menuju Tangkaboba sudah bagus dan sangat jelas, setibanya saya di Tangkaboba, kudapati Kuburan sederhana dari kayu yang berisi tulang belulang manusia, diatasnya dijejer tengkorak manusia barang tiga, lima, atau enam. Tradisi kuburan batu seperti ini sebenarnya baru saja berakhir di abad-19 sejak misionaris-misionaris gereja memasuki wilayah Pamona. Sebenarnya Tangkaboba sendiri bukanlah Gua pada umumnya, melainkan tebing batu yang memiliki tempat berlindung bagi manusia sebagai pekuburan tempo dulu, persis disisi atasnya berbatasan dengan kebun Kakao seorang warga Tentena.


Dari Tangkaboba saya melanjutkan perjalanan ke Gua Latea, jika jalan menuju Tangkaboba sudah jelas, menuju ke Latea adalah kebalikannya. Dari jalan utama kita berbelok ke plang penunjuk arah yang katanya 700 meter, jarak ini saja sudah salah, kita akan dihadapkan pada pertigaan tanpa petunjuk, jadi kuberitahu kanan salah, ikuti kiri (biar saya saja yang tersesat), dari kiri kita belok kanan lagi lurus-lurus sampai jalannya berupa perkerasan semen sempit bantuan desa hingga jalan tanah setapak mengarah ke rumah kebun. Sayangnya, tidak ada orang dirumah itu, hanya suara air beriak dan babi dikandang.


Saya kembali kepemukikan terdekat dan bertanya kepada seorang ibu yang sedang mencuci kaki di depan rumahnya.

”Oh itu didekat kebun saya, nanti kamu udah benar lewat jalan tadi, tapi motor cuma bisa sampai di jembatan saja, nanti jalan kaki lagi, sudah dekat itu.”

”Tapi amankan bu kesana sendirian?”

”Aman.”

Setelah menemui jembatan yang dimaksud, saya berjalan kaki melewati kebun kakao, jalan setapaknya cukup jelas. Namun karena cuaca hari jumat ini mendung, lepas dari kebun kakao jalan setapak yang ditutupi hutan lebat dan bunyi serangga, burung, serta air sungai mengalir membuat kesan horor hadir terlebih dulu.

Cagar Budaya Gua Latea, sebuah tulisan yang masih jelas namun tak terawat dimakan usia. Ada jembatan kecil lagi untuk menyeberangi sungai dan pohon besar membuatku memanjatkan doa-doa keselamatan. Tabe’, ucapku meminta permisi sembari melewati pohon besar itu dan menaiki anak tangga, setibaku di gua yang tidak terlalu dalam, peti melintang dengan beberapa tengkorak menatapku. Jujur karena sendiri saya merasa terintimidasi oleh spirit dan bunyi-bunyi alam.





Saya melanjutkan turun kebawah dan dikagetkan oleh dua ekor burung yang terbang dari dalam goa tengkorak, kuprediksi mereka juga kaget melihat ada manusia disana, dibawah terdapat juga tengkorak dan tulang belulang. Tak ingin berlama-lama karena hari ini jumat dan mendung, saya kembali ke Cottage bersiap sholat jumat serta berdoa agar arwah-arwah yang mengikuti bisa lepas dari pakaian.


--Bersambung.

 

Comments

Popular posts from this blog

Solo Traveling : Maumere da gale kota Ende

Maumere da gale kota ende pepin gisong gasong le'le luk ele rebin ha           Sepenggal lirik lagu yang sangat terkenal saat masih kuliah di Manado dulu, lagu yang diputar di acara pesta pernikahan hingga oto-oto mikro (angkutan kota). Lagu ini merajai Indonesia Timur, dari tanah lahirnya Maumere, hingga di ujung utara Sulawesi. Lama kelamaan lagu ini bahkan lebih besar dari kota kelahirannya, dibuat jadi musik tarian dan senam di se-antero Nusantara. Pemandangan gunung Egon dari Laut Flores           Maumere, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Hanya itu yang kuketahui, perihal kota ini berada di pulau Flores dan menjadi kota terbesar di Flores kutahu belakangan, belakangan pula kuketahui kalau di pulau ini lah kota Ende, Bajawa, Ruteng, Larantuka, dan Labuan Bajo yang terkenal itu berada.           Rencana ke Maumere ini bagaikan serangan jantung, tiba-tiba. Dilatarbelakangi menghadiri pesta pernikahan sahabat sekaligus rekan kerja di Makassar, saya akhirnya meng

Parigi Moutong Underwater : Pengalaman mengambil Lisensi Scuba Diving (Open Water)

  Banyak karya hebat yang dihasilkan dari pengasingan, persembunyian dan kesendirian. Orang-orang yang mendobrak batas ruang dan waktu, berimajinasi dan berpikir menembus batas tembok persembunyian, melawan rasa rindu dan angin kesepian yang berhembus kencang seakan ingin menarik akar idealis lepas dan terbang berputar-putar dihancurkan oleh sebuah tornado realitas hingga menjadi puing-puing tak bermakna. Ketika kutukar kehidupanku di kota yang serba sibuk dengan kehidupan yang relatif renggang dan sepi, pertemanan yang luas dan beragam ditukar dengan komunitas kecil yang bahkan tak kuketahui sifat asli orang-orangnya, pilihan makanan yang dulunya banyak menjadi terbatas. Karena ini adalah sebuah pilihan, maka tidak ada kata mundur dan memposisikan diri ini sebagai si dia yang tertindas , sebaliknya ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan jeda yang cukup menjadi suatu wadah untuk belajar dengan subjek tak terbatas yang kusebut kemudian sebagai Institut Kehidupan . Institusi y

Kisah 1000 Guru, 31 Peserta, 7.4 Magnitudo, 5 Hari

Berangkat Ke Palu Saya percaya akan ada hari dimana kejadian yang tepat datang di waktu yang tepat, kita biasa menyebutnya kebetulan atau mumpung. Kebetulan sekali, saya mendapat dinas luar di akhir pekan dan setelahnya saya bisa menjadi relawan dalam program Traveling and Teaching #11 1000 Guru Sulawesi Tengah di Palu, kesempatan emas yang tak kurencanakan sebelumnya namun   begitu kunantikan karena beberapa kali ingin ikut namun selalu saja ada halangan. Pesawat ATR menerbangkan penumpang dari Tolitoli menuju kota Palu, Kami tiba sekitar jam 11.00, cuaca Palu siang itu masih sama panas dan menyengatnya, kami memutuskan berjalan kaki menuju pintu gerbang bandara agar bisa menggunakan aplikasi ojek online menuju Palu Kuring untuk makan siang. Kami berpisah disini, Saya menuju ke KPP Pratama Palu dan teman kantor lainnya kembali ke bandara menunggu pesawat ATR berikutnya yang menerbangkan ke Luwuk. KPP Pratama Palu, kantor OJT-ku dua tahun yang lalu sedang dalam proses renovasi